Studi: Perdagangan Satwa Liar Sebarkan 75 Persen Penyakit Menular

Penulis : Tim Betahita

Satwa

Senin, 12 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Sebuah studi mengungkap bahwa hewan liar seperti kelelawar, primata, dan mamalia lain yang diperdagangkan menjadi rumah bagi tiga perempat penyakit menular di dunia.

Penyakit tersebut celakanya berpotensi menular dari hewan ke manusia.

Temuan ini merupakan bagian dari pandangan global pertama yang mendetail soal patogen pada hewan liar yang diperdagangkan. Studi ini pun dapat memberikan wawasan dan menyoroti cara-cara untuk mengurangi kemungkinan pandemi di masa depan.

Seperti yang diketahui, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelumnya menganggap pasar satwa liar di China sebagai salah satu kemungkinan asal mula Covid-19.

Pasar Huanan ditutup tak lama setelah kasus Covid-19 meningkat di Wuhan, Cina. Pasar hewan ini diketahui publik sebagai awal bermulanya pandemi Covid-19. Foto: AFP

Mengutip New Scientist, kemarin, dalam studi ini peneliti mengambil data-data mamalia yang merupakan reservoir bagi virus zoonosis. Zoonosis adalah jenis penyakit yang dapat ditularkan hewan ke manusia.

Peneliti kemudian melengkapinya dengan literatur ilmiah dan menggabungkan apakah hewan diperdagangkan atau tidak.

Hasilnya, mereka menemukan bahwa 26,5 persen mamalia yang diperdagangkan membawa 75 persen virus zoonosis yang diketahui. Risiko penyakit terbesar itu berasal dari primata, kelelawar, karnivora, dan hewan berkuku yang dikenal sebagai ungulates.

Namun analisis juga menunjukkan bahwa hewan marsupial berpeluang masuk daftar berisiko tinggi juga di masa depan. Sementara sebagai perbandingan, mamalia peliharaan menjadi rumah bagi 51,7 persen virus zoonosis yang diketahui dan yang tak diperdagangkan membawa 64,2 persen.

"Saya pikir hasilnya cukup mengkhawatirkan," ungkap Joseph Kiesecker, salah satu peneliti dari The Nature Conservancy.

Hasil studi ini bukan berarti larangan pada perdagangan satwa liar. Namun yang ingin ditunjukkan peneliti adalah virus zoonosis tak tersebar merata di semua hewan. "Jadi kami menargetkan spesies yang diketahui membawa lebih banyak virus sehingga bisa lebih fokus melakukan pembatasan," kata Kiesecker.

Lebih lanjut, mengutip Guardian, Shivaprakash Nagaraju, peneliti lain dalam studi menyebut mengatasi perdagangan satwa liar sebenarnya hanya akan mengatasi sebagian dari masalah saja.

"Pada akhirnya yang sangat penting adalah bagaimana mengubah pola pikir konsumen. Sebab mereka lah yang menciptakan permintaan ini," katanya.

Selama gaya hidup masyarakat terhadap konsumsi hewan liar tak berubah maka ini adalah semacam cerita yang tak pernah berakhir. Studi telah dipublikasikan di Current Biology.

Kompas| New Scientist