Jauh di Pedalaman Hutan Sumatera, Gajah vs Segalanya

Penulis : Tim Betahita

Satwa

Kamis, 29 April 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Dari ratusan jenis mamalia yang terancam hidupnya di Indonesia, menurut IUCN Red List, Gajah Sumatera dikategorikan Critically Endangered, artinya sudah sangat terancam kepunahan. Hasil analisis sistem informasi geografis (SIG), juga mengatakan kantong habitat gajah saat ini banyak ditemukan di luar kawasan konservasi.

Artinya ancaman konflik semakin tinggi buat para gajah. Siapakah lawan Gajah Sumatera sebenarnya?

Menurut data dari dokumen Rencana Tindakan Mendesak Penyelamatan Populasi Gajah Sumatera 2020-2023, deforestasi atau berkurangnya tutupan lahan hutan menjadi punca masalah.

Hutan sebagai habitat asli gajah kini diketahui terus menyusut. Masih berdasar kepada dokumen resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pada 2000, luas hutan di Provinsi Riau dan Jambi masih 7,8 juta Ha. Namun dari tahun ke tahun luasannya terus menyempit hingga data pada 2014 diketahui, luas hutan di dua provinsi mengalami penurunan 3,4 juta Ha atau setara 43,6% dari jumlah luasan hutan sebelumnya.

Kawanan gajah sumatera. (twitter/CRU Aceh)

Kondisi ini yang membuat status populasi Gajah Sumatera saat ini menjadi kritis (Critically Endangered). Penurunan populasi dan hilangnya habitat menyebabkan populasi gajah terpecah, mengelompok di kantong - kantong populasi yang lebih kecil.

Dengan daya dukung yang semakin terbatas dan adanya tabiat perkawinan sedarah (inbreeding), Gajah semakin terpojok, terlebih saat ia berada di dalam kantong populasi yang kecil. Sebab dua konflik penyebab kepunahan tadi peluang terjadinya menjadi lebih tinggi. Masalah ini merupakan ancaman yang sangat serius bagi populasi kecil.

(Baca juga: Sedih Wajah Gajah di Belantara Indonesia)

Sebagai gambaran dari dua permasalahan tadi, menurut data IUCN, Sepanjang 2011-2017, telah terjadi kepunahan lokal pada 20 kantong habitat Gajah. Sehingga kini hanya terdapat 22 kantong populasi gajah di seluruh Sumatera. Itu pun beberapa diantara kantongnya berada dalam kondisi kritis.

Sebanyak lima kantong habitat berada di Aceh. Empat kantong di Riau dan Sumatera Selatan, Dua di Lampung, dan masing-masing saut kantong tersebar di Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu dan perbatasan di setiap provinsi tadi.

Kondisi Kritis dalam Kantong

Jika persoalan yang mengepung gajah ini tidak ditangani dengan serius dalam waktu singkat, maka populasi gajah sumatera tidak viable untuk berkembang dan tingkat erosi genetik akan semakin tinggi.

Berdasarkan dokumen SRAK Gajah 2020-2023, kematian gajah in-situ di Indonesia terfokus di Aceh, Riau,Jambi dan Lampung. Dalam 10 tahun terakhir penyebab utamanya adalah konflik gajah dengan manusia, perburuan, sakit dan beberapa kematian dengan kondisi tidak teridentifikasi.

Di Aceh, kematian gajah terfokus di Aceh Timur dan Aceh Tengah. Kondisi yang kritis bagi kantong gajah juga dialami di Subbusalam (Aceh Selatan). Sementara di Riau, kematian gajah terpusat di Tesso Nilo dengan kematian di 2013 – 2014 mencakup 80% dari seluruh kematian gajah di Riau.

Balai Raja dan Giam Siak menduduki tempat kedua sebagai lokasi dengan jumlah kematian gajah dan manusia tertinggi di Propinsi Riau.

Di Jambi, kantong gajah di Tebo memiliki jumlah kematian gajah yang lebih tinggi dibandingkan lokasi lain di sana. Konflik dengan manusia yang berkepanjangan menjadi sebab utamanya.

Dua kantong gajah yang merupakan wilayah rawan kematian Gajah Lampung, yaitu di Bukit Barisan Selatan (BBS) dan Way Kambas. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2004, estimasi populasi gajah di BBS mencapai angka 498 individum sedangkan berdasarkan survei genetik pada tahun 2017, estimasi populasi menunjukkan angka 122 individu. Sementara itu lebih ngerinya lagi, berdasarkan data CRU
dalam 5 tahun terakhir, tidak dijumpai lagi gajah jantan di Way Kambas.

(Baca juga: Mamalia dan Burung Indonesia, Spesies Paling Terancam di Dunia)

Dari data kementerian, rupanya analisis dari Supin Yohar, Direktur Hutan Yayasan Auriga Nusantara benar adanya. Meski tak berdasarkan data pasti, namun bisa dipastikan keterancaman banyak spesies di Indonesia, baik hewan maupun tanaman diakibatkan oleh adanya tiga hal.

“Pertama, karena terjadinya kerusakan habitat yang hebat, perburuan hingga perdagangan yang tidak memperhatikan keberlangsungan, dan terakhir soal konflik dengan manusia,” ujarnya.

Kerusakan habitat, kata Supin, sangat memungkinkan berkontribusi sangat besar terhadap keterancaman. Alih fungsi lahan mengakibatkan hilangnya habitat alami. “Perkebunan sawit, hutan tanaman industri seperti akasia, serta kebakaran hutan menjadi faktor yang paling berpengaruh,” ujarnya.

Sejalan dengan pernyataan itu, kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan yang mendalami data yang sama yakni daftar merah IUCN, menyebutkan bahwa ada banyak faktor yang kemudian mengancam kepunahan spesies. Namun, secara ranking yang paling mengancam bagi hewan tidak bertulag belakang, datang dari eksploitasi langsung (perburuan), polusi, adanya invasi spesies lain, dan perubahan iklim.

Sedangkan bagi hewan vertebrata, atau bertulang belakang, di mana mamalia dan buruh ada di kelompok ini, penyebab paling tingginya datang dari Ekploitasi langsung manusia baik terhadap hewan maupun habitatnya, perambahan untuk pertanian dan perkebunan, pemukiman, dan produksi energi.

Jadi, pada saat kita menjalani hari secara biasa saja di kota tempat kita berada, nun jauh di Pedalaman Hutan Sumatera, Gajah vs Segalanya.

Cerita ini bagian kedua sekaligus pendalaman dari bahasan soal Potret “Mamalia dan Burung Indonesia, Spesies Paling Terancam di Dunia” oleh betahita.id.