Tak Satu Negara Kaya Hutan Dunia Berkomitmen Hentikan Deforestasi

Penulis : Tim Betahita

Perubahan Iklim

Kamis, 29 April 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Sebuah kajian dari Rainforest Foundation Norway (RFN) menyatakan negara-negara kaya hutan seperti Brasil, Peru, Indonesia, Republik Kongo dan Kolombia dinilai tidak berencana untuk mau menghentikan deforestasinya, hingga 2030. Padahal negara-negara kaya hutan yang disebut tadi, pernah berkomitmen sanggup untuk mengakhiri deforestasinya paling lambat pada 2030, dalam Deklarasi New York tentang hutan.

Menurut data RFN, komitmen setiap negara itu sangat penting. Mengingat perusakan hutan tropis bisa mengakibatkan pemanasan global lebih dari 1,5 derajat celcius.

Oleh karenanya, laju deforestasi harus segera dihentikan di setiap negara kaya hutan di dunia. Sejalan dengan tujuan Perjanjian Paris yang menjaga agar tidak terjadi pemanasan global yang ekstrem.

Kabar terbaru, AS lantas berinsiatif mengundang para kepala negara kecuali Peru, untuk berbicara di Leader's Summit on Climate Change yang diselenggarakan oleh Presiden Biden pada Kamis, 22 April lalu. Fokusnya pada peningkatan ambisi penanggulangan masalah perubahan iklim dunia.

Ilustrasi perubahan iklim. (Sandy Indra Pratama| Betahita)

Lepas berdiskusi, semua negara didorong untuk mengajukan NDC baru dan lebih ambisius, untuk membantu menutup kesenjangan emisi dan membawa dunia sejalan dengan target 1,5 derajat. Brazil, Peru, dan Kolombia mengajukan Nationally Determined Contribution (NDC) baru pada tahun 2020, sedangkan Indonesia dan DRC belum.

Kabar buruk datang dari Brasil yang mundur dari ambisi sebelumnya. Analisis RFN menunjukkan bahwa NDC Brasil dapat menyebabkan setidaknya 10 juta hektar lahan terdeforestasi hanya di Hutan Amazon saja.

“Dengan menghitung ulang emisi dasarnya, Brasil telah berhasil memberikan dirinya kebebasan untuk meningkatkan emisi secara dramatis. NDC baru memungkinkan Brasil mengeluarkan 3,4 gigaton lebih banyak CO2 selama dekade berikutnya daripada komitmen iklim sebelumnya. Karena sebagian besar emisi berasal dari deforestasi, hal ini akan meningkatkan situasi kritis hutan hujan, ”kata Anders Haug Larsen, Head of Policy RFN.

Kabar baikn lantas datang dari Kolombia dan Peru yang telah meningkatkan ambisi (NDC) mereka. Meski nilai gabungan dari kedua negara ini belum cukup untuk mengimbangi bahkan menutupi kabar buruk dari Brasil.

“Ambisi Kolombia yang meningkat termasuk mengurangi deforestasi tahunan menjadi 50.000 hektar, pengurangan 85% dari level tahun 2020. Ini adalah peningkatan ambisi yang signifikan, tetapi karena deforestasi di Kolombia saat ini meningkat pesat, langkah-langkah baru untuk mengekang dan membalikkan tren ini perlu segera diterapkan, ”kata Anders.

Sementara itu Indonesia dan Republik Kongo membiarkan diri mengalami tingkat deforestasi yang tinggi hingga tahun 2030 dalam NDC mereka saat ini. Deforestasi tahunan yang diperkirakan dalam NDC Indonesia saat ini jauh di atas tingkat deforestasi saat ini. Itu menunjukkan bahwa sebenarnya masih ada ruang untuk meningkatkan ambisi.

“Jika lima negara ini tidak meningkatkan ambisi mereka untuk mengakhiri deforestasi, maka risiko target 1,5 derajat pemanasan global tidak dapat dijangkau dan titik kritis yang membayangi ekosistem penting bergerak semakin dekat,” kata Anders.

