Greenpeace: Selamatkan KPK dari Cengkeraman Oligarki

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Selasa, 29 Juni 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Greenpeace Indonesia menggelar aksi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin, 28 Juni 2021. Dalam aksi tersebut, sejumlah pesan terproyeksi di gedung lembaga antirasuah, menyuarakan agar KPK “diselamatkan dari cengkeraman oligarki.”

Pesan yang diproyeksikan termasuk "#Save KPK", "Rakyat Sudah Mual", "Mosi Tidak Percaya", dan "Berani Jujur Pecat." Yang terakhir merupakan sebuah sindiran terhadap Ketua lembaga antikorupsi Firli Bahuri yang memecat pegawai KPK, termasuk penyidik-penyidik terbaik dan berintegritas, dengan alasan tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan.

Menurut Greenpeace Indonesia, aksi tersebut bagian dari dukungan bagi perjuangan keadilan bagi 51 pegawai KPK yang dinonaktifkan akibat dinyatakan tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan, termasuk Novel Baswedan dan penyidik yang sedang menangani kasus besar seperti korupsi Bansos, e-KTP, dan buronan Harun Masiku. 

Tes tersebut menjadi polemik kontroversial karena dianggap cacat prosedur dan menjadi salah satu syarat pengangkatan KPK sebagai aparat sipil negara. Menurut Greenpeace, pengadaannya terkesan buru-buru dan beberapa pertanyaan di dalamnya tidak berkaitan dengan pemberantasan korupsi.

Salah satu pesan yang terproyeksi di gedung KPK dalam aksi kelompok masyarakat sipil, Senin, 28 Juni 2021. Foto: Istimewa

Juru Kampanye Greenpeace Indonesia Asep Komaruddin mengatakan, tes tersebut bagian dari upaya pelemahan KPK. Pelemahan tersebut menguat di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, ketika revisi Undang-Undang KPK disahkan pada Oktober 2019. 

Kala itu, meskipun memicu sejumlah aksi penolakan di berbagai daerah termasuk Jakarta, undang-undang tersebut tetap disahkan. Usai itu, Firli Bahuri diangkat sebagai Ketua KPK, walau Firli pernah dinyatakan melanggar kode etik ketika menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK.

 “Upaya pelemahan KPK ini akan semakin memperburuk integritas KPK sebagai lembaga anti korupsi di negeri ini”, ucap Asep Komaruddin, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dalam keterangan yang diterima Betahita.  

 “Tidak hanya itu, kerusakan lingkungan khususnya yang berkaitan dengan alih fungsi lahan akan semakin menjadi-jadi, karena salah satu celah korupsi adalah saat kepala daerah memberikan atau memperpanjang izin kepada perusahaan untuk membuka lahan, ini merupakan bagian dari praktek state capture corruption,” jelas Asep. 

Sebagai contoh, selama tiga kali berturut-turut KPK telah berhasil menangkap Gubernur Riau dalam Operasi Tangkap Tangan, dengan dugaan kasus pemberian izin ilegal untuk pembukaan lahan di Provinsi Riau. KPK juga mengungkap kasus suap yang melibatkan petinggi Grup Sinar Mas dan anggota DPRD Kalimantan Tengah terkait proses perizinan dalam kawasan hutan. Juga ada Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam, yang merupakan terpidana korupsi atas pemberian izin pertambangan.

Kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia sejatinya tidak lepas dari praktik korupsi. Saat pilkada serentak, misalnya, hal ini dapat menjadi ancaman kerusakan hutan. Dugaan itu muncul seiring pemangkasan dan kemudahan izin pelepasan kawasan hutan yang dikhawatirkan menjadi modal ‘transaksi politik’.

“Penyingkiran penyidik-penyidik terbaik KPK ini membuktikan bahwa KPK telah digerogoti dari dalam, menggunakan stigma radikalisme yang sesungguhnya hanya dibuat-buat untuk menyingkirkan mereka yang berintegritas”, tutup Asep. 

Pada hari yang sama, sebuah aksi juga telah dilakukan oleh sekelompok organisasi masyarakat sipil menuntut Presiden Jokowi untuk memberhentikan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK, dan membatalkan UU No 19/2019 tentang Revisi UU KPK.