Presiden Jokowi Harus Perpanjang dan Perkuat Moratorium Sawit

Penulis : Kennial Laia

Sawit

Selasa, 06 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Moratorium Sawit mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo agar memperpanjang moratorium sawit, serta memperkuat aturannya.

Moratorium sawit diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018. Tujuannya antara lain penundaan, evaluasi perizinan, dan peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Berlaku tiga tahun sejak diterbitkan, aturan ini akan berakhir pada 19 September 2021. Padahal Inpres tersebut belum tuntas dilaksanakan dan belum sepenuhnya mencapai tujuannya.

Menurut Sri Palupi, peneliti di The Institute for Ecosoc Rights, buruknya tata kelola industri sawit Indonesia selama ini menghambat terwujudnya industri sawit berkelanjutan dan keberterimaan sawit di pasar global. Aturan itu jika dilanjutkan dapat memperbaiki berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia. 

“Dampak positif pelaksanaan Inpres sudah tampak di beberapa daerah. Karena itulah, Inpres Moratorium Sawit penting dan mendesak bukan hanya untuk diperpanjang tetapi juga untuk diperkuat agar dapat mencapai tujuan,” kata Sri dalam keterangan yang diterima Betahita, Selasa, 6 Juli 2021.

Sebuah truk membawa sawit muda di area konsesi PT Kalimantan Prima Agro Mandiri, Kecamatan Manis Mata, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, akhir Agustus 2020. Foto: Istimewa

Meski begitu, kebijakan ini masih harus ditingkatkan terutama dari segi implementasi yang belum optimal. Penguatan produk hukum dan penetapan target spesifik diperlukan, seperti peningkatan produktivitas maupun review izin dengan ukuran target yang jelas.

Juru Kampanye Kelapa Sawit Kaoem Telapak Rahmadha Syah mengatakan, moratorium sawit meletakkan pemerintah pada jalur yang tepat dalam tata kelola sawit berkelanjutan.

Jika dilanjutkan, dengan fokus pada review izin dan konflik sosial, penerimaan pasar minyak sawit Indonesia di pasar global dapat positif. 

“ Namun peluang strategis tersebut berpeluang hilang jika aturan ini tidak diperpanjang. Apalagi proyeksi konsumsi sawit Indonesia sampai 2024 masih didominasi pasar ekspor,” jelas Rahmadha.

Setiap tahunnya, sebesar 19% konsumsi dan permintaan dari total minyak sawit mentah (CPO) global berasal dari sawit bersertifikat berkelanjutan. Dengan adanya moratorium sawit, Indonesia dapat memenuhi tuntutan pasar internasional terkait produk sawit berkelanjutan. 

Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware, perpanjangan moratorium sawit dibutuhkan daerah untuk menyelesaikan permasalahan tumpang tindih lahan.

Salah satu contohnya adalah komitmen pemerintah Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah mengkaji ulang izin 30 perusahaan perkebunan sawit dalam dua tahun terakhir.

Hasilnya, bupati di provinsi itu mencabut 14 izin perusahaan sawit dengan rencana mencabut izin empat perusahaan lainnya. Langkah serupa dapat dilakukan pemerintah daerah lainnya untuk mengurai permasalahan tumpang tindih lahan. 

Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace, mengatakan kebijakan pemerintah harus fokus pada penyelesaian sawit di dalam kawasan hutan jika memperpanjang moratorium sawit. Salah satunya adalah meminta semua tutupan hutan tersisa dalam izin untuk dikembalikan sebagai kawasan hutan atau ditetapkan sebagai area dengan Nilai Konservasi Tinggi (HCV) atau melalui skema hutan lainnya.

“Hal yang perlu ditekankan lagi ialah kebijakan Moratorium mendatang tidak hanya dilaporkan pada Presiden tetapi juga harus dipublikasi ke publik untuk menjamin keterbukaan informasi,” pungkas Arie.