JERAT: Negara Tak Pernah Anggap Eksistensi Masyarakat Adat Papua

Penulis : Tim Betahita

Agraria

Rabu, 05 Mei 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Jaringan Kerja Rakyat Papua (JERAT PAPUA) dalam kajiannya menyatakan ada kelalaian pemerintah dalam melindungi warga negaranya yang tinggal di Tanah Papua. Terutama dalam segala proses investasi yang masuk dan menduduki Tanah Papua.

Selama ini, menurut JERAT, pola-pola perampasan lahan Masyarakat Adat oleh pelaku investasi/Investor skala besar yang terjadi secara masif di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Padahal investasi yang diizinkan oleh pemerintah masuk ke Tanah Papua selama ini belum terbukti bisa mensejahterakan rakyat Papua.

Alih-alih itu, nvestasi di tanah Papua yang mengarah pada kejahatan lingkungan hidup, kejahatan terhadap kehutanan dan kejahatan terhadap budaya masyarakat adat. Negara, menurut kajian JERAT, seakan memprioritaskan investor dan tidak lagi menghiraukan adanya keberadaan masyarakat adat.

Staf Advokasi Jerat Papua Ronald Manufandu mengungkapkan JERAT saat ini sedang terus berupaya untuk memperjelas skema perampasan tanah adat oleh investasi yang terjadi hingga saat ini. “Terutama yang dilakukan oleh para investor skala besar yang mengancam kehidupan sosial budaya masyarakat adat Papua,” ujarnya.

Tarian tradisional masyarakat adat Momuna. Foto: Jerat Papua

Menanggapi temuan JERAT, Alex Waisimon, seorang pemerhati lingkungan sekaligus pencetus ekowisata Cenderawasih di Nimoboran mengatakan bahwa perampasan tanah adat oleh investasi merupakan persoalan klasik. Oleh karenanya perlu kiranya para aktivis untuk mempertegas usaha advokasi mereka agar masalah klasik ini tidak terus terjadi.

”Strategi perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit memiliki pola yang sama. Investor datang dengan cara yang ‘kurang ajar’ dalam memperdayai masyarakat adat dengan membawa uang tunai serta didukung oleh oknum aparatur keamanan.”ujarnya. Hal itu terus saja berulang, katanya, “pendekatan uang atau para tokoh dibawa jalan-jalan ke luar Papua, itu lumrah terjadi sebagai modus para investor.”

Yohanes Nong dari Boven Digoel, juga mengungkapkan hal senada, bahwa strategi yang sering dilakukan oleh perusahaan adalah melalui strategi pengangkatan anak adat. Hal ini dengan masif terjadi di wilayah Ha’anim-Selatan Papua.

”Orang dari luar masyarakat adat diangkat menjadi anak adat. Kapasitas anak adat ini dimanfaatkan oleh mereka untuk melakukan pelepasan lahan dengan mudah karena dianggap telah menjadi bagian dari masyarakat adat tersebut.” katanya.

Selama ini kasus perampasan tanah yang terjadi seolah-olah menjadikan masyarakat adat seperti ‘tidak ada’. Negara lebih mementingkan adanya investasi besar-besaran ke Tanah Papua.

Negara seakan memprioritaskan investor untuk mengambil tanah dnegan murah dan menimbulkan kesengsaraan berkepanjangan dan tidak lagi menghiraukan adanya keberadaan masyarakat adat.