Telantar di Tengah Wabah

Penulis : Kennial Laia

SOROT

Senin, 07 Juni 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Matahari sudah cukup tinggi saat Muhammad Yusuf menebarkan bibit ikan lele ke dalam kolam seluas 12 meter persegi miliknya. Tangannya terampil. Tak butuh waktu lama bibit-bibit lele yang disebar sudah berenang riang di tambak kotak berukuran 2x6 meter itu.

Selesai di satu kolam, lelaki asal Nunukan, Kalimantan Utara berusia 50 tahun itu lantas sigap berpindah ke balong yang lebih besar. Di sana ia lantas menaburkan cairan dari botol plastik ke penjuru sisi kolam.

Menurut Yusuf, begitu dia dipanggil, cairan itu adalah pestisida. Fungsinya untuk membunuh hama seperti ikan, kepiting, dan keong. Ketiga jenis satwa itu memang dikenal sebagai predator udang di tambak. Yusuf berharap, nantinya udang bintik (Litopenaeus vannamei) bisa tumbuh di dalam empangnya itu.

“Hanya itu yang sekarang kita harap dari tambak,” tuturnya saat ditemui di Desa Binusan, Kelurahan Tanjung Cantik, Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, awal Juni lalu.

Ekosistem hutan bakau. Foto: KKP.

Tambak udang dan ikan bandeng yang dikelolanya itu memang sudah lama nonaktif. Artinya, tambak itu tak lagi berproduksi. Nasib apes itu tak hanya menimpa dirinya. Menurut Yusuf, sebagian besar petambak di area yang dikenal dengan Tanjung Cantik tersebut mengalami hal serupa.

Andika, 36 tahun setuju. Andika, yang merupakan saudara Yusuf, juga mengelola tambak seluas dua hektare. Ia mengingat terakhir kali mengisi tambaknya dengan 30.000 bibit udang. Tiga bulan kemudian, hasil panennya hanya 2 kilogram.

Tak patah arang, Andika kembali mengisinya dengan 15.000 bibit udang. Tapi nihil. “Saat itulah, semua tambak di sini down. Kita nda (baca: tidak) tahu sebabnya,” tuturnya.

Situasi tambah sulit saat pandemi Covid-19 melanda. Pasalnya, keduanya harus menempuh 8 jam perjalanan darat jika hendak membeli bibit ke Tarakan, kota terbesar di Kalimantan Utara. Akhirnya Yusuf dan Andika memilih sama sekali tidak mengisi tambak dengan bibit udang ataupun ikan bandeng.

Walau begitu, Yusuf dan Andika masih sering datang ke tambak itu. Entah mengambil ikan lele atau sekadar mengecek. Walau tak produktif lagi, mereka enggan menjual karena mewarisinya dari orangtua.

Tambak telantar di Desa Binusan, Kecamatan Nunukan, Nunukan, Kalimantara Utara. Foto: Alfred Linggau untuk Betahita

Yusuf dan Andika sama-sama mewarisi tambak itu dari orangtuanya yang membuka tambak pada 1980-an. Sulit untuk mengukur luasnya, karena tambaknya terpisah-pisah sebanyak 4 petak. Ukurannya bervariasi, mulai dari 0,5 hingga 2 hektare.

Keduanya pun masih mempertahankan praktik tradisional. Tanpa pupuk dan mengandalkan plankton sebagai pakan. Mereka juga mengandalkan pintu kayu untuk pergantian air.

Menurut Yusuf, panen tertinggi terjadi 10 tahun lalu pada 2011. Yusuf dan Andika panen 80 kilogram. Dua bersaudara itu pun bisa panen tiga kali dalam setahun. Namun perlahan-lahan, hasilnya menurun. Hingga akhirnya berhenti.

“Itu yang tertinggi. Setelah itu, sampai sekarang hampir tidak pernah panen lagi,” keluh Yusuf.

Tambak yang nonaktif dialihfungsikan menjadi kolam lele oleh warga di Desa Binusan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Foto: Alfred Linggau untuk Betahita

Kebutuhan ekonomi mendesak Yusuf akhirnya memutuskan beralih dari berbudi daya udang ke rumput laut. Namun, dia kerap ke tambak untuk mengambil lele. Jika ada udang tumbuh di tambak, Yusuf mengonsumsinya bersama keluarga. 

