Aliansi Akademisi: Kembalikan Hak Masyarakat Adat Laman Kinipan

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Sabtu, 24 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Belasan lembaga atau organisasi dan pusat studi, serta puluhan peneliti dan akademisi hukum berasal dari sejumlah perguruan tinggi yang tergabung dalam Aliansi Akademisi untuk Kinipan menyatakan, Negara harus mengakui sepenuhnya Masyarakat Hukum Adat (MHA) Laman Kinipan beserta hak-hak tradisionalnya.

Pernyataan sikap para akademisi ini disampaikan sebagai respon atas ketidakjelasan kelanjutan nasib MHA Laman Kinipan yang sudah melakukan berbagai cara demi mendapatkan pengakuan dan perlindungan eksistensinya. Hal tersebut disampaikan dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Kamis (22/7/2021) kemarin.

Ketua Komunitas Laman Kinipan, Effendi Buhing yang hadir pada konferensi pers kemarin menjelaskan, beberapa waktu lalu pihaknya sudah mengajukan permohonan pengakuan dan perlindungan MHA Laman Kinipan kepada Panitia MHA Kabupaten Lamandau, namun permohonan tersebut ditolak. Dengan alasan syarat-syarat belum lengkap.

"Tapi yang kami sayangkan sampai sekarang pemerintah ini tidak menjelaskan apa syarat-syarat yang kurang dan harus kami lengkapi," kata Effendi Buhing, Kamis (22/7/2021).

Sejumlah masyarakat adat Desa Kinipan berjalan di atas hutan yang telah gundul akibat pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit PT SML. Masyarakat adat Kinipan menganggap lahan tersebut sebagai wilayah adatnya./Foto: Raden Betahita.id

Sama halnya dengan kelanjutan pengakuan MHA Laman Kinipan. Effendi mengungkapkan, nasib kasus hukum yang menjerat dirinya dan kelima warga MHA Laman Kinipan lainnya pun sampai kini tidak jelas.

Para akademisi berpendapat, secara prinsip, Negara mengakui kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang menyebutkan bahwa, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Dalam memandang ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tersebut, MK dalam putusan Nomor 35/PUU-X/2012 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menguraikan bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap MHA, adalah hal penting dan fundamental yang dimandatkan dalam konstitusi. MHA adalah subjek hukum, dan sebagai subjek hukum di dalam suatu masyarakat yang telah menegara, maka masyarakat hukum adat haruslah mendapat perhatian sebagaimana subjek hukum yang lain ketika hukum hendak mengatur, terutama mengatur dalam rangka pengalokasian sumber-sumber kehidupan.

Namun perjuangan untuk memperoleh pengakuan Negara melalui Pemerintah, yang dilakukan oleh Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan selama bertahun-tahun, hingga kini belum membuahkan hasil. Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan, yang terletak di Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah ini, telah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan pengakuan Negara.

"Mulai dari upaya mengidentifkasi wilayah adatnya, pengajuan permohonan pengakuan wilayah adat dan hak-hak tradisionalnya kepada Pemerintah Daerah, hingga upaya gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)," kata Aryo Nugroho Waluyo, pendamping hukum MHA Laman Kinipan, dari Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya, Kamis (22/7/2021).

Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan memiliki wilayah adat seluas sekitar 16.132 hektare. Berdasarkan pembagian ruang menurut adat setempat, kualifikasi ruang Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan dibagi atas hutan adat/rima, pemukiman (laman), dan penyaduan, yang terdiri dari dukuh, babas (bekas ladang), kobun/perkebunan, dan huma.

Akan tetapi, perjuangan MHA Laman Kinipan untuk memperoleh pengakuan terhadap wilayah adatnya, tidaklah mudah. Bahkan semakin sulit, terlebih dengan masuknya perusahaan sawit PT. Sawit Mandiri Lestari (PT SML). Sejatinya, MHA Laman Kinipan menolak keberadaan perusahaan tersebut. Namun Pemerintah bergeming, PT SML tetap diberikan izin usaha dan hak atas tanah untuk beroperasi, kendatipun Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan secara tegas menolak.

PT SML mengantongi surat keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Izin Pelepasan Hutan Seluas 19.091 hektare, dan perusahaan ini juga dizinkan melakukan kegiatan usaha di lahan seluas sekitar 9.435 hektare oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah, sejak PT SML beroperasi antara 2012 hingga 2020, luas wilayah adat MHA Laman Kinipan yang dicaplok oleh perusahaan seluas 4.541,12 hektare. Yang mana luasan tersebut didapatkan dari hasil pemetaan dengan mengunakan citra satelit dengan rincian seluas 2.625,18 hektare di antaranya sudah berupa Hak Guna Usaha (HGU) PT SML, dan 1.857,57 hektare hutan adat sudah dibabat untuk pembukaan lahan.

