JERAT: Banyak Catatan Kejahatan Lingkungan PT PAL di Iwaka Papua

Penulis : Tim Betahita

Deforestasi

Jumat, 16 April 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Jaringan kerja Rakyat ( JERAT PAPUA) menduga banyak kejanggalan pada hak guna usaha (HGU) Kepemilikan Lahan PT. Pusaka Agro Lestari (PAL) yang dengan sengaja mengusai Hutan atau Lahan Masyarakat Adat Iwaka dari Suku Kamoro Kabupaten Mimika.

Berdasarkan temuan JERAT, salah satu contoh kejanggalan adalah persoalan kompensasi. Lahan yang dikuasai PT PAL dengan total luas mencapai 38 Ribu Hektar lebih, yang sebelumnya merupakan hak ulayat milik adat, hanya dikompensasi dengan nilai Rp 44.444,4 per hektare. Padahal pembalakan dan penebangan terhadap hutan masyarakat Adat sudah dilakukan secara brutal.

Menurut keterangan yang dihimpun Jerat Papua dari masyarakat setempat dan sumber terpercaya di Kampung Iwaka, selain merampas lahan Masyarakat Adat, PT PAL juga diduga melakukan kejahatan Kehutanan dengan melakukan pembalakanan besar-besaran, dimana sejak tahun 2009. Tahun di mana perusahan Sawit ini beroperasi di wilayah Iwaka.

Hutan Masyarakat adat Iwaka dan Kiyura yang menjadi sumber penghidupan itu, sudah ditebang habis hingga luasan yang mencapai ribuan hektar, hasil tebangan berupa kayu dengan sengaja di bawa keluar dari wilayah Kabupaten Mimika.

Tampak dari ketinggian kondisi hutan yang dibabat untuk pembangunan perkebunan sawit di Papua./Foto: Yayasan Pusaka

Tokoh Perempuan Pejuangan Hak Masyarakat Iwaka Ratna Kanareyau mengaku perjanjian antar PT PAL dan Masyarakat adat dari empat kampung yakni Iwaka, Kamora Gunung, Kiyura Pantai, dan Kiyura Gunung, dimana PT. PAL hanya memberikan kompensasi kepada masyarakat pemilik hak ulayat sebesar Rp. 1, 6 Miliar. Sedangkan khusus untuk masyarakat iwaka hanya terima Rp. 400 Juta dari total Rp. 1, 6 Miliar itu.

”Kami sudah berulang kali bersuara tetapi ini tidak pernah di tanggapi, kebun yang perusahaan tanam kelapa sawit itu juga gagal panen karena buah gugur dan busuk, kami heran tanah kami dirampas cuma-cuma tetapi ini yang kami dapat," kata Ratna.

Di samping ungkap perempuan yang tetap gigih untuk terus memperjuangkan hak mereka hingga gugatan ke pengadilan ini, merasa ada ketidakadilan dari investor yang sengaja memainkan tanah-tanah mereka untuk kepentingan bisnis terselubung, contoh yang paling nyata adalah pencurian kayu besar-besaran yang sama sekali berbanding terbalik dengan laporan perusahan kepada Pemerintah Daerah Mimika, dimana ada ribuan meter kubik kayu yang di balak dari hutan tersebut dan di eksport ke luar tanpa sepengetahuan masyarakat adat.

Tidak hanya itu saja, PT PAL juga diduga melakukan praktik illegal dengan mengambil material galian C dari hutan Masyarakat adat tersebut. ”Dorang sengaja sudah ambil semua kayu di hutan itu, dan mereka membuat laporan palsu ke pemerintah setempat, ada juga galian C pasir yang juga di kelola PT PAL secara illegal, kami minta supaya PT. PAL terbuka kepada kami apa yang sebenarnya mereka lakukan di atas Tanah adat dan leluhur kami," keluh Ratna Kanareyau.

Ratna juga mempertanyakan surat perjanjian antara PT.PAL dan Koperasi Buh Bau Yamane/Masyarakat Iwaka nomor 074/HR-GA/PT.PALIV-2013 dan nomor 001-SPK/KOP-BBY/WK-KK/IV/2013 tentang pembangunan kelapa sawit pola kemitraan (Kebun Plasma). Dimana, PT.PAL berkewajiban mendirikan pabrik pengolahan TBS menjadi CPO. Namun sampai sekarang PT.PAL belum mendirikan pabrik yang dimaksud.
Sedangkan Kepala Kampung Iwaka Elesius Awiyuta mengaku bahwa PT.PAL hanya melakukan modus dalam menyusupkan Investasi Kepala Sawit di Lahan Masyarakat adat, padahal mereka hanya menginginkan pengambilan Kayu dari hasil pembalakan hutan secara besar-besaran dengan memanfaatkan Potensi Kayu Masyarakat Adat di Iwaka.

