Perkara Covid 19 dan Kematian Pekerja Tambang yang Terabaikan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Kamis, 01 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Kunjungan sejumlah menteri ke sejumlah komplek industri di kawasan Indonesia Timur, 22-23 Juni 2021 kemarin tuai kritik. Lantaran, rombongan menteri ini dinilai datang hanya untuk urus perkembangan industri saja, namun abai terhadap masalah lonjakan kematian dan kasus Covid 19 yang dialami para pekerja tambang.

Selama dua hari, rombongan menteri yang terdiri dari Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan, Menteri ATR/BPN Sofyan Jalil, Mendagri Tito Karnavian dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, mengunjungi komplek industri Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Selain ke komplek IWIP, rombongan tersebut juga berkunjung ke komplek Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah.

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang sekaligus Jurukampanye #BersihkanIndonesia, Merah Johansyah menyebut, kunjungan para menteri ke sejumlah komplek industri di kawasan Indonesia Timur ini bak layanan prima investasi. Yang mana, komplek industri tambang nikel di Hamlahera Utara dan Morowali itu mendapat layanan door-to-door dari para menteri, yang tujuannya tidak lain mendukung dan memfasilitasi perluasan perusakan, penghilangan dan peracunan setiap jengkal ruang hidup di sekujur tubuh kepulauan Maluku dan Sulawesi.

Sayangnya, rombongan menteri yang dipimpin Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan itu tidak memberi perhatian pada lonjakan kasus Covid 19 di Halmahera Utara. Padahal 251 dari 307 kasus aktif Covid 19 di Halmahera Utara adalah pekerja tambang. Menteri Luhut dan rombongan juga tidak tampak menaruh peduli pada lonjakan kematian para pekerja tambang yang terjadi.

Kedatangan rombongan menteri yang dipimpin Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan disambut oleh Vice President PT IWIP Kevin He, Direktur External Relation Scott Ye, Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba dan Bupati Halmahera Tengah Edi Langkara, 22 Juni 2021./Foto: dokumentasi PT IWIP

Dalam kunjungan dua hari itu, lanjut Merah, masing-masing menteri berperan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Mulai dari memastikan legalisasi perampasan tanah, memberikan layanan greenwashing melalui berbagai izin lingkungan, memastikan sepaket kebijakan insentif dan tax holiday, hingga menjamin keamanan pelaku investasi dari gangguan rakyat yang protes.

"Dengan uang yang diperoleh dari rakyat, para pejabat ini menggunakan jet pribadi dan helikopter ke Indonesia Weda Bay Industrial Park, Halmahera juga di Pulau Obi, Maluku Utara. Di sana mereka meresmikan berbagai proyek perusak ruang hidup di antaranya adalah proyek High Pressure Acid Leaching (HPAL) milik perusahaan Halmahera Persada Lygend yang merupakan bagian dari perusahaan milik Harita Group," kata Merah, Rabu (30/6/2021).

Merah menyebut proyek-proyek tambang tersebut adalah proyek kotor dan padat polusi dengan teknologi hidrometalurgi yang akan disokong ribuan megawatt listrik batu bara dalam pengolahan lanjutan nikel dari penambangan PT Trimegah Bangun Persada. Proyek ini diperkirakan akan membuang dan menumpuk limbah tailing ke laut atau perairan Pulau Obi.

Saat ini ada 14 perusahaan tambang nikel mengeruk daratan pulau kecil seluas 3.048 meter persegi itu. Padahal pulau keci itu adalah masa depan kehidupan 3.343 keluarga nelayan perikanan tangkap dan ini yang akan dihancurkan.

Merah menjelaskan, limbah proyek ini akan menjadikan ibu kota terumbu karang dan ekosistem laut yang megah di perairan Morowali, yang dikenal sebagai coral reef triangle seperti pemakaman massal. Perusahaan-perusahaan ini merencanakan akhir pembuangan dan penumpukan limbah di laut atau deep sea tailing placement (DSTP) sebagai ekor tak terpisahkan dari bagian akhir dalam tubuh industri nikel baterai di kompleks industrial Morowali (IMIP).

