Jelang COP26, Isu Kesehatan dalam Komitmen Iklim Masih Timpang

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Jumat, 09 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Aspek kesehatan dinilai masih belum menjadi prioritas negara di dunia dalam menghadapi krisis iklim. Padahal jika emisi tidak dikurangi secara drastis, tingkat pemanasan pada akhir abad ini akan menjadi bencana besar bagi kesehatan manusia.

Hal itu terlihat diungkapkan organisasi dunia Global Climate and Health Alliance, dalam temuan terkait Kartu Skor Sehat NDC (Nationally Determined Contributions), Kamis, 8 Juli 2021. Kartu skor ini mencatat peringkat kemajuan negara dalam penyertaan sektor kesehatan pada target komitmen penurunan emisi nasional.

Temuan itu menunjukkan spektrum skor yang luas, yang dicapai negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah serta negara berpenghasilan tinggi. Kosta Rika mencetak 13 poin dari angka maksimal 15 poin, diikuti Laos dan Senegal (12 poin) dan Argentina, Lebanon, Papua Nugini, dan Rwanda. 

Selain itu dari 66 negara – termasuk 27 anggota Uni Eropa (UE) – hanya lima negara yang memasukkan kesehatan dalam komitmen nasional mereka menjelang Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau COP ke-26 di Glasgow, November mendatang. 

Poster protes tentang krisis iklim. Foto: iglobal.org

Direktur Eksekutif Global Climate and Health Alliance Jeni Miller mengatakan, negara penghasil 50% emisi global yang belum mengumumkan pembaruan komitmen iklim nasional menjelang COP26 berpeluang untuk segera membangun target pengurangan emisi yang ambisius.

“Ini juga untuk mendapatkan manfaat kesehatan dari tindakan iklim yang dipertimbangkan dengan baik, sekaligus untuk meningkatkan ekonomi mereka,” kata Miller, dalam keterangan yang diterima Betahita, Kamis, 8 Juli 2021. 

“Adanya gelombang panas dan kebakaran hutan yang sudah berdampak serius pada kesehatan, alternatif apapun menjadi beresiko membahayakan manusia dan planet tempat kita semua hidup,” imbuhnya.

Beberapa negara berpenghasilan tinggi seperti Australia, Selandia Baru, Islandia, dan Norwegia mencetak nol poin, sedangkan Uni Eropa, yang mewakili 27 negara anggota, hanya mencatat satu poin. Amerika Serikat mencatat enam poin dan Inggris tujuh poin.

Dalam data yang tersedia, kartu skor ini juga menyoroti apakah komitmen pengurangan emisi negara-negara berada di jalur yang tepat untuk memenuhi tujuan Perjanjian Paris dan untuk membatasi kenaikan suhu global hingga jauh di bawah 2°C, yang idealnya 1,5°C. 

Menurut Miller, meski beberapa negara mendapat skor tinggi karena memasukkan kesehatan dalam NDC, secara keseluruhan masih kurang dalam ambisi iklim. Argentina, misalnya, telah menyelaraskan rencananya dengan tingkat pemanasan 3°C. Dalam NDC yang ditampilkan dalam kategori kartu skor ini, hanya tiga negara (Kosta Rika, Kenya, dan Nepal) yang menyamai dengan target 2°C, namun tidak ada yang ingin mencapai 1,5°C. 

“Secara keseluruhan ambisi iklim internasional masih jauh di bawah apa yang dibutuhkan untuk melindungi kesehatan,” kata Miller. 

“Memberikan lip-service untuk kesehatan tidak banyak berpengaruh kecuali upaya bersama juga dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Karena ini akan menjadi faktor terbesar dalam menentukan kesehatan generasi mendatang. Kegagalan untuk melakukannya akan menjadi bencana besar bagi kesehatan manusia,” ujarnya.

Dari 40 NDC yang dianalisis untuk kartu skor, 66 negara telah memasukkan masalah kesehatan dalam NDC mereka. Namun hanya sedikit yang memberikan detail tentang cara melindungi kesehatan warganya dari dampak perubahan iklim.

Beberapa negara mencantumkan detail yang minim mengenai rencana mereka melindungi warga dari dampak krisis iklim; sementara beberapa lainnya mempertimbangkan pembiayaan, atau kerugian jika gagal bertindak.

Jess Beagley, analis kebijakan Global Climate and Health Alliance, mengatakan pemerintah yang telah menghapus aspek kesehatan dalam kartu skor NDC mereka harus segera menempatkan perlindungan kesehatan warga dalam kebijakan iklim nasional.

Sementara itu, bagi negara yang belum menyerahkan NDC, harus menyiapkan rencana substantif penanganan dampak kesehatan dari perubahan iklim, termasuk pembiayaannya. Investasi waktu, sumber daya, dan uang pada sektor kesehatan ini diperlukan demi menghindari dampak kesehatan yang parah akibat kerusakan lingkungan.

“Apa yang ditunjukkan oleh Kartu Skor Sehat NDC ini adalah secara keseluruhan negara-negara dunia masih jauh dalam memasukkan kesehatan sebagai salah satu kebijakan iklim,”kata Beagley.

“Walau demikian, negara-negara dengan skor tertinggi memberi contoh bahwa perubahan ini dapat dilakukan, dan harus menginspirasi yang lain untuk mengikutinya, sehingga mereka dapat menuai manfaat kesehatan bagi rakyatnya,” pungkasnya.