Lahan milik Masyarakat adat Iwaka yang dicaplok oleh Perusahaan sejak 2013, telah ditanami oleh Kelapa Sawit di PAL 1 dan PAL 2, sementara untuk PAL 3 dan 4 milik masyarakat Iyura. Dari hasil penanaman yang di Lakukan oleh PT PAL sejak 2013 hingga kini 2021, Masyarakat adat telah memintah agar PT. PAL untuk segera membangun Pabrik pengolahan karena sejak 2015 proses penanaman Kelapa sawit mengalami gagal panen akibat tidak adanya pabrik pengolahan buah sawit di dalam perkebunan tersebut.

"Kami sudah minta agar perusahaan membangun Pabrik dari 2015 sampai 2021 sekarang tetapi tidak ada pabrik, kami sudah minta dan pertanyakan ke perusahaan tetapi tidak ada respon," katanya.

Sementara itu, ada 4 Koperasi yang didirikan perusahaan, tetapi tidak tranparansi pengelolaan anggaran bagi anggota yang ada di 4 kampung tersebut termasuk masyarakat Iwaka dan tiga Kampung lainnya.

“Koperasi yang perusahaan sawit PT.PAL bikin juga tidak jalan, kami selalu tanya berulang kalai tetapi itu tidak pernah lakukan, makanya kami minta supaya kasus ini segera di selesaikan biar kami tenang, intinya bangun koparasi bagi kami dan pabrik supaya hasil bisa dikelola dengan baik," ujarnya.

Kepala Suku Iwaka, Noel Awiyuta mengaku dengan pembalakan hutan besar-besaran yang di lakukan oleh PT PAL telah menghancurkan harapan mereka untuk keberlangsungan anak cucunya di masa mendatang, dikarenakan ribuan hektar hutan yang menjadi sumber kehidupan bagi mereka telah hilang atau hancur. Kini tanah ulayat kita, dikuasai oleh Investor yang dinilai menipu mereka.
“Asset yang kita simpan untuk anak cucu kita itu sudah tidak ada, diambil oleh orang luar atau peruhaan PT.PAL, mereka turun hanya merampas hak masyarakat adat saja. Kita kecewa dengan cara-cara perusahaan perkebunan yang begitu luas tetapi sama saja karena tidak membawa dampak baik bagi masyarakat," ucap Kepala Suku Iwaka Nuel dengan nada kecewa.

Sementara Kuasa Hukum Masyarakat Adat Iwaka Marvey Daengubun mengaku persoalan Masyarakat adat Iwaka dan PT PAL sudah melalui proses mediasi yang cukup Panjang, sehingga pada akhirnya pihak kuasa hukum yang merupakan Advokad dari Posbakum Pengadilan Negeri Mimika menyimpulkan bahwa PT.PAL dinilai tidak serius untuk mengakomodir hak-hak masyarakat adat Iwaka yang mengalami kerugian akibat ribuan hektar lahannya dibabat habis oleh perusahaan asing tersebut. “Kami mengambil kesimpulan bahwa PT.PAL tidak serius menjawab kebutuhan Masyarakat adat, padahal mereka sudah berinvestasi dengan membuka ribuan hektar lahan disana , dorang cuma cari keuntungan saja dan hanya janji -janji manis kepada masyarakat tetapi semuanya hanya menipu," katanya.

Selain itu Marvey Dangeubun melihat bahwa investasi illegal yang di lakukan oleh PT.PAL yakni menggunakan kesempatan dengan keterbatasan pengetahuan dari Masyarakat Adat di Iwaka mulai dari akses komunikasi, dan transportasi serta minim orang yang membantu masyarakat untuk menjelaskan kepada masyarakat dampak negative yang akan dialami kedepan. Masyarakat hanya, memperoleh informasi yang manis dari PT. PAL bahwa keuntungan kepala sawit sangat menjanjikan dan akan mensejahterahkan masyarakat tetapi janji perusahaan tidak pernah dirasakan oleh Masyarakat adat Iwaka hingga saat ini.

