Syamsul dan Samsir: Dalil Jaksa Dinilai Tidak Penuhi Unsur Pidana

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Kamis, 27 Mei 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Sidang kesepuluh perkara dugaan penganiayaan yang disangkakan dilakukan para pejuang lingkungan, Syamsul Bahri dan M. Samsir kepada Harno Simbolon, dengan Nomor Perkara 124/Pid.B/2021/ PN Stb, digelar di Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Senin (24/5/2021) kemarin. Dalam sidang tersebut, Penasehat Hukum Terdakwa menyebut dalil-dalil tuntutan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidaklah memenuhi unsur tindak pidana penganiayaan.

Muhammad Alinafiah Matondang, Kuasa Hukum Terdakwa dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan yang membacakan Nota Pembelaan atau Pledoi pada sidang kemarin mengatakan, pihaknya tidak sepakat dan keberatan dengan tuntutan JPU, yang menuntut Syamsul dan Samsir dihukum dengan pidana penjara 6 bulan karena melanggar Pasal 170 ayat 1 KUHPidana. Karena menurut Ali, berdasarkan fakta persidangan tidak terdapat alasan dan bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa para Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah dituntut JPU.

ALi menambahkan, sesuai keterangan Saksi Korban Harno Simbolon yang berbelit-belit, akibat dari pemukulan para Terdakwa menimbulkan memar pada dahi kanan dan kirinya dan saksi lainnya yang dihadirkan JPU ragu-ragu menerangkan memar yang dialami oleh Harno Simbolon hanya sebelah kanan atau sebelah kanan dan sebelah kiri, yang berarti dapat disimpulkan para saksi ini tidak memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan dan terindikasi merupakan kerja sama rekayasa dari Saksi dan Korban dan saksi lainnya dari JPU.

"Bahwa rekayasa ini diperkuat dan terbukti sesuai seluruh keterangan Saksi yang Penasehat Hukum ajukan ke persidangan ini yang pada intinya tidak ada pemukulan yang dilakukan oleh Para Terdakwa terhadap Saksi Korban Harno Simbolon," kata Ali, Senin (24/5/2021).

M. Samsir, pejuang lingkungan anggota Kelompok Tani Nipah yang dituduh melakukan penganiyaan terhadap Harno Simbolon, seorang centeng kebun sawit./Foto: Betahita.id

Selanjutnya, lanjut Ali, dugaan rekayasa ini juga terindikasi dari penyataan seluruh Saksi yang tidak mengetahui siapa pemilik kebun sawit dan hal ini bertolak belakang dengan keterangan mereka pada Berita Acara Pemeriksaan di Polsek Tanjung Pura yang mengetahui pemilik kebun sawit bernama Endi.

"Bahwa berikutnya, diketahui ternyata locus delicti perkara ini ternyata wilayah tugas centeng bernama Muhammad Aulia, dan Harno Simbolon sebagai centeng yang bertugas pada wilayah yang lain dan baru pertama kali ditugaskan oleh Manullang untuk bersama-sama memeriksa kebun sawit pada tempat kejadian perkara."

Kemudian, Terdakwa telah memperlihatkan bukti rekaman video pengakuan saksi korban Harno Simbolon yang menyatakan Terdakwa tidak melakukan pemulukan terhadap dirinya dan terlihat jelas tidak terdapat bekas pemukulan atau memar pada dahinya, baik sebelah kanan maupun sebelah kiri.

"Bahwa berdasarkan seluruh keterangan Saksi, dapat disimpulkan tidak benar para Terdakwa melakukan pemukulan terhadap Saksi Korban Harno Simbolon, sehingga tidak memenuhi unsur pada Pasal 170 ayat 1 KUHPindana dan patu dan wajar apabila Majelis Hakim Yang Mulia menolak tuntutan Jaksa Penuntut Umum," kata Ali.

Bahwa pada persidangan perkara pidana ini, JPU juta memajukan dr. H.Mhd. Iqbal sebagai saksi tambahan namun dijadikan sebagai Keterangan Ahli oleh Majelis Hakim Yang Mulia yang intinya menerangkan bahwa pemeriksaan kesehatan yang dilakukan Ahli terhadap Saksi Korban Harno Simbolon hanyalah pemeriksaan biasa tanpa ada pengantar atau permintaan Visum et Refertum dari kepolisian dan permintaan tersebut ada pada 22 Desember 2020.

"Namun tanpa melalui Ahli dan pemeriksaan kembali Harno Simbolon serta hasil kesimpulan pada Visum ternyata berdasarkan hasil pemeriksaan hasil biasa yang dilakukan oleh Ahli pada 18 Desember 2020. Ditambah lagi Ahli mengaku tidak pernah menandatangani Surat Visum et Refertum No. 070-037/VER/XII/2020. tertangal 23 Desember 2020 atas nama Harno Simbolon."

Ali bilang, berdasarkan keterangan Ahli Dr. Edi Yunara, SH., H.H. yang telah Penasehat Hukum majukan ke persidangan terdahulu, diterangkan bahwa oleh sebab surat Visum et Refertum dibuat berdasarkan pemeriksaan biasa tanpa pengantar atau permintaan Visum et Refertum dari kepolisian (tidak Pro Justicia) maka Visum et Refertum tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian dalam persidangan.

"Ditambah lagi dokter yang disebut dalam surat visum mengaku tidak pernah menandatangani surat visum tersebut. Dengan demikian, pada penerbitan Visum et Refertum ini terdapat kecurangan atau kesewenang-wenangan atau abuse of power dari Penyidik Polsek Tanjung Pura dalam memenuhi bukti permulaan yang cukup guna penetapan Terdakwa sebagai Tersangka dahulu."

Berdasarkan bukti Surat Visum et Refertum dan dihubungkan dengan seluruh keterangan Ahli, dapat disimpulkan surat Visum et Refertum Nomo: 070-037/VER/XII/2020, tertanggal 23 Desember 2020 atas nama Harno Simbolon sehingga patutu dan wajar apabila Majelis Hakim Yang Mulia dapat menyatakan Surat Visum et Refertum tersebut telah Cacat Hukum.

"Bahwa dengan dinyatakan Visum et Refertum aquo sebagai alat bukti guna pemenuhan pembuktian pro justicia terhadap perkara a quo karena bertentangan dengan ketentuan pasal 133 KUHAP mengenai ketentuan standar (prosedur) dalam penyusunan atau penerbitan Visum et Refertum dan pernyataan tersebut dikuatkan oleh keterangan ahli Dr. Edi Yunara SH., H.H., maka sebagai akibat hukumnya patut dan wajar pula Majelis Hakim Yang Mulia menyatakan seluruh dalil-dalil Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ditolak untuk seluruhnya," ujar Ali.

pasangan bapak dan anak yang merupakan Ketua dan Anggota Kelompok Tani Nipah itu

Bahwa sebagaimana dalil-dalil surat tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum mendalilkan Terdakwa Syamsul Bahri dan M. Samsir telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana "Dengan terang-terang dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang" sebagaimana dimaksud Pasal 170 ayat (1) KUHPidana dan telah menuntut Terdakwa selama 6 (enam) bulan penjara dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan.

Bahwa dalam hal ini kami Penasehat Hukum Terdakwa Syamsul Bahri dan M. Samsir tidak sepakat dan keberatan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, dengan alasan hukum sebagai berikut