Segerobak Kisah Nestapa Tumpah di Muka Menteri Siti Nurbaya

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Senin, 14 Juni 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Segudang konflik agraria yang puluhan tahun tak terselesaikan di Tano Batak (tanah Batak) antara masyarakat adat melawan perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL), akhirnya membuat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya beserta para direktur jenderal (dirjen) bawahannya merasa perlu turun ke lapangan. Insiden terbaru bentrok antara Masyarakat Adat Huta Natumingka dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL), akhir bulan lalu, berujung pada munculnya gerakan Aliansi Tutup PT TPL.

Ahad siang, Menteri Siti beserta rombongan datang ke Kecamatan Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara (Sumut), untuk bertemu dengan perwakilan masyarakat adat di Hotel KHAS Parapat. Kedatangan rombongan Menteri Siti ini disambut cukup ramai oleh masyarakat adat Tano Batak dengan seruan dan bentangan sejumlah spanduk yang bertuliskan Cabut Izin Konsesi PT TPL.

Dalam pertemuan tersebut Menteri Siti menyebut akan melakukan sejumlah hal terkait konflik agraria di Tano Batak. Salah satunya, melakukan evaluasi atau preliminary audit terhadap keberadaan perusahaan penghasil bubur kertas atau pulp yang lokasi pabriknya berada di Porsea tersebut.

Dalam pertemuan itu, tujuh perwakilan masyarakat adat di Tano Batak hadir dan menyampaikan aspirasinya kepada Menteri Siti. Natal Simanjuntak, yang hadir mewakili Masyarakat Adat Huta Natumingka menuturkan, PT TPL sudah banyak menimbulkan penderitaan kepada masyarakat Natumingka. Bahkan perusahaan satu ini juga dituding telah merusak makam leluhur masyarakat Natumingka. Dirinya meminta perusahaan tersebut ditutup.

Menteri Siti dan sejumlah dirjen di lingkungan KLHK berfoto bersama dengan beberapa perwakilan masyarakat adat di Tano Batak, Minggu (13/6/2021)./Foto: Dokumentasi KLHK.

"TPL melakukan kekerasan di wilayah adat kami yang menyebabkan ada dua belas orang anggota komunitas yang terluka dan berdarah-darah, makam leluhur kami diobrak-abrik dan tanaman kami dirusak. Kami meminta perusahaan itu ditutup," kata Natal.

Tokoh masyarakat adat lainnya, Arnold Lumbanbatu, yang hadir mewakili Masyarakat Adat Pandumaan-Sipituhuta juga bilang, pada 2016 lalu perwakilan masyarakat adatnya pernah melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Siti di Istana Negara. Dalam pertemuan itu Presiden Jokowi memberikan Surat Keputusan (SK) tentang Pencadangan Hutan Adat Pandumaan-Sipituhuta, dengan mengeluarkan wilayah adat itu dari konsesi PT TPL, seluas 5.172 hektare.

Namun dalam realisasinya, Hutan Adat yang diberikan kepada Masyarakat Adat Pandumaan-Sipithuta, sesuai SK yang diterbitkan pemerintah, luasnya malah tidak sampai separuh dari luas Hutan Adat yang diajukan. Arnold berharap SK Hutan Adat yang mereka terima dapat ditinjau ulang dan disesuaikan dengan permintaan masyarakat. Karena wilayah adat yang tidak masuk dalam SK Hutan Adat tersebut sampai saat ini masih berupa hutan kemenyan yang mereka lestarikan.

"Pak Jokowi juga berpesan agar kami tidak merubah fungsi Hutan Kemenyan, dan itu kami lakukan sampai sekarang. Namun tahun 2020 yang lalu SK. Hutan Adat Pandumaan-Sipituhuta terbit hanya seluas 2.393 hektare. Hal ini menyebabkan masalah baru bagi masyarakat, karena tuntutan kami tidak sesuai dengan hasil yang kami terima," kata Arnold mengadukan kenyataan.

