Akhir Tahun PLTU Batang Siap Beroperasi

Penulis : Sandy Indra Pratama

Lingkungan

Selasa, 20 April 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Chief Financial Officer PT Adaro Energy Tbk Luckman Lie mengatakan proses pembangunan PLTU Batang, Jawa Tengah, sudah lebih dari 94 persen dan diperkirakan bisa beroperasi akhir 2021 atau awal 2022. Jadwal tersebut molor dari rencana operasional semula yakni pada 2020.

"Banyak hal yang perlu dikejar dan kami perbaiki sana-sini dan progress sedang kejar terus kita harap akan beroperasi di akhir 2021 akhir ya, atau awal 2022 di proyek Batang," ujarnya kemarin.

Lie menjelaskan nantinya Adaro akan menyuplai 5-7 juta ton batu bara untuk PLTU Batang per tahunnya. "Itu progress batang dan konsumsi batu bara yang akan disuplai Adaro," imbuhnya.

Terkait dengan pasokan listrik yang tak terserap dan potensi oversupply, ia mengaku tak khawatir sebab potensi peningkatan konsumsi listrik terbuka lebar seiring percepatan penanganan covid-19 melalui vaksinasi.

Penolakan terhadap pembangunan ini tidak hanya terjadi di Batang tetapi juga di tempat-tempat lain seperti Indramayu, Cirebon, Jepara, Bengkulu, dan Cilacap. PLTU ini dinilai bertentangan dengan visi Nawacita Jokowi yakni kedaulatan pangan dan kedaulatan energi. (Ardiles Rante/Greenpeace)

"Semakin cepat vaksinasi, pemerintah mati-matian lakukan itu, pertumbuhan perekonomian sangat diperlukan. Saya pikir setelah vaksinasi selesai pasokan listrik akan naik dengan sendirinya. Saya kira timingnya pas. Saya masih optimis ini berlangsung dengan baik," jelasnya.

Proyek PLTU Batang sendiri merupakan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dengan investasi senilai US$4,2 miliar atau sekitar Rp58,8 triliun (asumsi kurs Rp14.000 per dolar AS).

Proyek ini dikerjakan oleh PT Bhimasena Power Indonesia (BPI), yang merupakan anak usaha PT Adaro Energy Tbk, sebagai kontraktor pelaksana.

Dalam hal ini, BPI menanggung sekitar 20 persen dari total kebutuhan investasi. Sementara itu, sisanya disediakan oleh Japan Bank for International Cooperation (JBIC) sebesar US$1,92 miliar (48 persen dari biaya investasi) dan konsorsium bank sebesar US$1,28 miliar (32 persen dari nilai investasi).

Proyek ini digadang-gadang sebagai proyek KPBU Listrik terbesar di Asia, dengan kapasitas sebesar 2 x 1.000 megawatt (MW). Proyek ini juga diklaim lebih efisien karena menggunakan teknologi ultra supercritical yang mampu menekan penggunaan bahan bakar.

Namun, pembangunan PLTU selalu memancing pro kontra. Terlebih di era yang seharusnya semua kita peduli akan lingkungan dan keberlangsungannya. Perlu diketahui, sedari 2017, koalisi lembaga peduli lingkungan terdiri Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Jaringan advokasi tambang, (JATAM) dan Greenpeace Indonesia kerap menggelar aksi penolakan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Pantai Ujungnegoro, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

Penolakan terhadap pembangunan ini tidak hanya terjadi di Batang tetapi juga di tempat-tempat lain seperti Indramayu, Cirebon, Jepara, Bengkulu, dan Cilacap. PLTU ini dinilai bertentangan dengan visi Nawacita Jokowi yakni kedaulatan pangan dan kedaulatan energi.

Bisnis PLTU dan Kelindan Politiknya

Bisnis PLTU tak bisa lepas dari politik. Bahkan, Transparency International (TI) Indonesia menyatakan ada 40 dari 90 perusahaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di dalam negeri yang memiliki direksi dan komisaris dengan kepentingan politik (politically exposed persons/PEPs). Peneliti TI Indonesia Belicia Angelica mengatakan kategori kepentingan politik ini misalnya, seorang direksi atau komisaris di perusahaan tersebut merupakan pejabat publik.

"Ini sebenarnya tidak berkonotasi buruk, tapi perlu perhatian ekstra terhadap fakta ini karena kebijakan publik di sektor kelistrikan ini berpotensi dipengaruhi oleh para direksi dan komisaris tersebut," ujar Belicia dalam konferensi pers virtual, kemarin.

Berdasarkan survei yang dilakukan pada Juli-Desember 2020 kepada 90 perusahaan PLTU itu, perusahaan swasta yang memiliki direksi atau komisaris dengan kategori PEPs bisa memiliki akses ke pengambil kebijakan. Begitu juga dengan BUMN dan perusahaan lainnya. Bahkan, mereka kerap kali merekrut seseorang untuk menjadi direksi atau komisaris berkategori PEPs untuk mendukung kebijakan perusahaan dalam kompetisi politik.

"Selain PEPs, dari penelusuran ini, direksi dan komisaris ditemukan ada beberapa nama yang masuk dalam list Panama Paper, namun belum bisa dibuka satu per satu saat ini," ujarnya.

Dari latar belakang, TI Indonesia mencatat ada 47 orang direksi atau komisaris berkategori PEPs yang berasal dari lingkungan birokrasi, 32 orang merupakan orang dekat PEPs, dan 37 orang memegang jabatan strategis di tempat lain.

Sisanya, merupakan penegak hukum empat orang, militer sembilan orang, dan politisi tiga orang. Di sisi lain, Belicia menyatakan ada 40 perusahaan atau 44 persen diantaranya yang tidak mengungkap informasi terkait perusahaan dan bisnisnya ke publik.

CNNINDONESIA| BETAHITA