"Sementara itu rakyat yang tercerabut dari akar kehidupannya karena proyek IWIP, harus menerima dampak kerusakan sosial dan ekologis serta pencemaran teluk dan pesisir. Kini mereka yang jadi pekerja proyek berada dalam kondisi yang membahayakan. Media lokal mencatat, sejak 2019 sedikitnya 7 nyawa dilaporkan tewas karena kecelakaan kerja."

Tingginya kecelakaan kerja di proyek IWIP ini, imbuh Merah, memantik pertanyaan serius tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Namun fakta kondisi kerja ini malah tidak menjadi perhatian bagi para menteri.

"Mereka ada urusan lain, yakni akumulasi modal jauh dianggap lebih berharga. Bahkan untuk mengucapkan belasungkawa pun mereka pun tidak memiliki secuil waktu pun."

Merah berpendapat, Kabinet Indonesia Maju 2 dengan komposisi susunan menteri-menteri yang saat ini berjalan, telah mengalami malfungsi dan mutasi. Menurutnya, kabinet tersebut kini tak lebih dari cabang kekuasaan korporasi untuk menunaikan tugas melayani investasi.

"Tubuh kepulauan Indonesia termasuk pulau-pulau kecil dan pesisir di Indonesia timur telah dihinggapi dan dijadikan inang bagi berkembang biaknya kejahatan negara korporasi ini."

Kongsi-kepentingan penguasa dan kepentingan korporasi ini merupakan turunan logis dari vitalnya peran legalitas dan persetujuan resmi aparat negara bagi kelangsungan operasi korporasi komersial. Logika bahwa negara kapitalis beroperasi sebagai instrumen modal, yang mana korporasi bergantung pada negara untuk profitabilitas mereka, dan karenanya memerlukan kerangka hukum regulasi.

"Tujuannya agar dapat mengeksploitasi pasar, sumberdaya alam dan mendulang keuntungan."

Infrastruktur hukum dan ekonomi disediakan oleh pengurus negara di sektor investasi/dagang sehingga tak terhindarkan adanya saling bergantung di antara kepentingan politik dan komersial. Praktik yang operasinya berwatak oligarkis ini diikuti dengan manipulasi dan pengerdilan badan-badan audit, pengawasan dan pemberantasan korupsi.

Kejahatan seperti perampasan dan perusakan daratan dan perairan di pulau kecil termasuk pembuangan limbah industri ke laut didefinisikan ulang sebagai sesuatu yang sah, bahkan dengan pelibatan aparat dengan label Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Operasi kriminal oleh simbiosis negara-korporasi ini sulit sekali dituntut menurut criminal code (hukum pidana), karena apa-apa yang dilakukan salah satu dari keduanya boleh dikatakan melampaui hukum atau 'a-legal'. Di samping itu, berbagai jerat ketentuan hukum yang merupakan sisa-sisa ketaatan pada asas rasionalitas publik khususnya syarat keselamatan bersama kemudian dibatalkan lewat proses legislasi yang dikendalikan oleh simbiosis tersebut.

Merah juga menyinggung soal Omnibus Law dan UU Minerba yang baginya tampak jelas adalah sebuah kendaraan sekaligus perencanaan kejahatan dari ekstraktivisme yang disahkan dan dilegalkan, didefinisikan ulang sebagai hukum, di sinilah kejahatan korporasi-negara sedang dipraktikkan dan kabinet atau para pengurus negara sedang berubah wujud bukan lagi sebagai pelayan rakyat namun menjadi pelayan dan pemberi pelayanan prima investasi belaka.

"Kami mendesak, yang pertama Audit Sosial, Bencana dan Lingkungan atas semua proyek IWIP dan IMIP. Kedua, batalkan proyek berbahaya di IWIP dan IMIP. Ketiga, tolak dan batalkan rencana pembuangan limbah tailing di laut. Keempat, lakukan investigasi, tegakan hukum sejumlah kecelakaan kerja pada para pekerja IWIP. Dan yang terakhir lakukan moratorium izin dan perluasan industri kotor dan berbahaya di pulau-pulau kecil dan pesisir Indonesia," kata Merah.