Kala PT Arara Abadi Datang Menggusur Ladang Adat Suku Sakai

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Selasa, 04 Mei 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Letusan konflik agraria terjadi di Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Puluhan masyarakat adat Batin Beringin-Sakai yang sedang bercocok tanam ubi, cabai, jagung dan tanaman pangan lainnya di peladangan di wilayah adatnya, mengalami bentrok dengan ratusan orang, yang disebut berasal dari PT Arara Abadi.

Peristiwa ini terjadi pada Rabu pagi pekan lalu, sekitar pukul 09.30 WIB di Wilayah Adat Batin Beringin-Sakai, lokasinya di Dusun Suluk Bongkal, Desa Koto Pait, Kecamatan Tualang Mandau. Saat itu, pihak perusahaan dilaporkan melakukan pematokan di areal yang sedang dikelola masyarakat adat secara paksa, untuk ditanami tanaman eukaliptus.

"Warga yang mayoritas adalah perempuan mencoba mempertahankan haknya dari perusahaan hingga akhirnya terjadi pengusiran paksa terhadap warga tersebut. Anak-anak yang juga ada di lokasi mengalami ketakutan melihat orang tua mereka yang mengalami pengusiran paksa," kata Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Padahal, lanjut Rukka, selama ini warga mencoba mengelola lahan di dalam wilayah adat Batin Beringin-Sakai untuk ditanami kebutuhan pangan. Selama masa pandemi ini masyarakat adat yang digerakkan oleh pemuda adat mengelola sekitar 10 hektare lebih lahan untuk tanaman pangan, seperti semangka, cabe, jengkol, padi dan lain-lain, sebagai sumber kebutuhan pangan warga di masa pandemi.

Dalam tangkapan layar video amatir, tampak sejumlah masyarakat adat Batin Beringin-Sakai mencoba mempertahankan palang kayu dari upaya pembongkaran yang dilakukan sejumlah petugas keamanan PT Arara Abadi, Rabu (28/4/2021).

Bahkan dalam kejadian tersebut, masyarakat adat, yang kebanyakan adalah perempuan, disebut-sebut mendapat intimidasi dan kekerasan. Rukka menyebut, beberapa masyarakat suku Sakai mengalami memar, luka dan terkilir akibat perbuatan yang dilakukan oleh petugas keamanan PT Arara Abadi.

Laporan ke Kepolisian

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru yang turun ke lokasi melakukan pendampingan hukum bagi masyarakat adat Batin Beringin menyebut, ratusan orang PT Arara Abadi datang ke peladangan milik masyarakat adat untuk melakukan perobohan pondok dan menyabuti tanaman yang telah ditanami masyarakat adat Suku Sakai.

Akibat bentrok tersebut, masyarakat adat yang mencoba melakukan perlawanan mendapatkan luka-luka. Putih misalnya, seorang nenek yang mendapat kekerasan dari pihak keamanan perusahaan karena mencoba menghalangi perobohan pondok dan penyabutan tenaman. Nenek Putih diangkat oleh 4 orang security PT Arara kemudian dilemparkan ke parit.

Tak hanya nenek Putih, warga lain bernama Jummadel juga mendapat perlakuan kasar, yakni diseret. Selanjutnya seorang perempuan bernama Fitriyani dilaporkan mengalami cidera (terkilir) pada tangan kiri karena digenggam oleh security perusahaan dengan kuat. Ada juga nama lain seperti Salbiah, Mugianto, Ipuk, Antik dan Nurlela yang juga menjadi korban kejadian penggusuran Jumat pagi itu.

Di kesempatan lain, Direktur LBH Pekanbaru, Andi Wijaya mengatakan, setelah mendengar keterangan dari masyarakat Suku Sakai dan beberapa korban yang mengalami luka-luka, Kamis (29/4/2021) tim LBH Pekanbaru bersama masyarakat yang menjadi korban membuat laporan ke Kantor Polsek Pinggir atas dasar penganiayaan berdasarkan STPL Nomor: 70/IV/2021/SPKT/RIAU/BKS/SEK-PGR tanggal 28 April 2021.

Menurut Andi, apa yang dilakukan oleh PT Arara Abadi adalah bentuk kekerasan dan intimidasi yang nyata serta sikap arogansi yang tidak menghormati hak-hak masyarakat adat yang telah lama hidup dan mengelola hutan maupun lahan secara turun temurun.

"Sampai saat ini kita belum dapat info dari Polsek. Kita mendesak untuk KLHK segera turun untuk menyelesaikan persoalan tanah ulayat Suku Sakai ini," Kata Andi, Sabtu (1/5/2021).

