HARI BUMI: Wabah Corona Hancurkan Hutan Dunia

Penulis : Tim Betahita

Hutan

Kamis, 22 April 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Data layanan pemantauan Global Forest Watch (GFW) menyatakan setiap enam detik, bumi kehilangan hutan hujan tropis seluas satu lapangan sepak bola. Berkurangnya tutupan hutan hujan tropis terjadi ketika kesadaran tentang peran penting hutan sebagai penyimpan karbon dalam memperlambat perubahan iklim tengah digencarkan.

Berdasarkan artikel yang dipublikasi oleh DW, Frances Seymour, seorang rekan senior WRI, kelestarian sumber daya alam khususnya hutan, dikesampingkan oleh semua pihak saat pandemi Covid-19 melanda sepanjang tahun 2020. Upaya penegakan hukum dan perlindungan hutan telah dibatasi oleh pemberlakuan kebijakan lockdown di seluruh dunia akibat pandemi. Pemangkasan anggaran yang sebelumnya dialokasikan terhadap kelestarian alam, pun ikut dipangkas.

"Selain itu, terjadinya indikasi krisis ekonomi ditangkahi dengan melonggarkan aturan perlindungan lingkungan sebagai cara untuk memfasilitasi investasi demi mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Seymour.

Indonesia, Pandemi, hutan dan perubahan iklim

Hutan Nasional Tongass (Wikimedia)

Penebangan hutan jelas berdampak pada perubahan iklim, sebab secara teori pohon menyerap sekitar sepertiga emisi karbon yang dihasilkan di seluruh dunia. Hutan juga menyediakan makanan dan mata pencaharian bagi orang-orang yang tinggal di dalam atau di sekitarnya, serta merupakan habitat penting bagi satwa liar.

Pada 2019, hilangnya 3,8 juta hektar hutan dunia menjadi kemerosotan terbesar ketiga sejak pergantian abad. Brasil, Republik Demokratik Kongo, dan Indonesia, menurut pantauan Global Forest Watch (GFW), merupakan tiga negara yang paling banyak kehilangan hutan pada kurun waktu itu.

Sebenarnya, kata Seymour, kala pandemi melanda permintaan akan komoditas pembabat hutan dunia macam sawit dan kedelai ikut menurun. Namun laju deforestasinya tetap tidak terhentikan. Apa pasalnya? “Banyak pekerja di sejumlah kota juga kehilangan pekerjaan dan kembali ke kampung halaman mereka dapat meningkatkan pembukaan hutan skala kecil," katanya.

Berdasarkan catatan GFW, laju deforestasi di Indonesia memang rendah pada 2019, pemberlakuan aturan dan moratorium memang memiliki dampak baik. Namun, sayangnya, lanjut Seymour, pemerintahan yang indeks korupsinya mengkhawatirkan itu, ditingkahi juga dengan tumpang tindihnya klaim lahan membuat Indonesia sebagai rumah bagi hutan tropis terbesar ketiga di dunia, tidak berhenti membuka hutan dan lahan.

“Belum lagi berdasarkan perkembangan kabar dari para aktivis lokal soal undang-undang penciptaan lapangan kerja yang menurut para aktivis dapat merusak alam dan lingkungan di tahun mendatang,” kata Seymour dalam analisisnya.

Mengomentari analisis tersebut, Gemma Tillack, Direktur Kebijakan Kehutanan Rainforest Action Network mengatakan Deforestasi jelas masih terjadi di Indonesia dan dalam beberapa kasus mengalami lonjakan -sepanjang tahun lalu saat pandemi melanda.

"2020 akan dikenang sebagai tahun di mana perusakan hutan hujan terus berlanjut, meskipun korporasi dan bank besar menyatakannya sebagai tahun sukses (atau gagal) untuk mengakhiri deforestasi," katanya. Berkurangnya hutan tropis pada 2020, berdasar data, luasnya lima kali lebih besar dibanding tahun 2019.

Banyaknya hutan yang hancur pada 2020

Sementara itu, di Brasil, data pemerintah menunjukkan laju deforestasi hutan hujan Amazon melonjak ke level tertinggi 2020. Kerusakan terus terjadi sejak Presiden Jair Bolsonaro menjabat akibat dari penegakan hukum dan perlindungan lingkungan melemah.

Anders Haug Larsen, Kepala Kebijakan di Rainforest Foundation Norwegia yang berbasis di Oslo, mengatakan data pemantauan hutan menunjukkan tingkat deforestasi di Amazon Brasil dapat meningkat sekitar 10% pada 2020.

"(Selain itu), kami juga melihat otoritas lokal di Indonesia dan Brasil mengalihkan dana pencegahan kebakaran hutan untuk memerangi COVID-19," kata Larsen, yang mendesak negara-negara di seluruh dunia untuk berinvestasi dalam pemulihan hijau.

Di Australia, kebakaran hutan pada tahun 2019 dan 2020 menghancurkan lebih dari 11 juta hektar di wilayah tenggara, Luasan itu setara dengan sekitar setengah dari luas Inggris.

2020 memang menjadi "tahun yang menghancurkan" bagi hutan di banyak bagian dunia. Perlu aturan yang lebih kuat demi menghentikan deforestasi.

Peraturan tersebut, kata Fran Raymond Price, Pemimpin Praktik Kehutanan Global di WWF International, harus berfokus pada penguatan dan perluasan hak bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal, serta mendukung petani untuk merangkul praktik berkelanjutan, tambahnya. “Sebab masyarakat adat merupakan penjaga terbaik hutan alam,” ujarnya.

DW| BETAHITA