Izin usaha dan hak atas tanah PT. SML, yang diklaim MHA Laman Kinipan, masuk ke dalam wilayah adatnya, jelas memicu konflik. Bahkan konflik ini berujung kepada tindakan kriminalisasi terhadap MHA Laman Kinipan. Tercatat 6 orang MHA Laman Kinipan yang ditangkap dan ditahan oleh aparat kepolisian. Pada 16 Agustus 2020, Riswan, warga MHA Laman Kinipan, yang juga sekaligus merupakan Kaur Pemerintahan Desa Kinipan, ditangkap dan ditahan aparat kepolisian, menyusul 4 warga MHA Laman Kinipan lainnya yang sebelumnya juga ditahan oleh aparat kepolisian Polda Kalimantan Tengah.

"Pada 26 Agustus 2020, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan, Effendi Buhing, ditangkap secara paksa oleh personil Polda Kalimantan Tengah, di rumahnya di Desa Kinipan. Penangkapan dan penahanan MHA Laman Kinipan yang memperjuangkan wilayah adatnya, jelas merupakan bentuk pengingkaran terhadap hak-hak tradisonal MHA," kata Aryo.

Selama ini, pemanfaatan sumber daya alam, cenderung hanya menjadi monopoli antara pemerintah dan pemodal saja. Sementara peran warga negara, khususnya MHA, tampak seperti dipinggirkan. Dalam putusan MK Nomor 122/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, MK memberikan penjelasan mengenai relasi kontrol antara pelaku usaha dan masyarakat. MK berpandangan bahwa, musyawarah yang dilakukan antara pelaku usaha perkebunan dengan MHA dilakukan dengan posisi setara dan memberikan sepenuhnya hak MHA untuk menolak penyerahan jika tidak terdapat kesepakatan.

"Artinya, pelaku usaha, meski mendapat lampu hijau melalui perizinan yang diberikan oleh pemerintah, tetapi warga negara tetap punya hak untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan terhadap penyerahan tanahnya," tambah Rina Mardiana, Kepala Pusat Studi Agraria, Fakultas Ekologi Manusia Institute Pertanian Bogor (IPB).

Para akademisi sepakat bahwa Negara dan pemodal seharusnya mengakui keberadaan MHA berserta hak-hak tradisionalnya, kendatipun belum mendapatkan pengakuan secara formil sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Karena itu, upaya kriminalisasi terhadap MHA yang menduduki tanah demi kepentingan adatnya, adalah pelanggaran atas hak tradisional MHA.

Dalam Putusan MK Nomor 55/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Mahkamah berpendapat, Dengan demikian penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang a quo tidak tepat jika hal tersebut dikenakan terhadap orang yang menduduki tanah berdasarkan hukum adat karena timbulnya hak-hak adat adalah atas dasar ipso facto.

Artinya seseorang membuka, mengerjakan dan memanen hasilnya atas kenyataan bahwa ia telah mengerjakan tanah tersebut secara intensif dalam waktu yang lama, sehingga hubungan seseorang dengan tanah semakin intensif, sebaliknya hubungan tanah dengan hak ulayat semakin lemah.

"Pun demikian dengan belum adanya pengakuan formil Masyarakat Hukum Adat dari Negara melalui Pemerintah, tidak bisa dijadikan dasar bagi Pemerintah dan Pemodal untuk beroperasi di dalam wilayah adat Masyarakat Hukum Adat," masih kata Rina.

Berkaitan dengan hal tersebut, MK berpendapat, sebelum dilakukan penelitian untuk memastikan keberadaan MHA dengan batas wilayahnya yang jelas sebagaimana dimaksud oleh Penjelasan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Perkebunan, sulit menentukan siapakah yang melanggar Pasal 21 dan dikenakan pidana Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkebunan.

Oleh karena itu, sepanjang penelitian untuk memastikan keberadaan MHA dengan batas wilayahnya tersebut belum dilakukan, maka seharusnya Negara tidak memberikan izin bagi para pemodal untuk beroperasi dalam wilayah yang diklaim oleh MHA, sebagai wilayah adatnya. Termasuk siapapun tidak memiliki dasar yang memadai untuk melakukan upaya krimininalisasi terhadap MHA, yang berjuang mempertahankan wilayah adatnya tersebut.