Samuel Purba, salah satu pengacara publiK LBH Pekanbaru yang melakukan pendampingan terhadap masyarakat Sakai meminta kepada pihak kepolisian untuk melakukan perlindungan dan penegakan hukum yang konkrit terhadap kasus ini untuk menjamin hak konstitusi setiap warga negara.

"Juga perlunya peran pemerintah pusat dan daerah untuk menyelesaikan Konfik yang terjadi antara PT Arara Abadi dengan masyarakat Sakai yang terus berulang ini secara jelas," tegas Samuel.

Tanaman Pangan Masyarakat Adat Terus Dirusak

Ismail Dolek, salah seorang pemuda Masyarakat Adat Batin Beringin-Sakai mengatakan, tanaman pangan yang mereka tanam di perladangan masyarakat Suku Sakai sebagian besar telah rusak oleh aktivitas kegiatan PT Arara Abadi yang menggunakan escavator. Lahan tersebut juga sudah langsung mulai ditanami dengan tanaman eukaliptus oleh pihak perusahaan sejak Rabu pekan lalu, dengan dikawal personel brimob dan Polsek.

Pada Minggu (2/5/2021) siang, pihak PT Arara Abadi terpantau melakukan penggemburan tanah di areal tanam jengkol, jeruk nipis, pisang barangan dan ubi kayu milik masyarakat adat Batin Beringin Sakai 6. Sedangkan masyarakat adat sejauh ini hanya bisa memantau namun masih tetap mencoba mempertahankan pondok jaganya di peladangan.

"Perkembangan terbarunya hari ini (3/5/2021) mereka (PT Arara Abadi) terus melakukan penanaman eukaliptus. Sementara waktu, tanaman masyarakat hancur dipijak-pijak alat berat PT Arara Abadi," kata Ismail, Senin (3/5/2021).

Ismail mengaku belum mengetahui secara pasti berapa angka luas wilayah ada Batin Beringin-Sakai yang telah digarap pihak PT Arara Abadi. Namun untuk luas wilayah adat Batin Beringin-Sakai sendiri sekitar 9.125,59 hektare.

Pengakuan Wilayah Adat sebagai Bagian dari Penyelesaian Konflik

Terpisah, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riko Kurniawan mengatakan, berdasarkan pemetaan yang pernah dilakukan oleh Walhi Riau, wilayah adat Batin Beringin-Sakai yang tumpang tindih atau masuk dalam konsesi PT Arara Abadi luasnya sekitar 3.500 hektare. Dari luasan tersebut, sekitar 300 hektare di antaranya paling banyak mengalami konflik dengan PT Arara Abadi.

"Tetapi yang paling banyak berkonflik dengan PT Arara di lahan garapan masyarakat Asakai di dalam konsesi 300 hektare. Maksudnya, selama ini masyarakat adat Sakai mengelola 300 hektare di dalam konsesi PT Arara," kata Riko, Senin (3/5/2021).

Sedangkan lahan di luar 300 hektare tersebut, lanjut Riko, sudah ditanami eukaliptus oleh PT Arara. Bahkan lahan ribuan hektare wilayah adat Sakai itu sudah mengalami beberapa kali daur tanam eukaliptus PT Arara.

Riko bilang, meski masyarakat adat Batin Beringin-Sakai hanya dapat mengelola 300 hektare saja, namun tidak ada jaminan masyarakat adat tidak akan berkonflik atau diusir. Karena potensi konflik antara masyarakat adat Batin Beringin-Sakai dengan PT Arara Abadi besar.

"Karena itu mendesak pengakuan wilayah adat sakai ini oleh negara untuk mencegah konflik berkepanjangan. Pemerintah daerah sampai saat ini belum ada kebijakan yang mendorong wilayah adat."

Menurut Riko, pemerintah daerah terkesan memang tidak serius dalam memmfasilitasi penyelesaian konflik untuk dicarikan jalan keluar. Padahal Riau masuk dalam provinsi tertinggi angka konflik agrarianya di Indonesia.

"Konflik Arara dengan masyarakat Sakai ini bukan pertama kali terjadi dan bakan cenderung berulang kali terjadi. Harusnya pemerintah dan perusahaan memberikan pengakuan wilayah adat Sakai. Sebagai bagian penyelesaian konflik permanen."

Riko melanjutkan, PT Arara Abadi menguasai lahan seluas 297.967 hektare di Riau. Mestinya dengan pemberian dan pengakuan wilayah adat Batin Beringin-Sakai ini tidak akan terlalu berpengaruh pada produksi PT Arara.

"Dan pastikan pengakuan dan pemberian hak ini kepada masyarakat Sakai yang sebernarnya, bukan kepada cukong," ujar Riko.