Seolah menjawab kajian RFN, Presiden Jokowi menjawab Indonesia serius dalam mengatasi perubahan iklim. Presiden dalam pertemuan para petinggi negara mengklaim capaian Indonesia seperti penurunan laju deforestasi terendah dalam 20 tahun terakhir serta penurunan kebakaran hutan dan lahan.

Presiden Jokowi mengatakan, Indonesia telah memperbaharui Nationally Determined Contribution (NDC) yang tercakup dalam Kesepakatan Paris untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim. Indonesia juga siap untuk menyambut Konvensi Kerangka Perubahan Iklim ke-26 yang akan diadakan di Glasgow, Inggris, November mendatang.

“Kami menyambut baik target beberapa negara untuk mencapai emisi nol-bersih pada 2050. Namun, untuk memastikan kredibilitasnya, komitmen tersebut harus dilaksanakan berdasarkan komitmen NDC 2030,” ujar Presiden Jokowi dalam pidatonya.

Untuk mencapai target Kesepakatan Paris dan agenda bersama, sebut Presiden Jokowi, Indonesia saat ini tengah mempercepat proyek pilot emisi nol termasuk pembangunan Indonesia Green Industrial Park seluas 12.500 hektare di Kalimantan Utara. Selain itu, saat ini Indonesia tengah merehabilitasi 620.000 hektare hutan bakau pada 2024. Presiden Jokowi juga menyebut ada peluang besar termasuk pengembangan biofuel, industri baterai litium, dan kendaraan listrik.

“Indonesia terbuka terhadap investasi dan transfer teknologi termasuk transisi energi,” kata Presiden Jokowi.

WALHI Nilai Pidato Jokowi Kehilangan Momentum

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengatakan, pidato Presiden Jokowi dalam konferensi tingkat tinggi pemimpin dunia tidak memperlihatkan adanya “sense of crisis” atas situasi Indonesia yang telah mulai menderita dampak perubahan iklim. Contohnya, cuaca ekstrem yang memicu banjir besar di Kalimantan Selatan dan siklon tropis Seroja yang melanda wilayah Nusa Tenggara Timur baru-baru ini.

“Tidak disampaikannya komitmen penurunan emisi yang agresif dalam pertemuan para pemimpin dunia juga menunjukkan tendensi Indonesia untuk menjauhkan diri dari pergaulan global yang bertujuan untuk menyelamatkan umat manusia, terutama generasi yang akan datang, dari bahaya krisis iklim,” kata WALHI dalam keterangan tertulis yang diterima Betahita, Jumat, 22 April 2021.

Padahal Indonesia—sebagai salah satu negara terdampak besar—memiliki potensi untuk bisa memimpin arah kebijakan global dalam agar mendukung upaya adaptasi negara terdampak. Namun, dalam pertemuan tersebut, Presiden Jokowi disebut melakukan business as usual yaitu “penanganan perubahan iklim berbasis proyek, yang dalam pengalaman sebelumnya terbukti tidak berhasil dan tidak berkelanjutan,” terang WALHI.

Sebagai salah satu negara yang terdampak besar, Indonesia memiliki potensi yang besar untuk bisa memimpin arah kebijakan global agar mendukung upaya adaptasi negara-negara terdampak, dengan cara menunjukkan kepemimpinan nyata dalam menurunkan emisi di dalam negeri melalui kebijakan serta rencana yang sistematis dan terukur.

“Pertemuan KTT Perubahan Iklim merupakan missed opportunity bagi Indonesia. Di tengah urgensi kriris iklim, Presiden justru tampil ambigu, alih-alih mengambil langkah kepemimpinan yang berani, yang bisa menginspirasi para pemimpin dunia lainnya,” kata Direktur Eksekutif Nasional WALHI Nur Hidayati.