Kepala Seksi Pembenihan Pakan dan Obat-obatan Hama Penyakit Ikan Dinas Kelautan dan Perikanan Nunukan Khatijah mengatakan, pihaknya mengidentifikasi terdapat 500 hektare tambak nonaktif di kabupaten tersebut.

Khatijah menjelaskan, faktor utama adalah kekurangan modal. “Lahan mereka tetap ada, cuma nonaktif. Mereka masih cari modal (baca: rumput laut) untuk bisa kembali ke tambak,” jelasnya saat ditemui di kantor DKP Nunukan, 4 Juni 2021. 

Seperti daerah lain di Indonesia, tambak di Kabupaten Nunukan berada di kawasan mangrove. Khusus tambak milik Yusuf dan Andika, dibuka pada 1980-an, ketika bisnis itu mulai populer di Indonesia. Tambak yang dikelola secara tradisional itu membongkar mangrove. Ada pula yang sebagian menyisakan tanaman tersebut dengan membuka kolam di tengahnya.

Kegiatan tambak di Kalimantan Utara telah mengubah ekologi tanaman tersebut. Pemerintah provinsi Kalimantan Utara pada 2020 mencatat, 41% mangrove rusak berat karena alih fungsi ke tambak.

Hal serupa terlihat dari hasil analisis perubahan tutupan mangrove (data dasar) dan alih fungsinya menggunakan data tutupan lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) periode 2000-2020 oleh Yayasan Auriga Nusantara bersama Betahita.

Direktur Dedy P Sukmara mengatakan, Kalimantan Utara termasuk dalam daftar provinsi dengan laju deforestasi hutan bakau signifikan. Dalam periode waktu 2000-2020, mangrove di provinsi tersebut berkurang sekitar 48,53% dari luas 212.858,91 hektare menjadi 109.547,62 hektare. 

Tren menunjukkan, alih fungsi hutan bakau ke tambak di Kalimantan Utara meningkat dari tahun ke tahun. Saat Kalimantan Utara terpisah dari Kalimantan Timur, mangrove yang berubah menjadi tambak tercatat seluas 41.563,23 hektare. Pada 2020, angka itu naik menjadi 56.359,59 hektare.

Direktur Mangrove Ecosystem Restoration Alliance Muhammad Imran Amin mengatakan, degradasi hutan bakau Kalimantan Utara sebesar 40% pada periode 1990-2019. Salah satu peruntukannya adalah tambak.

“Pembukaan tambak masif di Indonesia sejak akhir 80-an. Kemudian semakin masif lagi pada akhir 90-an hingga 2000-an, termasuk di Kalimantan Utara,” jelas Imran. 

Pada 1990, luas tambak di Kalimantan Utara (saat itu masih tergabung dengan Kalimantan Timur) 13.830 hektare. Angka ini melonjak drastis sebesar 436% pada 2000 menjadi 74.110 hektare. Angkanya menanjak pada 2019 dengan total luas 122.400 hektare.

“Tetapi hingga saat ini juga masih ada yang membuka tambak baru,” kata Imran.

 Perubahan luasan tambak di Kalimantan periode 1990-2019. Data: Yayasan Konservasi Alam Nusantara.

Hal itu terjadi di Kampung Sei Pancang, Kelurahan Tanjung Harapan, Kecamatan Nunukan Selatan. Budi (bukan nama sebenarnya) menuturkan membuka tambak bersama sejumlah warga pada Februari 2020 lalu.

Budi membuka tambak dengan luas sekitar 4 hektare. Karena masih berupa hutan bakau, Budi dan keponakannya mendatangkan alat berat untuk membongkar hutan bakau tersebut.

Tapi sial, tambak itu pun tidak membuahkan hasil. Hingga September 2020, Budi panen dua kali dengan penghasilan masing-masing Rp 1 juta. Kondisi pun semakin sulit karena pandemi, mendapatkan bibit. Akhirnya Budi fokus pada budidaya rumput laut yang telah dilakoninya sejak 2016. Sementara itu tambak dibiarkan telantar.

