Jatam: Perizinan PT TMS Melanggar Undang-Undang

Penulis : Kennial Laia

Tambang

Jumat, 18 Juni 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah mengatakan, proses perizinan PT Tambang Mas Sangihe di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, melanggar aturan. Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Aturan tersebut melarang aktivitas pertambangan di daratan berukuran lebih kecil atau setara 2.000 kilometer persegi, yang masuk dalam kategori pulau kecil. PT Tambang Mas Sangihe (TMS) mengantongi izin seluas 42.000 hektare atau 420 kilometer persegi, lebih dari separuh luas pulau Sangihe yang hanya 737 kilometer persegi.

Sebaliknya, pemanfaatan boleh dilakukan di pulau-pulau kecil terbatas untuk kegiatan tertentu. Pasal 23 menyebut prioritas pemanfaatan mencakup kegiatan konservasi Pendidikan dan pelatihan, penelitian, dan budidaya laut, pariwisata serta usaha perikanan dan kelautan.

“Melihat pasal itu jelas (kegiatan tambang) ini tidak boleh,” kata Merah kepada wartawan, Selasa, 15 Juni 2021.

Ilustrasi Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Foto: web momi.minerba.esdm.go.id

Ketentuan dalam undang-undang itu juga mengatur soal bisnis penanaman modal asing hanya boleh di pulau tidak berpenghuni dan tidak ada pemanfaatan oleh masyarakat lokal. Kepulauan Sangihe dihuni oleh 131 ribu jiwa dengan mata pencaharian petani dan nelayan serta bergantung pada Gunung Sahendaruman. 

Masih dari undang-undang yang sama, pasal lain yang dilanggar oleh penerbitan izin itu adalah Pasal 35 huruf k. Beleid itu melarang setiap orang “melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.”

Masalah lainnya, tutur Merah, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menyatakan tidak pernah mengeluarkan rekomendasi dan sampai saat ini belum menerima permohonan soal izin tambang di Kepulauan Sangihe.

“Kementerian ESDM seolah hidup di ruang hampa, enggak ngerti aturan yang ada saat ini dan sebelumnya,” kata Merah.

Salah satu preseden itu adalah putusan pengadilan Mahkamah Agung Nomor 25 Tahun 2016. Putusan tersebut menyatakan gugatan warga Pulau Bangka di Sulawesi Utara yang menolak penambangan bijih besi oleh perusahaan asal Tiongkok.

Putusan tersebut menempuh dari Pengadilan Tata Usaha Negara hingga Mahkamah Agung. Putusan tersebut dan dimenangkan rakyat dan Kementerian ESDM diperintahkan mencabut izin tersebut.

Menurut Merah, banyaknya masalah dalam proses perizinan PT TMS dapat menjadi indikasi korupsi di sektor perizinan. Dia meminta Komisi Pemberantasan Korupsi turun tangan untuk mengusut dugaan pelanggaran tersebut.

“Penyelidikan korupsi terhadap penerbitan izin di Kepulauan Sangihe. KPK harus kuat dan bangkit untuk melawan oligarki dan tekanan pimpinan yang mencoba melemahkan KPK,” pungkas Merah.