Lainnya, Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria yang diwakili Eva Junita Lumban Gaol, juga menyampaikan, keberadaan PT TPL di wilayah adat mereka telah menimbulkan konflik horizontal sesama masyarakat. PT TPL, Eva Sebut, membuat hubungan keluarga di Dusun Bintang Maria, Desa Simataniari, menjadi rusak. Tak hanya itu, keberadaan PT TPL juga berdampak buruk pada menununnya sumber ekonomi masyarakat, akibat telah banyak pohon kemenyan yang ditebang oleh perusahaan.

"Abang-adik tidak saling sapa akibat pecah belah yang dilakukan PT TPL. Telah banyak pohon kemenyan kami ditebang oleh perusahaan, tanaman-tanaman kami banyak dirusak oleh binatang yang kehilangan tempat di hutan yang dirusak," ungkap Eva.

Bukan hanya soal keberadaan PT TPL, Eva juga mengeluhkan wilayah adat di desanya yang belakangan ditetapkan sebagai areal pengembangan food estate. Hal itu juga menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat. Lantaran areal yang ditunjuk untuk pengembangan food estate itu merupakan hutan kemenyan dan hutan alam.

"Belum selesai konflik kami dengan PT TPL, baru baru ini wilayah adat kami telah ditunjuk sebagai area pengembangan food estate. Kami tidak bisa bayangkan jika hutan kami rusak maka kehidupan kami tentu akan terancam, padahal saat ini hutan di Pargamanan-Bintang Maria adalah benteng terakhir hutan alam di Tapanuli."

Dampak buruk kehadiran PT TPL di Tano Batak juga disampaikan Jaspayer Simanjuntak, perwakilan Masyarakat Adat Ompu Bolus dan Ompu Ronggur Simanjuntak. Jaspayer mengatakan, keberadaan PT TPL di wilayah adatnya telah menimbulkan pencemaran terhadap sumber air masyarakat, dan itu bukan hanya berdampak bagi masyarakat di Sipahutar namun juga bagi masyarakat yang tinggal di Siborong Borong.

"Kedua PT TPL juga sengaja menciptakan konflik sesama masyarakat dengan membentuk Kelompok Tani Hutan di luar Masyarakat Adat Ompu Bolus dan Ompu Ronggur Simanjuntak," ujar Jaspayer.

Dugaan kriminalisasi masyarakat adat di Tano Batak yang dilakukan PT TPL juga dibahas dalam pertemuan tersebut. Mangitua Ambarita dari Masyarakat Adat Sihaporas menyebut, PT TPL kerap melakukan kriminalisasi kepada masyarakat adat, hal tersebut bahkan ia alami sendiri. Menurut Mangitua, kriminalisasi itu dilakukan perusahaan kepada masyarakat adat yang melakukan perjuangan atau menolak kehadiran perusahaan.

"Seperti yang pernah saya alami di Sihaporas, akibat perjuangan yang kami lakukan, akhirnya berujung pada kriminalisasi," kata Mangitua.

Dalam pertemuan tersebut, berbicara mewakili Masyarakat Adat Tor Nauli, Tumpak Manalu mengatakan, atas banyaknyak persoalan yang timbul atas kehadiran PT TPL di Tano Batak, dirinya meminta kepada Menteri Siti untuk segera mencabut izin PT TPL dari Tano Batak.

"Kemenyan yang menjadi tanaman kehidupan kami dirusak, dihancurkan dan kami selalu diintimidasi. Tolonglah Bu Menteri mencabut izin TPL di wilayah adat kami," katanya.

Meskipun tidak berkonflik dengan PT TPL, Rasmi Sinaga, perwakilan Masyarakat Adat Sigapiton yang wilayah adatnya diklaim sebagai kawasan hutan negara dan akan dijadikan daerah tujuan wisata internasional yang dikelola oleh Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba atau yang biasa disebut warga dengan BODT, juga menyampaikan aspirasinya.

