Ikhtiar Perlindungan Satwa Liar Lewat Gugatan Hukum Perdata

Penulis : Kennial Laia

Satwa

Rabu, 21 April 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Perdagangan ilegal satwa liar marak di Indonesia. Trennya meningkat dari tahun ke tahun, dan menimbulkan kerugian hingga triliunan rupiah. Karena itu, perlu pendekatan baru dari sisi penegakan hukum untuk mengatasi persoalan tersebut.  

Direktur Hukum Yayasan Auriga Nusantara Roni Saputra mengatakan, kerugian negara akibat kejahatan satwa liar mencapai Rp 13 triliun setiap tahun, berdasarkan penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Menurut Roni, salah satu faktor masih berlangsungnya perdagangan ilegal satwa liar adalah penegakan hukum yang tidak memberikan efek jera. Saat ini aktor lebih banyak menjadi pesakitan, namun dalang atau cukongnya tidak tersentuh hukum. 

“Putusan pengadilan pun relatif lebih rendah dan tidak memberikan efek jera kepada pelaku, dan hanya menjerat pelaku lapangan seperti pemburu,” kata Roni kepada Betahita, Selasa, 20 April 2021.

Badak sumatera, Ratu, dengan anaknya di Suaka Rhino Sumatera, Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: International Rhino Foundation

Berdasarkan data putusan pengadilan kasus tumbuhan dan satwa liar 2013-2017, setidaknya terdapat 84 perkara. Dari kasus tersebut, kata Roni, interval tuntutan jaksa berkisar dari dua bulan hingga 36 bulan. Jika diambil rata-ratanya menjadi 11 bula. Sementara itu, putusan pengadilan berkisar dari satu bulan sampai 34 bulan (jika dipukul rata sekitar 7,7 bulan).

Roni mengatakan, persoalan paling penting dari pemidanaan adalah tidak ada kewajiban bagi pelaku untuk memulihkan kerusakan atas hilangnya satwa dari habitatnya. Pidana denda yang dijatuhkan oleh pengadilan juga dapat diganti dengan hukuman penjara.

“Dengan kata lain kita tidak bisa berharap akan adanya efek jera bagi pelaku kasus perdagangan tumbuhan dan satwa liar,” jelasnya.

Roni mengatakan, penggunaan instrumen perdata diperlukan untuk memastikan pelaku melakukan pemulihan dan memastikan perlindungan terhadap satwa bisa terlaksana.

Hal itu sejalan dengan panduan pionir yang menggunakan hukum lingkungan untuk melindungi spesies terancam, termasuk dari perdagangan ilegal. Panduan tersebut disusun oleh tim gabungan yang terdiri dari ilmuwan, pengacara, dan ekonom internasional. Tim tersebut yang berasal dari delapan negara, termasuk Indonesia, mengusulkan penggunaan baru dari gugatan pertanggungjawaban lingkungan.

Pendekatan ini diharapkan dapat menuntut pertanggungjawaban pelaku perdagangan satwa liar atas kerusakan yang mereka perbuat—tidak hanya pada tumbuhan dan hewan, namun juga dampak berjenjang terhadap keberlangsungan spesies, kesejahteraan manusia, dan ekosistem.

Untuk melakukan itu, tim akan meluncurkan pedoman berjudul Pioneering civil lawsuits for harm to threatened species, dan situs www.conservation-litigation.org, yang menjelaskan bagaimana inovasi litigasi berbasis sains dapat menjadi harapan baru bagi satwa terancam.

“Hukuman bui dan denda digunakan di seluruh dunia sebagai sanksi kejahatan satwa liar, namun itu tidak banyak membantu pemulihan keanekaragaman hayati,” kata Dr. Jacob Phelps, penulis utama panduan yang berbasis di Lancaster Environment Centre, Inggris.  

“Sudah waktunya berhenti berfokus pada sanksi semata, dan mulai memperbanyak upaya  pemulihan kerusakan akibat kejahatan terhadap satwa liar. Ini peluang penting untuk dunia konservasi,” jelasnya.

Panduan baru ini menyediakan metode pengembangan gugatan dalam kasus satwa liar, yang bertujuan untuk memerintahkan pelaku bertanggungjawab dengan cara seperti melakukan konservasi spesies, permintaan maaf publik, rehabilitasi hewan, dan pendidikan lingkungan.

“Dari perspektif ilmu konservasi, tindakan seperti ini dibutuhkan untuk merespon perdagangan ilegal satwa liar, namun masih jarang dilakukan,” kata Dr. Taufiq Purna Nugaha dari Research Centre for Biology, Indonesian Institute of Sciences.

Roni, yang menjadi menjadi anggota tim, mengatakan bentuk gugatan yang dimaksudkan tim itu nantinya menempatkan satwa sebagai subjek hukum yang bisa menuntut hak. Penggugatanya pun dapat mengajukan tuntutan berupa valuasi terhadap satwa.

“Sebab, hingga saat ini penghitungan valuasi untuk satwa belum ada,” kata Roni.

Menggugat pelaku lewat gugatan perdata dengan hukuman seperti konservasi dan rehabilitasi spesies diharapkan dapat memberikan efek jera. Sebab, kata Roni, hingga saat ini belum ada yang mengukur efektivitas hukuman denda atau pemberian gantu rugi untuk menurunkan tingkat kejahatan.

“Namun, setidaknya dengan tidak melabeli seseorang sebagai penjahat, dan memastikan mereka yang merusak melakukan pemulihan dalam waktu cukup lama, akan memberikan efek jera bagi dia untuk melakukan kerusakan,” pungkasnya.