Melongok Komitmen Nol-Deforestasi Bisnis Bubur Kertas Indonesia

Penulis : Kennial Laia

Deforestasi

Senin, 19 April 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Industri pulp Indonesia memiliki sejarah deforestasi yang panjang. Belakangan, perusahaan mulai "berbenah diri" dengan mengumumkan komitmen untuk memutus penggundulan hutan alam dalam rantai pasoknya. 

Berdasarkan penelusuran Trase, sebuah platform analisis dan data sumber daya alam, pulp Indonesia merupakan satu-satunya komoditas yang sepenuhnya tercakup dalam komitmen nol-deforestasi yang diadopsi eksportir. Sinar Mas, Royal Golden Eagle (RGE), dan Marubeni adalah tiga grup perusahaan besar yang telah menyatakan secara publik untuk mengakhiri deforestasi dalam rantai pasoknya. Tiga grup ini mengendalikan enam pabrik pulp aktif di Indonesia.

Namun, dua produsen pulp terbesar di Indonesia masih dikaitkan dengan konsesi kayu pulp dengan rekam jejak deforestasi. Asia Pulp & Paper (anak perusahaan Sinar Mas) dan APRIL (anak perusahaan RGE) tersandung isu deforestasi setelah komitmen mereka berlaku pada 2013 dan 2015. Hal itu diungkap dalam investigasi baru-baru ini yang mendokumentasikan APP dan APRIL membeli kayu dari konsesi yang menebang habis hutan alam seluas 200 kilometer persegi selama 2013-2017. 

Sejarah deforestasi dalam industri pulp

Tumpukan kayu dalam konsesi HTI di Kalimantan Barat. Foto: Pasopati Project

Industri pulp Indonesia menjadi salah satu pendorong tingginya deforestasi pada 1990-an. Hal itu ketika industri tersebut mengembangkan lebih dari 2 juta hektare hutan tanaman industri (HTI) untuk memasok kebutuhan pabrik. Sebagian besar ekspansi terjadi di area hutan primer terdegradasi, yang mayoritas berada di lahan gambut. Akibatnya, industri HTI menjadi pendorong utama deforestasi sepanjang awal 2010-an.

Namun, satu dekade terakhir melihat adanya penurunan dramatis deforestasi tahunan di dalam konsesi kayu pulp Indonesia. Trase mencatat terjadi penurunan deforestasi sejak 2012 sebesar 85 persen. Ketika Asia Pulp & Paper membuat komitmen nol-deforestasi saat ini, rata-rata deforestasi mencapai 140.000 hektare per tahun di wilayah yang kini dikelola sebagai bagian dari 91 konsesi serat kayu yang telah memasok industri pulp antara 2015 dan 2019.

Sebaliknya, dalam rentang 2017-2019, hanya 21.000 hektare per tahun yang dibuka di dalam konsesi yang sama. Penurunan penggundulan hutan sebesar 85 persen ini menunjukkan kemajuan yang luar biasa di sektor bisnis hutan tanaman industri.

Walau demikian, Trase masih menemukan pabrik dan grup perusahaan yang membeli kayu pulp dari konsesi yang terus menebangi hutan primer. Lewat laporan pasokan kayu dari setiap pabrik pulp, Trase menelusuri periode 2015-2019, terdapat total area seluas 170.000 hektare mengalami deforestasi di dalam konsesi yang memasok serat kayu ke pabrik-pabrik pulp di Indonesia.

Selama periode ini, RGE membeli kayu pulp dari konsesi yang telah mengalami 90.000 hektare dari total deforestasi, Sinar Mas membeli dari konsesi dengan 80.000 hektare deforestasi, dan Marubeni membeli dari konsesi dengan 40.000 hektare deforestasi.

Namun...

Walau belakangan berhasil menurunkan deforestasi, Trase menilai ekspor pulp Indonesia saat ini terkait erat dengan deforestasi historis yang dilakukan untuk membangun perkebunan hutan pulp yang luas. Sebagai contoh, pulp yang diekspor pada 2019 menggunakan kayu pulp dari perkebunan yang dikembangkan pada 2014 atau sebelumnya.

Trase menghitung luas rata-rata tahunan deforestasi yang terjadi di area perkebunan kayu pulp selama 10 periode alokasi—berkisar antara 6-16 tahun sebelum panen kayu pulp. Periode alokasi 10 tahun ini setara dengan dua rotasi lima tahun tanaman akasia atau eukaliptus, spesies kayu pulp utama yang digunakan di Indonesia.

Dari analisis tersebut, Trase menemukan pada pada 2019, RGE menjual pulp dengan intensitas deforestasi tertinggi pada kayu pulp (12,45 hektare per 1.000 ton produksi pulp), diikuti oleh Sinar Mas (5,75 hektare/ 1.000 ton), dan Marubeni (1,92/ 1.000 ton. Namun, angka tersebut masih konservatif. Jumlah yang sebenarnya bisa lebih besar, tulis Trase.

Risiko deforestasi 

Industri pulp di Indonesia terus berkembang. Salah satu dampaknya, permintaan kayu dan lahan tanam pun bertambah. Trase mencatat, lonjakan konsumsi kayu hampir sepertiga antara 2015 dan 2019. Penyebab utamanya adalah pembukaan pabrik OKI di Sumatera Selatan pada 2016, yang meningkatkan kapasitas pemrosesan domestik di sektor itu sebesar 38 persen.

Selain itu, mayoritas basis perkebunan pabrik baru itu berada di lahan gambut yang telah mengalami kebakaran berulang. Banyak pihak memperkirakan, perkebunan ini akan terus kurang produktif atau bahkan tidak bertahan. Ditambah dengan adanya komitmen perusahaan untuk mengurangi aktivitas di lahan gambut.

Akibatnya, industri pun perlu mengalihkan sebagian besar basis perkebunannya ke tempat lain. Hal ini dikhawatirkan adanya risiko deforestasi di masa mendatang dari industri pulp, terutama di Kalimantan, Papua, dan beberapa pulau kecil di Indonesia. Wilayah tersebu tmemang masih punya hutan hujan tropis yang luas.

Karena itu, “pelaksanaan sepenuhnya komitmen yang dibuat oleh sektor pulp akan menjadi penting untuk melanjutkan pengurangan deforestasi yang terlihat dalam beberapa tahun terakhir,” tulis Trase.

Artikel ini mengadaptasi laporan/analisis di trase.earth