Rasmi Sinaga menyebutkan, kehadiran BODT juga telah menimbukan konflik horizontal di tengah masyarakat. Sebagian besar wilayah adat mereka diklaim masuk dalam kawasan hutan negara dan pemerintah, dalam hal ini BODT, dengan sesuka hati mendirikan bangunan di desa mereka tanpa pernah melibatkan masyarakat adat.

"Tanah kami Bu, katanya hanya 80 hektare yang bukan hutan, sementara kami ada 114 KK, anak-anak kami sudah banyak yang pulang kampung karena COVID, kemanalah mereka nantinya bu, jika semua tanah kami masuk di hutan. Tolonglah ibu tanah kami dikembalikan, kami tidak menolak pembangunan bu, tapi kami mau tanah kami dikembalikan," pinta Rasmi Sinaga.

Dalam kesempatan itu, Direktur Kelompok Studi Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi menyampaikan ungkapan terima kasih kepada Menteri Siti beserta seluruh jajaran KLHK yang telah memberikan ruang bagi masyarakat adat dan masyarakat sipil menyampaikan secara langsung persoalan yang dihadapi dalam 30 tahun terakhir Di Tano Batak. Khususnya terkait dengan konflik agraria beserta dampaknya terhadap masyarakat adat dan kerusakan lingkungan.

"Hadir dalam pertemuan ini, perwakilan 23 komunitas masyarakat adat yang sedang menghadapi konflik agraria, yang disebabkan oleh adanya klaim Kawasan Hutan Negara di wilayah adat mereka. Ada yang berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari, ada yang bersinggungan dengan Proyek strategis Nasional Pariwisata dan juga Program Food Estate," kata Delima.

Delima menjelaskan, sejak 2016, pihaknya sudah beberapa kali bertemu dengan Menteri Siti dan jajarannya di KLHK juga selalu merespon dengan baik pengaduan masyarakat adat di Toba, dan memberi harapan bagi masyarakat adat di Toba bahwa wilayah adat mereka akan terbebas dan akan kembali ke masyarakat adat. Namun harapan itu memudar ketika di lapangan konflik tak kunjung selesai dan malah justru terus bertambah dari waktu ke waktu. Delima mengatakan, PT TPL tiada henti melakukan aktivitas operasional di wilayah adat yang kemudian menimbulkan banyak konflik di wilayah konsesi, melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.

"Kami sangat berharap ada hasil dari pertemuan ini, ada upaya serius penyelesaian konflik masyarakat adat dan pengembalian wilayah adat kepada masyarakat adat. Respon yang baik dari KLHK juga kami rasakan dengan telah terbitnya SK Hutan Adat Pandumaan-Sipituhuta pada akhir 2020 lalu. Untuk itu kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bu Siti Nurbaya dan semua tim di KLHK, walaupun SK tersebut juga sampai saat ini menyisakan berbagai polemik yang juga pasti bisa diselesaikan dengan baik.

Ketua Badan Pelaksana Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Tano Batak juga mengharapkan adat pertemuan kali ini dapat menghasilkan formula baru untuk menyelesaikan konflik di Tano Batak. Setidaknya, lanjut Roganda, pihaknya meminta kepada Menteri Siti segera mencabut izin konsesi PT TPL.

"Kehadiran PT TPL menimbulkan banyak konflik dan kekerasan di Tano Batak," ujar Roganda.

Di hadapan Menteri Siti dan jajaran Direktur Jenderal (Dirjen) KLHK yang hadir, Koordinator Studi Advokasi KSPPM, Rocky Pasaribu juga menyampaikan beberapa hasil investigasi yang dilakukan KSPPM dengan beberapa jaringan seperti AMAN Tano Batak dan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari). Yang mana, dari hasil investigasi terdapat dugaan pelanggaran perizinan yang dilakukan oleh PT TPL di wilayah konsesinya.

