RISET: Dunia Tak Lagi Butuh Energi dari Bahan Bakar Fosil

Penulis : Tim Betahita

Energi

Jumat, 11 Juni 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Sebuah studi The Institute for Sustainable Futures, University of Technology, Sydney, mengungkapkan negara-negara di dunia tidak membutuhkan pengembangan bahan bakar fosil baru untuk memenuhi permintaan energi primer. Hasil riset itu dirangkum dalam laporan bertajuk Fossil Fuel Exit Strategy: An Orderly Wind Down of Coal, Oil, and Gas to Meet The Paris Agreement.

Mengutip laporan tersebut, riset tersebut menganalisis model penghentian penggunaan bahan bakar fosil untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat celsius seperti tertuang dalam Kesepakatan Paris (Paris Agreement). Selanjutnya, analisis juga membandingkannya dengan model peningkatan energi baru terbarukan (EBT).

"Riset terbaru menunjukkan bahwa negara-negara di dunia tidak membutuhkan pengembangan bahan bakar fosil baru untuk memenuhi permintaan energi primer," bunyi rangkuman hasil riset, kemarin, seperti diberitakan cnnindonesia.

Dokumen riset juga menyatakan untuk membatasi pemanasan global hingga di bawah 1,5 derajat celsius, dunia tidak hanya perlu menghentikan ekspansi bahan bakar fosil. Lebih dari itu, semua negara perlu secara aktif mulai menghentikan produksi tambang batu bara dan sumur minyak dan gas (migas).

Ilustrasi mesin pengisian bahan bakar minyak

Apabila ekspansi bahan bakar fosil dihentikan dalam waktu dekat pun, dunia masih akan melampaui batas pemanasan global yang ditetapkan dalam Paris Agreement. Tanpa proyek ekstraksi bahan bakar fosil baru, tetap ada kelebihan signifikan produksi bahan bakar fosil pada 2030.

Associate Professor Sven Teske, yang juga merupakan Direktur Riset University of Technology Sydney, mengatakan setiap investasi baru dalam proyek batu bara dan migas tidak sejalan dengan Kesepakatan Paris.

"Kemungkinan besar akan terhenti karena dari sisi ekonomi energi terbarukan lebih menguntungkan, terutama matahari dan angin," ujarnya.

Di sisi lain, riset mengungkapkan energi matahari dan angin dapat memenuhi permintaan energi primer lebih dari 50 kali lipat, berdasarkan permintaan global 2019. Temuan ini menggunakan perkiraan konservatif memperhitungkan perlindungan lingkungan, kendala lahan, dan kelayakan teknis.

Temuan itu mengindikasikan bahwa pengembangan bahan bakar fosil baru tak dibutuhkan.

"Semua kawasan, termasuk negara produsen bahan bakar fosil teratas di Amerika Utara, Timur Tengah, dan Asia, memiliki lebih dari cukup energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing negara di setiap kawasan. Penghapusan bahan bakar fosil tidak akan meninggalkan siapapun dalam kegelapan dan tanpa akses energi," bunyi rangkuman riset tersebut.

Sementara itu, Direktur Climate Action Network South Asia Sanjay Vashist, menuturkan tidak ada lagi alasan untuk menunda percepatan penyerapan energi terbarukan dan mengakhiri bahan bakar fosil.

"Pada saat energi terbarukan muncul sebagai sumber yang andal dan hemat biaya, terus memperluas bahan bakar fosil merupakan tindakan menghamburkan uang yang menimbulkan konsekuensi iklim dan menghancurkan kemanusiaan, terutama pada orang-orang termiskin dan paling rentan di dunia," katanya.

Sanjay meminta para pemimpin G7 memberi contoh dan segera menutup pembangkit listrik tenaga batu bara di negara mereka. Selain itu, negara adikuasa tersebut hendaknya membantu negara berkembang mengakselerasi energi terbarukan dengan bantuan teknologi dan pembiayaan.

Riset tersebut menggunakan metodologi pemodelan. Dengan asumsi, PDB global tumbuh rata-rata sebesar 3,2 persen per tahun selama periode 2015-2050 (dengan perbedaan pertumbuhan PDB regional).

Asumsi lainnya, populasi global diperkirakan tumbuh rata-rata 0,8 persen per tahun selama periode 2015-2050 (mencakup perbedaan asumsi di masing-masing wilayah).

Dengan asumsi itu, berarti terjadi peningkatan dari 7,49 miliar orang pada tahun 2021 menjadi hampir 9,8 miliar pada tahun 2050. Selain asumsi demografis, riset juga menggunakan serangkaian asumsi kebijakan dan perkembangan teknologi lainnya.