Ramai Seruan dan Petisi Tutup PT TPL

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Selasa, 25 Mei 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Kekerasan yang dialami belasan masyarakat adat Huta Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, yang terjadi saat bentrok dengan ratusan karyawan dan petugas keamanan PT Toba Pulp Lestari (TPL) 18 Mei 2021 lalu memicu gelombang reaksi publik, khususnya masyarakat Tano (tanah) Batak. Belakangan muncul pula seruan dan petisi agar PT TPL angkat kaki dari Tano Batak, alias ditutup untuk selamanya.

Seruan tersebut di antaranya datang dari Aliansi Gerakan Tutup PT TPL yang berisi sejumlah organisasi masyarakat sipil yang ada di Sumatera Utara, dan daerah lainnya. Koalisi tersebut yakni Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Aliansi Masyarakat Adat Nusanatara (AMAN) Tano Batak, Perhimpunan Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Jaringan Advokasi Masyarakat Sumatera Utara (Jamsu), Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK), Yayasan Pengembangan Ekonomi dan Teknologi Rakyat Selaras Alam (Petrasa), Yayasan Ate Keleng (YAK) Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), Yayasan Pijer Podi (Yapidi), Bina Keterampilan Pedesaan (Bitra) Indonesia, Nabaja, LBH Naposo Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatara Utara, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Walhi Riau dan Koalisi untuk Rimba Rakyat (KoARR) Sumatera).

Dalam sebuah petisi yang diketahui ditulis Perhimpunan Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu) melalui situs change.org diuraikan, kehadiran PT TPL di Tano Batak, Sumatera Utara, telah memberikan duka mendalam bagi masyarakat adat. Karena mimpi menyejahterakan rakyat dan kemajuan yang digaungkan para pendukung perusahaan ini seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan.

Petisi yang telah ditandatangani oleh sekitar 628 orang itu  menyebutkan, sejak awal kehadirannya PT TPL sudah menuai reaksi penolakan dari berbagai kalangan, masyarakat, lembaga atau organisasi masyarakat sipil, akademisi, tokoh gereja dan para pemerhati lingkungan hidup. Penolakan tersebut muncul dikarenakan kehadiran perusahaan ini akan berdampak buruk terhadap ekosistem Danau Toba dan juga berpotensi menciptakan konflik agraria, terutama dengan masyarakat adat.

Plang berisi keterangan areal kawasan IUHHK HTI PT Toba Pulp Lestari yang dipasang di Sektor Aek Raja, di Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara./Foto: Betahita.id

Berdasarkan SK No. 307/Menlhk/Setjen/HPL.0/7/2020, luas kawasan hutan yang dikuasai PT TPL menjadi 167.912 hektare. Namun fakta di lapangan wilayah konsesi tersebut bersinggungan dengan sejumlah wilayah masyarakat adat. Klaim negara di wilayah adat dan pemberian izin konsesi kepada PT TPL menjadi akar konflik agraria yang berkepanjangan dan tidak terselesaikan hingga saat ini.

Klaim kawasan Hutan Negara ini, tulis Bakumsu, terjadi tanpa sepengetahuan dan persetujuan masyarakat adat. Sementara di sisi lain, PT TPL dengan bermodal izin konsesi tersebut merasa paling berhak dan memaksa masyarakat adat yang sudah lama mendiami wilayah-wilayah tersebut untuk menerima bahwa PT TPL lah yang berhak menguasai dan mengelola wilayah adat tersebut.

Sikap arogansi perusahaan ini ditunjukkan dengan upaya-upaya penggusuran yang selalu melibatkan aparat dan instansi pemerintahan terkait. Kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat adat di wilayah konsesi kerap terjadi hingga saat ini.

Bakumsu menyebut, saat ini ada sekitar 23 komunitas masyarakat adat yang tersebar di 5 (lima) Kabupaten Kawasan Danau Toba yang berkonflik dengan PT TPL. Total wilayah adat yang diklaim sepihak sebagai konsesi perusahaan sekitar 20.754 hektare. Sebelum kehadiran PT TPL, masyarakat di kawasan Danau Toba hidup dari hasil hutan, berladang, beternak dan bersawah. Namun saat ini, sumber mata pencaharian masyarakat adat di wilayah konsesi terus mengalami penurunan.

Tanah selain identitas, dalam masyarakat adat batak juga pengikat hubungan antarmasyarakat. Ini dapat dilihat dari struktur tata ruang wilayah adat batak yang saling memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Kehadiran PT TPL yang kini berada di wilayah adat menyebabkan masyarakat kehilangan keharmonisan relasi sosial dan terpisah dari kebiasaan sosial budayanya.

Pemerintah Joko Widodo, lanjut Bakumsu dalam petisi tersebut, sudah terlanjur mengeluarkan triliunan rupiah untuk membangun danau toba sebagai destinasi wisata global. Proyek jalan tol Medan-Parapat-Sibolga menelan Rp19,778 triliun. Proyek 2 bandara Internasional sekaligus Sibisa dan Silangit setara Rp1,6 triliun dan rencana kereta api Medan-Danau Toba senilai Rp2,5 triliun.

Pemerintah yang sudah menggelontorkan banyak dana untuk percepatan pengembangan pariwisata. Presiden Joko Widodo, menurut Bakumsu, seharusnya menutup permanen perusahaan yang memiliki banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.

Bukan hanya akan melukai banyak masyarakat akan tetapi juga tidak akan menarik simpati wisatawan jika kearifan lokal hilang dan hanya dipenuhi oleh industri di sekitaran Danau Toba. Bisa bayangkan suatu saat, wisatawan tidak akan datang hanya karena asap perusahaan dan limbah yang turun ke Danau Toba?

Selain dampak ekonomi, kehadiran PT TPL juga telah merusak harmoni sosial dan budaya di Tanah Batak. Sejak masih bernama PT Inti Indorayon Utama, perusahaan ini kerap melakukan politik devide et impera yang merusak interaksi dan relasi sosial yang ada di desa. Oleh karena itu Aliansi Gerakan Tutup PT TPL menuntut:

  1. Pemerintah Pusat (KLHK) mencabut izin PT TPL.
  2. Pemerintah Kabupaten Menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kawasan Danau Toba dan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Penetapan Masyarakat Adat dan Wilayah Adatnya.
  3. Hentikan segala bentuk intimidasi dan kriminalisasi kepada masyarakat adat.
  4. Pihak kepolisian memberikan perlindungan terhadap MA di kawasan Danau Toba, dan bersikap adil dalam menegakkan hukum serta menerapkan Standar HAM sebagaimana Perkap Kapolri No.8 tahun 2009.