“Terakhir kali pintu tambak bocor dan kita panen kepiting tak sampai satu kilogram. Jadi sekarang kita biarkan dulu, usaha tambak jadi sampingan," tutur Budi.

Akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Sam Ratulangi Manado, Rignolda Djamaluddin, mengatakan kasus tambak telantar di Indonesia kerap terjadi.

Soal produktivitas tambak yang rendah itu, Rignolda mengatakan tidak semua jenis bakau cocok dikonversi menjadi tambak. Area Kalimantan Utara, misalnya, memiliki karakteristik pesisir dengan pantai dangkal, sehingga pasang surutnya rendah. Sedimentasi pun turut menjadi faktor. 

Kondisi tambak yang telantar di Desa Sei Pancang, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Foto: Alfred Linggau untuk Betahita.

Hal ini berpengaruh pada petambak yang masih mengelola tambak secara tradisional, yang mengandalkan pasang-surut air laut. Selain itu banyaknya sisa makanan dan kotoran yang dihasilkan oleh aktivitas tambak juga memengaruhi hidrologi hutan bakau. Nutrisi dari ekosistem itu pun lenyap dan berpengaruh pada tambak.

Akibatnya, petambak kerap menjual ketika mendapati tambaknya tidak menghasilkan secara ekonomi. “Ini tidak boleh (dilakukan). Mangrove itu kan masuk hutan negara,” katanya kepada Betahita. 

Ketika dijual, lahan mangrove itu bisa dikelola menjadi tambak ataupun beralih pada penggunaan lain seperti permukiman atau pertanian. Pada proses itu, ekosistem hutan bakau bisa mati dan bahkan tidak dapat diperbaiki lagi.

Dampaknya tidak main-main. Seluruh ekosistem hutan bakau dan kehidupan yang didukungnya bisa hilang. Fungsi ekologis seperti mata rantai makanan lenyap. Termasuk praktik penggunaan pestisida yang membunuh ikan, keong, dan organisme lain karena dianggap hama.

Tambak di Kampung Sei Pancang, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, yang gagal produksi dialihfungsikan menjadi tempat penjemuran rumput laut. Foto: Alfred Linggau untuk Betahita

“Kita kehilangan biodiversitas, dan keseimbangan ekologis pun hilang,” jelas Rignolda.

Nilai biodiversitas yang terancam itu salah satunya bekantan (Nasalis larvatus), yang merupakan spesies endemik Kalimantan. Primata berhidung panjang dengan rambut cokelat kemerahan ini berhabitat di hutan bakau. Keberlangsungan hidupnya sangat bergantung pada hutan bakau dan pohon-pohon rivarian. 

Namun, keberadaannya kini terancam. Habitat yang hilang akibat eksploitasi hutan bakau dan penangkapan liar menurunkan jumlahnya. Saat ini bekantan berstatus terancam punah di dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN). Satwa ini juga terdaftar dalam CITES Appendix I sebagai satwa yang tidak boleh diperdagangkan. 

Penelitian pada 2017 mengungkap, populasi bekantan di hutan bakau belum diketahui. Namun sejumlah peneliti memperkirakan jumlahnya tinggal 15.000 hingga 20.000 ekor di seluruh Borneo; tersebar mulai dari Brunei Darussalam hingga Kalimantan.  

Satwa langka dan endemik Borneo (Nasalis larvatus) hidup bergantung pada ekosistem hutan bakau. Populasinya terancam seiring deforestasi mangrove di Indonesia. Foto: KLHK

Ancaman baru

Ancaman yang dihadapi mangrove di Indonesia tak hanya tambak. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2018 menyebut laju kerusakan hutan bakau mencapai 58.000 hektare setiap tahun. Faktor utamanya adalah konversi lahan seperti pertanian dan pembangunan infrastruktur.

Alih fungsi ke pertanian juga terjadi di Kalimantan Utara meski dalam skala kecil. Menurut analisis data Auriga, setidaknya 825,95 hektare mangrove telah dikonversi menjadi lahan pertanian sejak provinsi ini terbentuk. Selain itu terjadi alih fungsi lahan menjadi tanah terbuka seluas 2.696,85 hektare.