"Oleh karena itu, kami yang tergabung dalam Aliansi Akademisi Untuk Kinipan, menyatakan sikap sebagai berikut. Satu, mendesak Negara, khususnya pemerintah untuk menjalankan kewajiban konstitusional dengan memberikan pengakuan secara penuh kepada Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan. Negara harus mengubah cara pandang formalistik terhadap pengakuan masyarakat hukum adat. Sebab kendatipun belum ada pengakuan secara formal, tidak berarti menghilangkan eksistensi atau keberadaan masyarakat hukum adat," lanjut Dhia Al Uyun, juru bicara Aliansi Akademi untuk Kinipan lainnya, dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Kedua, mendesak Panitia MHA Laman Kinipan, serta Pemerintah Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, untuk bekerja dengan integritas dan profesional mendukung percepatan proses identifikasi, verifikasi, validasi, serta pengukuhan Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan. Agar setiap tahapan dilakukan secara partisipatif, dengan melibatkan MHA Laman Kinipan secara penuh.

Ketiga, menghentikan segala bentuk intimidasi, politik adu domba antarmasyarakat, maupun kriminalisasi terhadap MHA Laman Kinipan yang memperjuangkan hak-hak tradisionalnya. Keempat, Menjamin terpenuhinya batas-batas wilayah yang menjadi hak masyarakat hukum adat Laman Kinipan. Kelima, membatalkan segala bentuk perizinan yang mengganggu, melanggar, dan mengabaikan upaya pengakuan batas wilayah Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan.

"Enam, memberikan akses yang seluas-luasnya kepada Masyarakat Hukum Adat Kinipan terhadap hak-hak adat yang melekat secara turut-temurun sebagai bentuk perlindungan, pengakuan dan pemenuhan terhadap hak-hak dasar dan hak asasi manusia pada Masyarakat Hukum Adat Kinipan," tutup Dhia Al Uyun.

Aliansi Akademisi untuk Kinipan sendiri terdiri dari sejumlah lembaga atau organisasi atau pusat studi juga perorangan.

Lembaga/Organisasi/Pusat Studi:

  1. Kaukus Indonesia Untuk Kebebasan Akademik (KIKA)
  2. Constitutional and Administrative Law Society (CALS)
  3. Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI)
  4. Center for Legal Pluralism Studies (CLeP) Fakultas Hukum Universitas Airlangga
  5. PUSaKO FH Unand
  6. Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) FH Universitas Airlangga
  7. Pusat Studi Agraria IPB University
  8. Pusat Bantuan Hukum dan Anti Korupsi Universitas Palangka Raya
  9. Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) FH Unmul
  10. Taman Metajuridika FH Unram
  11. Pusat Studi Hukum Perempuan dan Anak (PuSHPA) FH UNMUL
  12. Pukat FH UGM
  13. Pusat Pengambangan HAM dan Demokrasi (PPHD) Universitas Brawijaya
  14. Lembaga Bantuan Hukum (LBH IKA) Universitas Tadulako
  15. Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Governance (PARANG) Universitas Lambung Mangkurat
  16. Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah Surabaya
  17. Pusat Pengembangan Hukum dan Gender (PPHG) FH Universitas Brawijaya
  18. Lembaga Kajian Hukum dan Korupsi (LuHaK) FH UM Sumbar

Perorangan:

  1. I Ngurah Suryawan (Departemen Politik, FISIP, Universitas Warmadewa, Bali)
  2. Dhia Al Uyun (Fakultas Hukum Universitas Brawijaya)
  3. Herdiansyah Hamzah (Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)
  4. Widodo Dwi Putro (Fak. Hukum Universitas Mataram)
  5. Satria Unggul W.P (Fak. Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya
  6. Feri Amsari (FH Unand)
  7. Bivitri Susanti (STHI Jentera)
  8. Zainal Arifin Mochtar (FH UGM)
  9. Paulus A.Y Dhanarto (FISIP Universitas Palangka Raya)
  10. Rina Mardiana (Fakultas Ekologi Manusia IPB University)
  11. Louise Theresia (Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya)
  12. Herlambang P. Wiratraman (FH Unair)
  13. Haris Retno (FH UNMUL)
  14. Totok Dwi Diantoro (FH UGM)
  15. Yance Arizona (peneliti hak masyarakat adat)
  16. Mirza Satria Buana (FH ULM)
  17. Joeni Arianto Kurniawan (FH Unair)
  18. Yael Stefany (Antropologi Sosial, USU)
  19. Fajlurrahman Jurdi (FH Unhas)
  20. Orin Gusta Andini (FH Unmul)
  21. Alfian (FH Unmul)
  22. Sholihin Bone (FH Unmul)
  23. Wendra Yunaldi (Universitas Muhammadiyah Sumbar)
  24. Bayu Eka Yulian (Fakultas Ekologi IPB)