Syamsul dan Samsir: Pejuang Mangrove Dituntut Hukuman 6 Bulan Bui

Penulis : Tim Betahita

Hukum

Selasa, 25 Mei 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Proses sidang perkara penganiayaan yang didakwakan kepada Syamsul Bahri dan M. Samsir, ketua dan anggota Kelompok Tani Nipah, Desa Kwala Serapuh, yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut), sudah masuk ke dalam agenda tuntutan.

Ayah dan anak yang mengalami kriminalisasi ini,dituntut enam bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), pada persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Senin pekan lalu.

Dalam tuntutannya, Jaksa Renhard Harve mengatakan, bahwa kedua terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, sebagaimana diatur dalam pasal 170 (1) KUHPidana sebagaimana dalam surat dakwaan pertama.

“Supaya majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama enam bulan, dikurangi selama terdakwa dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan,” kata Renhard, seperti dikutip dari lama berita pewarta.co.

Syamsul Bahri (berbaju cokelat) dan Samsir (berbaju biru), bapak dan anak yang diduga dikriminalisasi karena merehabilitasi mangrove di Langkat./Foto: Betahita.id

Tuntutan terhadap dua pejuang mangrove ini jelas menimbulkan reaksi kalangan aktivis lingkungan hidup. Sebab apabila ditilik dari proses persidangan, beberapa saksi menyebutkan Syamsul dan Samsir tidak pernah melakukan perbuatan apa yang dituduhkan kepada mereka.

Pada sidang ketujuh misalnya, tiga saksi yakni Ponirin, Putra dan Mi'ad yang berada tepat di tempat kejadian perkara saat peristiwa yang didakwakan kepada Syamsul dan Samsir dengan tegas mengatakan terdakwa tidak pernah melakukan kekerasan terhada Korban Harno Simbolon, persis seperti yang dituduhka jaksa. Bahkan saat hakim memeriksa korban pada persidangan ke enam, korban Harno Simbolon sempat membuat majelis hakim kesal.

Pasalnya, Harno yang mengaku sebagai korban memberikan keterangan yang berbelit dan inkonsisten, atau berubah-ubah. Dalam sidang tersebut, Harno Simbolon mengaku sebagai seorang centeng (pengawas) di areal kebun sawit di Dusun Lubuk Jaya, Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, dan sudah bekerja di sana selama enam tahun. Akan tetapi, saat Mejelis Hakim menanyakan siapa pemilik ataupun perusahaan yang mengelola kebun sawit itu, korban mengatakan tidak mengetahuinya.

Menanggapi tuntutan jaksa terhadap dua pejuang lingkungan hidup itu, Direktur Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra menyatakan kecewa dan menyayangkan tuntutan yang diberikan oleh jaksa. Menurut Roni, apa yang dituntutkan oleh jaksa tidak berkesesuaian dengan fakta persidangan.

Lebih dari itu, Roni kemudian merujuk pada pasal 66 Undang-undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam beleid itu disebutkan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

“Tuntutan jaksa tidak berdasar, selain dari tidak menimbang fakta persidangan, jaksa juga melupakan adanya perlindungan tersendiri terhadap individu yang sedang melakukan pekerjaan pelestarian lingkungan,” ujarnya.

Atas tuntutan ini, Roni berharap agar majelis bisa memutus perkara ini kelak dengan putusan yang adil dan profesional. Menimbang segala fakta persidangan dan kesaksian yang sama sekali tidak memberatkan kedua terdakwa.

Latar Belakang Kasus

Sebelumnya, pada 8 Februari 2021 lalu, Syamsul Bahri dan M. Samsir, bapak dan anak yang merupakan Ketua dan Anggota Kelompok Tani Nipah, Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat mendapat surat panggilan dari Kepolisian Resort Tanjung Pura untuk dimintai keterangan pada 10 Februari 2021, sebagai tersangka terkait tuduhan yang diajukan oleh salah satu pria yang melapor ke polisi dan menuduh Syamsul dan petani lainnya menyerang dia pada 18 Desember 2020.

Keduanya dinyatakan melanggar Pasal 170 ayat 1 KUHP tentang tindak pidana kekerasan. Tuduhan tersebut menimbulkan pertanyaan karena Syamsul dan Samsir tidak pernah diperiksa sebagai saksi atau dimintai keterangan terkait laporan tersebut sebelumnya.

Di hari yang sama saat memenuhi panggilan tersebut, bapak dan anak ini kemudian ditahan. Keduanya sempat berada di sel tahanan selama 14 hari, sampai penangguhan penahanan mereka dikabulkan oleh Kepolisian Resort Langkat pada 24 Februari 2021.

Pada awal bulan Maret, kepolisian melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Negeri Langkat. Kejaksaan telah melimpahkan berkas perkara ke PN Stabat. Jika dinyatakan bersalah dengan melanggar Pasal 170 ayat 1 KUHP, Syamsul dan Samsir terancam menghadapi pidana penjara maksimal 5 tahun dan 6 bulan.

Apa yang dialami Syamsul dan Samsir ini diduga kuat merupakan upaya kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan. Perlu diketahui, Kelompok Tani Nipah yang diketuai Syamsul pada 2018 lalu mendapatkan Surat Keputusan (SK) perjanjian pengelolaan hutan berbasis kemitraan, dengan Nomor SK.6187/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) antara Kelompok Tani Nipah Dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah I Stabat, Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara Seluas lebih kurang 242 Hektare.

Dengan adanya SK tersebut, Kelompok Tani Nipah melakukan berbagai upaya rehabilitasi kawasan dengan penanaman mangrove atau bakau jenis Rhizopora, dan Nipah. Mereka menanam mangrove, membuka kanal agar air laut leluasa keluar masuk untuk mengairi wilayah kelola masyarakat.

Namun dalam areal konsesi terdapat perkebunan kelapa sawit sekitar 65 hektare yang diduga tidak memiliki izin dan berada di Pulau Nibung (Pulau Serawak). Hal tersebut menimbulkan ketegangan antara pihak pemilik kebun sawit dan Kelompok Tani Nipah. Ketegangan inilah yang diduga kuat membuat Syamsul dan Samsir ditahan dengan tuduhan pengeroyokan dan penganiayaan.

BETAHITA| Pewarta.co