Evaluasi Tiga Tahun Moratorium Sawit

Penulis : Kennial Laia

Sawit

Rabu, 07 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Moratorium sawit akan kedaluwarsa pada 19 September 202. Selama tiga tahun, kebijakan ini mencatatkan beberapa capaian, mulai dari pencabutan izin perusahaan di Tanah Papua hingga konsolidasi data dan penyelesaian penyelesaian penghitungan luas kebun sawit se-Indonesia.

Capaian paling baru adalah pencabutan 14 izin perusahaan usai pemerintah provinsi Papua Barat bersama Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan review izin 30 perusahaan di berbagai kabupaten. Sebagai catatan, Papua Barat menggunakan moratorium sawit sebagai salah satu dasar hukum pencabutan izin.

Total luas yang terlepas dari izin konsesi itu seluas 267.856 hektare. Sementara itu masih ada 43.689 hektare sedang diproses pencabutannya. Tanah ulayat bekas konsesi ini nantinya akan dikelola oleh masyarakat adat.

Catatan penting ini tertuang dalam kertas kebijakan Koalisi Moratorium Sawit yang terbit Selasa, 6 Juli 2021. Koalisi yang terdiri dari 15 organisasi penggiat isu hutan dan lingkungan itu menyatakan, capaian yang ada dapat menjadi dasar bagi Presiden Joko Widodo memperpanjang Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tersebut.

Tampak dari ketinggian areal perkebunan sawit

“Pembelajaran tersebut perlu dimaknai bahwa moratorium sawit semestinya dimaksimalkan untuk mencapai langkah-langkah korektif menjadi aksi nyata yang berdampak bagi masyarakat sekitar kawasan seperti masyarakat adat,” tulis Koalisi dalam dokumen yang diterima Betahita, Selasa, 6 Juli 2021. 

Sementara itu, permasalahan luas sawit perkebunan sawit juga dapat diatasi. Selama bertahun-tahun, tidak pernah ada angka pasti soal luas kebun sawit di Indonesia. Lewat mandat moratorium sawit, Kementerian Pertanian telah menetapkan tutupan sawit Indonesia seluas 16,38 juta hektare lewat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 833/KPTS/SR.020/M/12/2019.

Capaian tersebut menjadi mungkin karena Inpres itu memang mengamanatkan berbagai tata kelola industri sawit, mulai dari evaluasi perizinan, penundaan pemberian izin, hingga peningkatan produktivitas perkebunan milik petani.

Namun, Koalisi juga mencatat beberapa perbaikan yang perlu. Salah satunya adalah peningkatan koordinasi lintas kementerian ataupun lembaga pemerintah pusat. Selain itu, animo di tingkat daerah juga masih sangat rendah. Dalam tiga tahun, hanya lima daerah yang berkomitmen menjalankan moratorium sawit, yang mana tiga di antaranya telah menerbitkan peraturan daerah. Sementara itu, masih ada 19 provinsi dan 239 kabupaten penghasil sawit belum merespon. 

Menurut Koalisi, ada beberapa faktor yang menjadi penghambat implementasi moratorium sawit. Salah satunya adalah, Inpres yang ada saat ini belum memuat target spesifik serta tidak memiliki peta jalan implementasi kebijakan yang jelas. Tantangan lainnya adalah bagaimana pemerintah dapat menerapkan mekanisme pengawasan dan evaluasi yang jelas. 

Dari segi sumber daya manusia, alokasi anggaran dan sumber daya manusia di tingkat daerah juga menjadi masalah. Tim khusus di level pusat diharapkan rutin mempublikasikan ke publik terkait capaian moratorium sawit pada masa pendatang. 

Selain itu, terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law juga menambah pekerjaan mencapai tujuan sawit berkelanjutan. Pasalnya, undang-undang tersebut dianggap dapat melemahkan semangat perbaikan tata kelola industri sawit.

Rekomendasi kebijakan

Koalisi Moratorium Sawit menuliskan beberapa rekomendasi untuk pemerintah. Pertama, Presiden Jokowi memperpanjang masa berlaku dan meningkatkan Inpres Moratorium Sawit ke dalam bentuk regulasi yang lebih kuat dan mengikat secara hukum. 

Kedua, membuat target spesifik seperti target peningkatan produktivitas dengan ukuran jelas (ton/hektare), target optimalisasi pendampingan petani (jumlah penyuluh petani per kabupaten/ kota), target luas perizinan perkebunan sawit yang dievaluasi (hektare/tahun); dan target luas penyelesaian lahan sawit dalam kawasan hutan (hektare/tahun), serta target pengembalian tutupan hutan alam yang tersisa dalam izin untuk dikembalikan sebagai kawasan hutan atau ditetapkan sebagai area Nilai Konservasi Tinggi atau HCV (hektare/tahun).

Ketiga, memastikan keterbukaan informasi hasil pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit kepada publik, terutama terkait proses dan hasil penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan sawit serta target-target lain seperti target peningkatan produktivitas hingga target optimalisasi pendampingan petani; 

Keempat, memberi dukungan langsung kepada organisasi perangkat daerah (OPD) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota oleh pemerintah pusat seperti penyediaan alokasi anggaran untuk OPD untuk mengimplementasikan Inpres Moratorium Sawit secara efektif hingga penyediaan petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis bagi OPD dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut;

Kelima, mendukung kepala daerah dan OPD yang telah melakukan review izin dan berani melakukan tindakan korektif; serta memastikan langkah korektif yang diambil kepala daerah dapat berdampak nyata bagi masyarakat adat atau masyarakat sekitar wilayah tersebut.