“Apa yang terjadi terhadap masyarakat Iwaka berbanding terbalik dengan kalimat-kalimat yang di lontarkan perusahaan sebelum melakukan investasi sejak 2009 hingga 2013 sejak resmi beroperasi, justru masyarakat mengalami kerugian yang luar biasa dari perjanjian yang di lakukan PT PAL," keluh Marvey Daengubun.

Atas dasar situasi ini, masyarakat adat mendaftarkan kasus ini ke Pengadilan Negeri Kelas II A Mimika. Hingga saat ini, sudah 9 kali sidang sejak pertama kali mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Kelas IIA Mimika. Masyarakat Adat Iwaka sudah menjalani sidang ke 9 kali, dan akan berlanjut kepada sidang-sidang selanjutnya dengan agenda pemeriksaan barang bukti milik perusahaan yang diwakili oleh Kuasa hukumnya.

Selain itu kasus ini juga pernah di bawah ke DPRD Kabupaten Mimika namun sampai saat ini belum ada kejelasan dari suara-suara wakil Rakyat dikota penghasil emas terbesar nomor 2 didunia itu, sembari DPRD Kabupaten Mimika pernah berjanji kepada Masyarakat Adat Iwaka bahwa kasus ini akan segera ditindak lanjuti dengan pembentukan pansus tetapi nyatanya tidak ada hasil alias nihil.

Dikutip dari laman resmi Komisi Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM RI), apabila dilihat dari perspektif hak asasi manusia, setidaknya ada 8 (delapan) hak yang dilanggar dalam kasus hak masyarakat hukum adat ditanah Hak Guna Usaha (HGU). Pertama, hak atas pengakuan sebagai masyarakat hukum adat. Kedua, hak tradisional masyarakat hukum adat. Ketiga, hak untuk memiliki. Keempat, hak untuk tidak dirampas miliknya secara sewenang-wenang. Kelima, hak untuk mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupan. Keenam, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ketujuh, hak atas rasa aman dan tentram. Kedelapan, hak atas perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu juga menjadi hak yang dilanggar.

Demikian disampaikan Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI, Sandrayati Moniaga saat menjadi narasumber Diskusi “Restitusi Tanah Masyarakat Adat dalam Hak Guna Usaha di Perkebunan Sawit”, Rabu (12/08/2020). Serial Diskusi Tandan Sawit Interaktif Vol. 11 yang dilaksanakan oleh Online Sawit Watch ini juga dalam rangka peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat. Diskusi yang dilakukan melalui aplikasi zoom meeting dan live youtube, ikut mengundang narasumber Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Rukka Sombolinggi dan Mantan Direktur Eksekutif TuK Indonesia, Norman Jiwan.

Sandra menyebut, pelanggaran terhadap hak masyarakat adat berakar dari pengabaian keberadaan mereka beserta hak-haknya. Minimnya pengakuan Pemerintah Daerah atas keberadaan masyarakat adat selalu menjadi dasar dari sulitnya pemulihan hak mereka. Selain itu, kebijakan pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan korupsi juga ikut berkontribusi terhadap munculnya pelanggaran ini. “Dalam konsep hak asasi manusia, restitusi merupakan salah satu bagian dari remedi. Kalau menggunakan istilah restitusi dalam konsep HAM menjadi lebih sempit. Remedi meliputi sejumlah hal yang lebih luas, seperti akses ke peradilan yang setara dan efektif. Kemudian mencakup ganti kerugian (reparasi) yang memadai, efektif, dan cepat atas kerusakan yang diderita, juga akses kepada informasi yang relevan mengenai pelanggaran ganti kerugian,” papar Sandra.

Pada 2015, Komnas HAM RI melalui dokumen Inkuiri Nasional telah menyampaikan rekomendasinya dalam lingkup remedi. Rekomendasi tersebut salah satunya agar pemerintah menempuh upaya rekonsiliasi antar masyarakat, penyelesaian konflik vertikal antara masyarakat dan penyelenggara negara. Selain itu, penyelesaian konflik hak atas tanah yang sudah berlarut harus diselesaikan secepatnya secara damai dengan didasari prinsip-prinsip hak asasi manusia.

GM PT PAL, Amirudin Abu Suid enggan berkomentar saat di konfirmasi soal sejumlah kejahatan lingkungan yang di lakukan oleh PT PAL, dirinya bahkan menolak berkomentar dan akan meminta ijin ke perusahaan induk di Jakarta dan singapura “Saya tidak berwenang, saya minta ijin ke pusat dulu petunjuknya seperti apa ya maf ya pak," jawabnya saat dikonfirmasi Senin, 12 April 2021.