Hutan Amazon Kini Lepas Emisi Lebih Banyak dari Yang Diserapnya

Penulis : Tim Betahita

Hutan

Jumat, 16 Juli 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Hutan hujan Amazon saat ini melepaskan lebih banyak emisi karbon dioksida dari yang mampu diserapnya. Temuan ini dikonfirmasi oleh para ilmuwan untuk pertama kalinya, Kamis, 15 Juli 2021.

Penelitian itu mengungkap, jumlah emisi yang dilepaskan mencapai 1 miliar ton karbon dioksida per tahun. Sebelumnya hutan raksasa itu menjadi penyerap karbon, yang menyerap emisi pendorong krisis iklim. Namun, krisis iklim kini justru mempercepat kebalikannya.

Sebagian besar emisi disebabkan oleh kebakaran, banyak diantaranya disengaja untuk membuka lahan untuk produksi daging sapi dan kedelai. Namun, ilmuwan mengatakan, tanpa kebakaran pun, suhu yang lebih panas dan kekeringan menjadikan wilayah tenggara Amazon menjadi sumber karbon dioksida, bukan lagi penyerap karbon.

Sejak 1960, pohon dan tanaman lainnya menyerap seperempat dari semua emisi bahan bakar fosil. Sebagai hutan tropis terbesar, Amazon memiliki peran utama. Kehilangan kekuatan menangkap CO2 adalah peringatan nyata bahwa pengurangan emisi dari bahan bakar fosil lebih mendesak dari sebelumnya, ungkap para ilmuwan. 

Kebakaran hutan Amazon di wilayah negara bagian Mato Grosso, Brazil, pada 7-10 Juli, 2020. Foto: Christian Braga/Greenpeace Brazil

Penelitian itu menggunakan pesawat kecil untuk mengukur tingkat CO2 hingga 4.500 meter di atas hutan selama satu dekade terakhir, menunjukkan bagaimana seluruh Amazon telah berubah. 

Studi sebelumnya juga mengindikasikan Amazon perlahan menjadi sumber CO2 berdasarkan data satelit, yang dapat terhambat oleh tutupan awan, atau pengukuran tanah dari pohon, yang hanya dapat menutupi sebagian kecil dari wilayah Amazon yang luas.

Para ilmuwan mengatakan temuan bahwa Amazon melepaskan karbon tanpa adanya kebakaran hutan sangat mengkhawatirkan.  Menurut mereka, hal tersebut disebabkan oleh deforestasi dan kebakaran tahunan yang membuat wilayah hutan lainnya menjadi lebih rentan pada tahun berikutnya.

Pepohonan menghasilkan sebagian besar hujan di kawasan Amazon. Maka jika jumlah vegetasi lebih sedikit, artinya kekeringan parah dan gelombang panas akan memicu lebih banyak kebakaran kematian tanaman. 

Beberapa tahun terakhir, Presiden Brazil Jair Bolsonaro mendapat kritik keras karena kebijakan dan pernyataan publik yang mendorong perluasan deforestasi, yang melonjak ke level tertinggi selama 12 tahun. Sementara itu, kebakaran mencapai level tertinggi pada Juni sejak 2007.

Luciana Gatti, peneliti di Institut untuk Penelitian Luar Angka di Brazil sekaligus kepala penelitian tersebut, mengatakan: “Kabar buruk pertama adalah bahwa pembakaran hutan menghasilkan sekitar tiga kali lebih banyak CO2 dari yang diserap hutan,” katanya seperti dikutip The Guardian, Kamis, 15 Juli 2021.

“Kabar buruk kedua adalah bahwa tempat-tempat di mana terjadi 30% atau lebih deforestasi menunjukkan emisi karbon 10 kali lebih tinggi daripada di mana deforestasi lebih rendah 20%,” katanya.

Menurut Gatti, berkurangnya tanaman di Amazon menyebabkan frekuensi hujan berkurang dan suhu yang lebih panas. Akibatnya, musim kering pun menjadi lebih parah bagi ekosistem hutan yang tersisa. “Ini semacam lingkaran setan yang membuat hutan lebih rentan terhadap kebakaran yang tidak terkendali,” jelas Gatti.

Menurut Gatti, harus ada kesepakatan global untuk menyelamatkan Amazon. Hal ini karena sebagian besar kayu, daging sapi, dan kedelai dari Amazon diekspor dari Brazil. 

Penelitian itu diterbitkan dalam jurnal Nature, melibatkan pengambilan 600 profil vertikal CO2 dan karbon monoksida, yang dihasilkan oleh kebakaran, di empat lokasi Amazon Brazil dalam rentang waktu 2010-2018. Peneliti menemukan bahwa kebakaran menghasilkan 1,5 miliar ton CO2 per tahun; dan hanya 0,5 miliar ton dihilangkan oleh pertumbuhan hutan. Sementara itu, 1 miliar ton yang tersisa terperangkap di atmosfer tersebut setara dengan emisi tahunan Jepang, pencemar terbesar kelima di dunia.

“Bayangkan jika kita bisa mencegah kebakaran di Amazon—hutan itu akan menjadi penyerap karbon,” kata Gatti. “Namun kita malah melakukan sebaliknya, yakni mempercepat perubahan iklim.”

“Bagian terburuk adalah kita tidak menggunakan sains dalam pengambilan keputusan.”