Perpanjangan Moratorium Tingkatkan Kredibilitas Sawit Indonesia

Penulis : Kennial Laia

Sawit

Kamis, 08 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Perpanjangan moratorium sawit yang diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 disebut dapat menciptakan peluang Indonesia dalam pasar global.

Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware, saat ini kepercayaan masyarakat global terhadap komoditas minyak berkelanjutan adalah hal terpenting yang terus dijaga dan ditingkatkan oleh pemerintah Indonesia.

“Setiap tahun, 19% konsumsi dan permintaan dari total minyak sawit global berasal dari sawit bersertifikasi berkelanjutan,” kata Inda, Senin, 6 Juli 2021.

Menurut Inda, moratorium sawit perlu diperpanjang karena memungkinkan perbaikan tata kelola dan meningkatkan kredibilitas produk sawit nasional, sehingga dapat diterima pasar internasional.

Seorang petani sawit swadaya di sebuah desa di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, mengumpulkan tandan buah segar dari kebunnya. Foto: SIAR Nusantara

Dalam kertas kebijakan yang diterima Betahita, 6 Juli 2021, Koalisi Moratorium Sawit menyebut, permintaan minyak sawit berkelanjutan menunjukkan tren yang terus naik. Riset dari Fact and Factors Marketing Research (2021) juga memperkirakan pertumbuhan pasar minyak sawit global akan naik hingga 9% dalam periode 2019-2026. 

Pada 2025, proyeksi total penjual minyak sawit mentah (CPO) bersertifikat RSPO meroket hingga 9,5 juta ton. Salah satu alasannya adalah adanya desakan dunia untuk penggunaan minyak sawit berkelanjutan seperti yang terjadi di Eropa melalui kebijakan Uni Eropa.  

“Lebih dari itu, dalam rangka memenuhi kebutuhan global tersebut, momentum perpanjangan moratorium sawit ini strategis untuk mengoptimalkan luas lahan sawit yang sudah ada melalui percepatan sertifikasi ISPO tanpa melakukan ekspansi,” tulis Koalisi.

Dengan perpanjangan tersebut, pemerintah dapat terus memperbaiki aspek-aspek keberlanjutan dari industri minyak sawit nasional dan meningkatkan kredibilitasi produk sawit agar memenuhi perjanjian dagang antara negara, termasuk kesepakatan Indonesia-EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA) tahun ini.

 “Kebijakan ini menjadi tools bagi pemerintah dalam melakukan perbaikan tata kelola untuk menghasilkan produk sawit yang dapat diterima pasar global,” kata Inda. “Juga jika tata kelola perkebunan sawit menjadi lebih baik maka iklim investasi di Indonesia akan semakin positif.”

Keuntungan lainnya

Selain meciptakan peluang pasar sawit berkelanjutan, moratorium sawit juga disebut dapat mendongkrak produktivitas lahan milik petani kecil. Analisis Koalisi menemukan, laju produktivitas saat moratorium naik menjadi 2,62% dari sebelumnya 1,34%. Namun, angka itu masih rendah, terutama bagi produktivitas kebun rakyat yang tertinggal jauh dibanding perkebunan besar milik negara dan swasta.

“Artinya target dalam kebijakan ini belum tercapai, sehingga membutuhkan perpanjangan dan inovasi untuk mencapai target tersebut,” tulis Koalisi.

Moratorium sawit berdurasi 10 tahun dapat mengurangi produksi tandan buah segar dibandingkan kondisi normal. Namun, produktivitas akan meningkat 20% sehingga mengembalikan kehilangan hasil produksi tersebut.

Menurut Koalisi, dalam rentang moratorium, pemerintah harus berkomitmen menyelesaikan permasalahan petani, mulai dari legalitas lahan, optimalisasi dana sawit, dan peremajaan tanaman.

Perpanjangan moratorium sawit juga dapat membantu pemerintah mencapai target penurunan emisi sebesar 17,2% - 38% pada 2030. Koalisi menganalisis, setidaknya 3,8 juta hektare hektare masuk ke dalam izin sawit. 

“Instrumen evaluasi dan review izin yang ada di dalam moratorium sawit dapat menyelamatkan luas gambut tersebut,” tulis Koalisi.

“Hasil kalkulasi kami menyimpulkan dengan menyelamatkan 3,8 juta hektar luas gambut tersebut pada fungsinya alamiah dapat menghindari pelepasan 11,5 juta ton/ tahun karbon akibat aktivitas pembakaran ataupun konversi lahan yang tentunya akan berkontribusi pada komitmen iklim Indonesia,” jelas Koalisi.

Hutan alam di dalam wilayah izin sawit juga cukup signifikan. Berdasarkan tutupan lahan 2019, Koalisi mencatat seluas 3,57 juta hektare hutan alam berada di dalam izin sawit. Dari luas itu, sekitar 1,42 juta hektare tercatat berasal dari pelepasan kawasan hutan yang merupakan objek evaluasi perizinan dalam kebijakan moratorium sawit. 

"Kebijakan moratorium sawit mendatang harus mampu bekerja sebagai langkah korektif bagi penyelesaian sawit dalam kawasan hutan. Salah satunya meminta semua tutupan hutan tersisa dalam izin untuk dikembalikan sebagai kawasan hutan atau ditetapkan sebagai HCV atau melalui skema hutan adat," kata Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Arie Rompas.

Jika moratorium tidak diperpanjang…

Jika pemerintah tidak memperpanjang moratorium sawit, beberapa konsekuensi dapat terjadi. Salah satunya adalah kesulitan mencapai target wajib sertifikasi ISPO pada 2025.

Melalui Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia. Saat ini realisasi sertifikasi ISPO di kalangan petani masih rendah, dengan capaian 12.270 hektare atau 0,21% dari luas total perkebunan pekebun yang mencapai 5,087 hektare.

Alasan utamanya adalah legalitas lahan petani. Inpres moratorium dapat menyelesaikan masalah tersebut melalui amanat evaluasi izin.

Konsekuensi lainnya adalah pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari provinsi sentra akan terus hilang. Saat ini negara merugi dari potensi PNPB di dua provinsi yakni Rp191 miliar di Riau dan Rp660 miliar di Kalimantan Barat. 

Jika moratorium berhenti, kerugian ini bisa membengkak karena kealpaan pendataan dan review izin. Data dari Koalisi, saat ini baru 28,6 persen yang sudah memiliki HGU dari total 19,7 juta hektare tutupan sawit tertanam per 2021 di 25 provinsi.