Namun, ancaman terbesar setelah tambak adalah perkebunan kelapa sawit. Dalam kurun waktu 11 tahun, alih fungsi hutan bakau ke tanaman monokultur tersebut naik drastis dari 373,32 hektare pada 2009 menjadi 6.093.36 hektare pada 2020. 

Imran mengatakan perkebunan kelapa sawit berpotensi besar mengubah tutupan hutan bakau. Hal ini semakin sering terjadi, seperti di kawasan Sumatra. Contoh terakhir adalah ketika 400 hektare menjadi kebun sawit di Kabupaten Langkat, Sumatra Utara pada 2018. Padahal mangrove itu berada dalam kawasan hutan produksi.

Foto udara pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. Foto: Ulet Ifansasti/Greenpeace

“Potensinya besar karena ekosistem mangrove berada di luar kawasan lindung jadi bebas diperlakukan. Ini akan jadi masalah kalau tidak ada intervensi kebijakan,” jelasnya.

Masalah kebijakan

Salah satu faktor utama masifnya degradasi hutan bakau di Indonesia karena ketiadaan kebijakan yang khusus melindungi mangrove. Saat ini hanya mangrove di dalam area konservasi saja yang berstatus dilindungi. Di luar itu, menurut Imran, pengelolaannya masih bersifat abu-abu.

Imran menyebut, peningkatan kawasan konservasi mangrove sangat sedikit. Menurutnya saat ini ekosistem mangrove dilindungi berkisar 22% dari total luas 3,3 juta hektare. Angka tersebut diperoleh pada 2010.

“Memang kita perlu analisis baru. Tapi sepertinya kenaikan tidak signifikan, angkanya masih mirip,” tuturnya.

Rignolda meminta agar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serius menghentikan pembukaan tambak baru. Edukasi dan fasilitasi dibutuhkan agar masyarakat dapat mengelola mangrove dengan lebih ramah lingkungan.


“Segera hentikan ekspansi tambak sebelum kita memastikan dan memetakan mangrove baik lokasi dan jenisnya, serta luas konservasinya,” kata Rignolda. 

Pada 2020, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Aryo Hanggono mengumumkan target rehabilitasi mangrove seluas 200 hektare di 12 lokasi. Rencana tersebut merupakan bagian dari program rehabilitasi 1,82 juta hektare mangrove yang rusak dan masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

“Sampai 2024, KKP berencana melakukan penanaman mangrove seluas 1.800 hektare,” kata Aryo.

Namun, Imran khawatir target tersebut tidak akan tepat. Restorasi mangrove bukan hanya soal penanaman, tapi memerlukan rencana dan tata kelola yang berkelanjutan. Titik beratnya ada di pengembalian fungsi ekologis. 

Saat ini ada upaya pemerintah seperti program kawasan ekosistem esensial (KEE) di wilayah hutan mangrove. Mangrove juga menjadi fokus Badan Restorasi Gambut dan Mangrove.

Namun itu tidak cukup. Imran mengatakan harus ada kebijakan khusus yang mengatur strategi restorasi mangrove nasional, seperti yang tercantum di Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Namun, aturan itu sudah dicabut.

“Padahal kebijakan itu sangat bagus jika dijalankan secara benar. Harus ada aturan seperti itu lagi,” kata Imran. “Sudah saatnya pemerintah ubah pola pikir soal mangrove. Mangrove akan berguna bagi kita karena perubahan iklim bukan omong kosong. Dan ekosistem mangrove itu berfungsi sebagai mitigasi perubahan iklim.” 

Petang lantas merembang di Desa Binusan, Kelurahan Tanjung Cantik, Kecamatan Nunukan, Kabupaten NunukanKalimantan Utara, awal Juni lalu. Luputnya mangrove dari perhatian banyak pihak membuatnya kini dikepung ancaman. Yusuf, Andika, juga mungkin ratusan petambak lain akan terus berebutan kebutuhan seiring laju deforestasi hutan mangrove. 

Nasib mangove kini telantar di tengah wabah.

*Alfred Linggau (Nunukan) berkontribusi pada laporan ini. 

**Liputan ini hasil serial kelas belajar “Journalist Fellowsea,” didukung The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) dan Yayasan EcoNusa.