Aktivitas Operasi PT TPL Dianggap Ilegal

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Kamis, 15 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Hasil investigasi sejumlah lembaga masyarakat sipil menemukan seabrek pelanggaran aktivitas operasi PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Sumatera Utara (Sumut). Mulai dari operasi kegiatan yang ilegal, melanggar peraturan perundang-undangan, merusak lingkungan hidup, menebang hutan alam, hingga merampas hutan dan tanah masyarakat adat.

Hal tersebut terurai dalam laporan hasil investigasi berjudul Kuasa Ilegal PT TPL di Kawasan Danau Toba, yang disusun Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak dan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari).

Laporan yang dipublikasikan pada Rabu (14/7/2021) itu menyebutkan, selain pemantauan lapangan, investigasi juga dilakukan dengan metode analisis Geographic Information System (GIS) pada Peta Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara SK NO.579/ MENHUT-II/2014, SK 307 Addendum ke-8 Areal kerja PT TPL. Pemantauan dan analisis ini dilakukan pada 4 sektor kerja PT TPL, yakni Sektor Habinsaran, Sektor Tele, Sektor Sidimpuan dan Sektor Raja. Berikut ini simpulan hasil temuannya:

Pertama, areal kerja atau konsesi PT TPL ilegal. Areal izin PT TPL yang berada di atas Kawasan Hutan dengan Fungsi Lindung (HL), Fungsi Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK), dan Areal Penggunaan Lain (APL) tidak dibenarkan merujuk pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Tampak dari ketinggian salah satu lokasi penebangan hutan alam untuk penamaman eukaliptus di areal kerja PT TPL, di Sektor Aek Nauli, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara./Foto: Betahita/Auriga Nusantara

Hasil overlay atau tumpang susun GIS yang dilakukan tim Jikalahari mencatat kawasan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau IUPHHK-HT PT TPL dengan fungsi kawasan hutan menunjukkan areal PT TPL berada dalam kawasan Hutan Lindung (HL) seluas 11.582,22 hektare, Hutan Produksi Tetap (HP) 122.368,91 hektare, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 12.017,43 hektare, HPK 1,9 hektare dan APL 21.917,59 hektare.

Dari luas izin atau legalitas PT TPL seluas 188.055 hektare, setidaknya 28 persen atau 52.668,66 hektare adalah ilegal karena berada di atas HL, HPK dan APL.

Kedua, PT TPL melakukan penanaman dalam kawasan HL yang ada di dalam areal izinnya. Areal yang seharusnya menjadi kawasan yang dilindungi, justru diubah PT TPL menjadi areal produksi. Ditemukan adanya penanaman eukaliptus yang berdekatan dengan tanaman hutan alam.

Pada 2021 tim investigasi menemukan bahwa adanya penanaman eukaliptus sekitar 318 meter dari jarak penebangan yang dilakukan pada 2017. Dapat diartikan, tanaman eukaliptus yang ditemukan tim investigasi pada 2021 adalah bekas kayu alam yang ditebang oleh PT TPL.

Areal penebangan hutan alam yang kemudian ditanami eukaliptus ini bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 36 Nomor 12 yang mengubah ketentuan Pasal 82 Ayat 3 Huruf a, b dan c.

Ketiga, PT TPL melakukan penanaman di dalam konsesinya yang berada dalam fungsi APL. Dalam kasus ini PT TPL seharusnya mengajukan enclave untuk mengeluarkan areal dengan fungsi APL dari izin konsesi mereka.

Areal kerja PT TPL yang berstatus APL bertentangan dengan Undang-Undang Kehutanan maupun Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada prinsipnya APL berada di luar kawasan hutan, dan tidak boleh ada izin atau perizinan berusaha kehutanan di APL. Wewenang mengelola APL yang berasal dari kawasan hutan menjadi kewenangan Menteri ATR/BPN.

Keempat, PT TPL memanfaatkan pola Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) untuk menanam eukaliptus di luar izin konsesinya demi memenuhi bahan baku produksi. Pola PKR ini memanfaatkan areal milik masyarakat yang dikerjasamakan dengan PT TPL untuk ditanami eukaliptus.

Dalam kehutanan dikenal pola kerja sama antara masyarakat dengan korporasi berupa Kemitraan Kehutanan merujuk pada Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) 39 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat melalui Kemitraan Kehutanan. Lalu, pada 2016 terbit pula Permen LHK Nomor P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial jo Permen LHK Nomor P.9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Sehingga bila disimpulkan, kerja sama PT TPL dengan pola PKR dalam areal konsesinya bertentangan dengan aturan kehutanan.

Kelima, PT TPL menebang kayu hutan alam jenis kulim dan kempas di dalam konsesinya. Ditemukan aktifitas pembukaan hutan alam, termasuk jenis kulim dan kempas, yang diperuntukkan untuk areal penanaman bibit eukaliptus baru di konsesi PT TPL sektor Habinsaran.

Jenis kayu kulim dan kempas termasuk dalam tanaman yang dilindungi sesuai dengan PermenLHK Nomor P.20 Tahun 2018 jo. PermenLHK Nomor P.106 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PermenLHK Nomor P.20 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, yang mana kempas dikeluarkan dari jenis tumbuhan yang dilindungi.