"Seperti adanya konsesi PT TPL di Areal Penggunaan Lain (APL), adanya bekas bukaan baru PT TPL di hutan alam, dan beberapa temuan lain yang akan disampaikan ke KLHK dalam waktu dekat. Setelah kami kaji itu semua melanggar aturan yang berlaku," kata Rocky.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Siti mengatakan, hal itu sudah menyalahi aturan dan tidak diperbolehkan. Menteri Siti kemudian meminta Dirjen terkait segera menindaklanjuti hasil investigasi tersebut. Mengenai keluhan dan permintaan perwakilan masyarakat adat Tano Batak yang hadir, Siti Nurbaya meminta maaf dan mengakui proses penyelesaian yang lambat telah mengakibatkan masyarakat harus menunggu lama. Hal itu dikarenakan pihaknya harus bekerja sesuai prosedur hukum yang berlaku dan melibatkan banyak pihak.

Namun Siti Nurbaya berujar, pihaknya telah menyusun beberapa langkah. Salah satunya melakukan evaluasi terhadap semua hal, termasuk keberadaan PT TPL dan juga yang lainnya, seperti food estate. Siti juga mengatakan, Presiden Jokowi dan KLHK sangat memperhatikan terkait dengan menjaga kelestarian hutan alam.

Kemudian, lanjut Siti, pihaknya akan melakukan penangan khusus terkait penyelesaian konflik di Toba dan Kalimantan Tengah. Agar segera cepat selesai dan menjadi model penyelesaian konflik untuk daerah lain.

"Sehingga ke depan KLHK, KSPPM dan AMAN perlu duduk bersama bersinergi untuk membicarakan model penyelesaian yang saya sampaikan tadi. TPL dalam kaitan dengan pengrusakan lingkungan, limbah dan lainnya, KLHK akan segera melakukan evaluasi khusus, termasuk kinerja dan soal penebangan hutan alam sudah tidak boleh segera dicheck oleh Sekjen" kata Siti.

Hal yang sama juga akan pihaknya lakukan dalam persoalan Hutan Adat Pandumaan-Sipituhuta. Permasalahan tersebut saat ini dalam proses evaluasi dan akan pihaknya selesaikan. Siti bilang, pihaknya akan memeriksa kembali lagi data-data terkait hutan adat itu, juga perihal administrasinya, sehingga bisa diselesakan segera.

Siti Nurbaya juga mengingatkan kepada tim KLHK agar benar-benar memperhatikan tidak adanya konflik horizontal yang ditimbulkan oleh kehadiran kelompok-Kelompok lain yang bersinggungan dengan masyarakat adat. Menurutnya ekosistem yang ideal termasuk di dalamnya soal harmonisasi, kerekatan dan sistem kekerabatan tidak boleh terganggu.

Siti mengaku sepulangnya dari Tano Batak dirinya akan segera melakukan banyak tugas, yang diawali dengan evaluasi atau preliminary audit dan juga hal spesifik lainnya yang disampaikan oleh masyarakat adat, KSPPM dan AMAN Tano Batak.

Pada akhir pertemuan, Eva Junita Lumban Gaol dan Mangitua Ambarita, yang masing-masing mewakili Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria dan Masyarakat Adat Sihaporas menyerahkan secara resmi dokumen berisi tuntutan. Yang kisi sebagai berikut:

  1. Melepaskan wilayah masyarakat adat Batak dari klaim kawasan hutan negara, konsesi PT TPL, Hak Pengeloaan (HPL) BPOPDT, dan Area Pengembangan Food Estate, selanjutnya untuk diakui menjadi milik masyarakat adat.
  2. Mencabut Izin Hak Pengelolaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) PT TPL.
  3. Meninjau ulang kebijakan penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate.
  4. Melakukan Program penghijauan di Pusuk Buhit dengan melakukan penanaman buah buahan khas Tano Batak sehingga berfungsi ekologis.

Selain perwakilan masyarakat adat, Delima Silalahi juga menyerahkan dokumen pengaduan dari Masyarakat Desa Parbulu, Kecamatan Parmaksian terkait dengan dugaan adanya pencemaran lingkungan yang diakibatkan aktivitas pembibitan PT TPL di wilayah adat mereka kepada Menteri Siti.