Pengadilan Paksa Shell Bertanggung Jawab atas Krisis Iklim

Penulis : Tim Betahita

Hukum

Rabu, 02 Juni 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Pertama kali dalam sejarah, pengadilan memutuskan untuk meminta petanggungjawaban korporasi lantaran menyebabkan krisis iklim. Putusan pengadilan yang memenangkan gugatan hukum atas ajuan Friends of the Earth Belanda (Milieudefensie) bersama dengan 17.000 penggugat dan enam organisasi lain ini, dibacakan hakim Pengadilan Den Haag, pekan lalu.

Dalam amar putusannya, hakim memutuskan perusahaan Shell harus mengurangi emisi CO2 sebesar 45% dalam 10 tahun. Putusan bersejarah ini memiliki konsekuensi yang sangat besar bagi Shell dan korporasi pencemar besar lainnya secara global.

"Ini adalah kemenangan monumental bagi planet kita, untuk anak-anak kita dan merupakan langkah menuju masa depan yang layak huni bagi semua orang. Hakim tanpa ragu menyatakan: Shell menyebabkan perubahan iklim yang berbahaya dan harus menghentikan perilakunya yang merusak sekarang,” ujar Donald Pols, Direktur Friends of the Earth Belanda.

Pengacara Friends of the Earth Belanda, Roger Cox mengatakan, putusan ini adalah titik balik dalam sejarah. Kasus ini unik karena ini adalah pertama kalinya hakim memerintahkan perusahaan besar pencemar untuk mematuhi Perjanjian Iklim Paris.

Aksi anak muda menuntut pemerintah agar menyetop penggunaan batu bara untuk menghadapi krisis iklim. Foto: Istimewa

“Ini mungkin juga memiliki konsekuensi besar bagi pencemar besar lainnya,” ujarnya.

Sementara itu, Sara Shaw dari Friends of the Earth International menilai kemenangan ini penting bagi keadilan iklim. “Harapan kami adalah bahwa putusan ini akan memicu gelombang litigasi iklim terhadap pencemar besar, untuk memaksa mereka berhenti mengekstraksi dan membakar bahan bakar fosil,” ujar Sara.

Hasil ini, tambah Sara, adalah kemenangan bagi komunitas di belahan dunia Selatan yang menghadapi dampak krisis iklim yang menghancurkan. ”


Poin utama dari putusan pengadilan Den Haag

1. Royal Dutch Shell harus mengurangi emisinya hingga 45% netto pada akhir tahun 2030.
2. Shell juga bertanggung jawab atas emisi dari pelanggan (cakupan 3) dan pemasok.
3. Ada ancaman pelanggaran hak asasi manusia terhadap 'hak untuk hidup' (right to life) dan 'kehidupan keluarga yang tidak terganggu' (undisturbed family life).
4. Shell harus segera mematuhi keputusan tersebut, karena kebijakan iklim Shell saat ini tidak cukup konkret.

Menanggapi hasil putusan gugatan iklim terhadap Shell, Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI/Friends of the Earth Indonesia mengatakan putusan ini merupakan langkah maju yang sangat besar bagi gerakan iklim internasional. Sebab, salah satu perusahaan pencemar terbesar di dunia akhirnya dipaksa bertanggung jawab.

Putusan ini, lanjutnya, akan membuka pintu bagi gugatan yang sama di negara-negara lain seperti Indonesia dimana korporasi yang bergerak di industri ekstraktif dan perkebunan besar menikmati keuntungan ekonomi diatas kehancuran lingkungan dan iklim.

“Putusan ini juga harus ditindaklanjuti dengan mendorong aturan yang mengikat bagi korporasi untuk tunduk pada target menurunan emisi global sebagaimana dimandatkan dalam Perjanjian Paris tentang perubahan iklim,” ujarnya.