Keenam, tanpa pengukuhan kawasan hutan legalitas yang ilegal dan tidak legitimate atau tidak diakui masyarakat adat seharusnya segera dikoreksi oleh pemerintah, berupa melakukan pengukuhan kawasan hutan. Konsesi PT TPL diberikan berdasar Peta TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) 1982. Peta TGHK ini sifatnya memberikan arahan alokasi kawasan hutan dan fungsinya.

Statusnya dalam konteks tata perencanaan kehutanan berupa ‘penunjukan’ yang kemudian ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri. Peta TGHK 1982 belum masuk ke status penunjukan.

Ketujuh, banyak fasilitas umum seperti kantor pemerintah, pemakaman, perkampungan, jalan lintas, kebun karet, sawit, kopi hingga sawah yang berada dalam areal izin PT TPL di Sektor Padang Sidimpuan. Sebagian besar areal izin PT TPL di Sektor Padang Sidimpuan telah ditempati masyarakat.

Izin yang berada di Desa Pangkal Dolok Lama, Kecamatan Batang Onang ini sebagian besar telah menjadi kawasan desa yang di atasnya terdapat kebun masyarakat, fasilitas umum, Jalan Lintas Sosopan, pemukiman masyarakat, yang mana hampir seluruh wilayah Kecamatan Batang Onang dan seluruh wilayah Desa Pangkal Dolok Lama berada dalam areal aizin PT TPL sektor Padang Sidempuan. Bahkan Kantor Bupati Tapanuli Selatan berada di dalam areal izin yang statusnya adalah APL.

Temuan investigasi, PT TPL bekerja secara tidak sah (ilegal), berada dan beroperasi di atas kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung, HPK dan APL. Selain itu, pemberian izin PT TPL yang merujuk pada TGHK dijalankan dengan proses ketidakpatuhan terhadap amanat pengukuhan kawasan hutan, karena tidak melibatkan masyarakat adat di Kawasan Danau Toba.

Hal tersebut bertentangan dengan peraturan Kehutanan dan Agraria di mana PT TPL seharusnya dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum yang berakibat pada tindakan pidana dan pencabutan perizinan berusaha.

"Dampak dari legalitas yang ilegal sebabkan konflik dan kekerasan terhadap masyarakat adat, lingkungan hidup rusak, ekonomi masyarakat hancur, potensi ledakan konflik horizontal, hingga pembiayaan yang tidak layak diberikan pada P TPL. Tentunya temuan investigasi bersama KSPPM dan Aman Tano Batak menjadi fakta kuat agar pemerintah dapat mengevaluasi izin konsesi PT TPL, bahkan menutupnya," kata Made Ali, Koordinator Jikalahari, melalui siaran pers yang dirilis, Rabu (14/7/2021).

Konflik sosial serta intimidasi dan kekerasan yang dilakukan PT TPL terhadap masyarakat adat juga begitu besar. Sepanjang 2020-2021 saja, setidaknya terjadi 8 kali konflik yang menyebabkan korban 12 orang dan 9 orang dilaporkan ke kepolisian. Selain itu, PT TPL juga mengintimidasi 3 komunitas huta atau kampung untuk tidak bercocok tanam di atas wilayah adatnya dan juga merusak tanamannya.

Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Wilayah Tano Batak, Roganda Simanjuntak menyebutkan, kehadiran PT TPL tak hanya menyebabkan konflik dan kekerasan terhadap masyarakat. Penghancuran hutan alam menjadi tanaman eukaliptus juga berdampak pada kerusakan lingkungan. Tidak hanya untuk masyarakat sebagai pemilik hutan, tapi juga berdampak ke daerah lainnya.

Seperti yang terjadi di Huta Napa, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara. Setelah penghancuran hutan yang dilakukan oleh PT TPL menyebabkan air di Aek Nalas, yang merupakan sumber air minum masyarakat di desa dan juga Kecamatan Sipahutar, menjadi sering berlumpur dan kuning.

Kasus lain seperti Huta Natinggir, Nagasaribu, dan Natumingka, kerusakan hutan akibat penebangan hutan alam oleh PT TPL berdampak pada sulitnya masyarakat mendapatkan air minum dan irigasi untuk persawahan. Kesulitan air ini kemudian menyebabkan sawah berubah fungsi.

Bukan hanya lingkungan, ekonomi masyarakat adat Batak secara umum juga mengalami penurunan serius. Sebelum kehadiran PT TPL, masyarakat di kawasan Danau Toba hidup dari hasil hutan, berladang, beternak dan bersawah. Namun saat ini, sumber mata pencarian masyarakat adat di wilayah konsesi PT TPL mengalami penurunan.

"PT TPL menghancurkan lingkungan hidup dan memiskinkan masyarakat adat. Karena masyarakat adat batak bergantung pada hutan alam yang dirusak oleh PT TPL," kata Roganda.

Sejumlah lembaga masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Gerak Tutup TPL merekomendasikan pemerintah untuk mencabut izin PT TPL di Kawasan Danau Toba dan segera lakukan pengukuhan kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat adat dalam semua proses pengukuhan kawasan hutan.

"Kita meminta Menteri LHK untuk tegas menyelesaikan persoalan PT TPL di Tanah Batak. Sangat banyak kerusakan lingkungan dan kerugian bagi masyarakat adat batak yang disebabkan oleh operasional PT TPL," kata Rocky Pasaribu, Koordinator Studi dan Advokasi KSPPM.