Jakarta dan Cerita Ngeri Kota-kota Dalam Ancaman Air Laut

Penulis : Sandy Indra Pratama

Perubahan Iklim

Selasa, 13 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pesisir laut selama berabad-abad jadi pusat lalu lintas perdagangan antarnegara, pembangunan, dan peleburan budaya. Selama ribuan tahun pula, manusia terus membangun kota-kota besar di pinggiran pantai, muara, dan delta.

Namun kini, saat perubahan iklim menjadi kenyataan, wilayah-wilayah pesisir pantai dan muara menghadapkan penduduknya pada ancaman risiko. Kini, terkait dengan pemanasan global, risiko bahaya yang kita hadapi juga meningkat drastis.

Ilustrasi itu bersumber dari laporan yang tidak diterbitkan panel penasihat iklim PBB - IPCC, yang diperoleh secara eksklusif oleh kantor berita AFP. Dalam laporan itu tergambar ancaman iklim yang luas dan mendesak untuk ditangani.

Di kota-kota besar, kawasan perkantoran, menara, gudang, rumah-rumah, dan jalanan berdesak-desakan "memeluk laut". Kota-kota ini berada di "garis depan" risiko, demikian isi laporan Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC).

Kondisi Jakarta yang bakal tenggelam pada 2050 dalam prediksi peta virtual Climate Central. (Climate Central Map)

"Pilihan yang sulit, akan dan perlu dibuat, karena permukaan laut terus naik, banjir dan badai menjadi lebih sering dan makin intensif, suhu global meningkat, tingkat keasaman air naik dan gelombang panas pun makin intensif," tambah laporan itu.

Naiknya permukaan air laut kemungkinan memicu banjir. Di beberapa tempat, orang-orang sudah tahu betul kekuatan air yang bisa merusak.

"Dulu saya pernah menjadi menantu dari keluarga kaya," ujar Yasmin Begum, warga Bangladesh, kepada AFP.

"Mertua dan orang tuaku memiliki segalanya, ternak, rumah bagus, lahan pertanian. Tapi sungai mengambil semuanya."

Keluarga Begum pernah hidup relatif makmur di selatan distrik Bhola, salah satu delta terpadat di dunia. Kemudian, pada suatu malam, 12 tahun yang lalu, Sungai Meghna yang "mengamuk", melahap semua yang mereka miliki.

Begum sekarang berusia 30 tahun, kini menjadi seorang ibu rumah biasa tangga di Dhaka. Suaminya menjadi pengemudi becak sepeda di jalan-jalan kota yang berpolusi tinggi.

Mereka lolos dari bencana banjir dan menghadapi risiko lainnya: Rumah baru mereka, di salah satu lorong sempit daerah kumuh, juga terletak hanya beberapa meter dari bantaran sungai.

Daratan tak lagi stabil

Kira-kira sepersepuluh dari populasi dunia hidup di daratan dengan ketinggian kurang dari 10 meter di atas permukaan laut. "Secara struktural, banyak kota terancam permukaan laut yang naik," kata Ben Strauss, CEO dan kepala ilmuwan IPCC. Pelabuhan dan bandara dibangun di atas tanah yang paling datar atau paling rendah.

"Permukaan laut, dulu, stabil," jelas Strauss," namun kini tidak lagi stabil." Sekitar 300 juta orang rentan terhadap banjir tahunan padat ahun 2050 mendatang,demikian menurut penelitiannya. Warga yang paling tidak mampu untuk melindungi diri mereka sendiri, kemungkinan besar akan terkena hantaman bencana paling berat.

Kota-kota, seperti Venesia, dan Jakarta, juga sedang tenggelam, sementara negara-negara kepulauan dataran rendah, khususnya di Pasifik, berisiko menghilang di telan muka air laut yang terus naik. Laporan tersebut menyebutkan, pengurangan laju emisi dapat mengurangi risiko.

"Tapi, kenaikan permukaan laut, semakin cepat, dan akan terus berlanjut selama ribuan tahun," ujar laporan itu.

Pada tahun 2100, IPCC memperkirakan tingkat permukaan air laut bisa naik 60 sentimeter lebih tinggi dari saat ini. Untuk jangka panjang, kata laporan itu, prospek di banyak kota pesisir menjadi "suram" jika laju emisi tak terkendali.

Sementara itu, umat manusia terus memompakan polusi ke atmosfer, menyebabkan pemanasan global,yang memicu mencairnya lapisan es dan gletser dan memperluas lautan.

"Hanya dalam beberapa dekade, situasi itu berpotensi menenggelamkan beberapa kota besar dunia", kata Strauss menambahkan. Pada tahun 2050, wilayah yang berisiko seperti Florida Selatan mungkin telah mengembangkan rencana multidekade untuk "mengosongkan diri", katanya lebih lanjut. "Sebagian besar kota pesisir kita adalah fana. Banyak dari wilayah itu akan lenyap ditelan oleh banjir rob dalam jangka panjang."

BETAHITA| DW