Bisnis Hasil Hutan Ancam Kelangsungan Hidup Suku Malind di Papua

Penulis : Kennial Laia

Hutan

Selasa, 27 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Warga di Kampung Zanegi, Kabupaten Merauke, Papua, resah lantaran aktivitas perusahaan menebangi hutan di tanah ulayatnya. Warga khawatir dampak yang ditimbulkan menghilangkan hutan dan merusak lingkungan.

“Hutan itu sumber makanan dan kehidupan masyarakat. Kalau hilang, mata pencaharian bisa susah dan kesehatan masyarakat terganggu,” kata tokoh masyarakat Kampung Zanegi, Distrik Animha, Merauke, Bonefasius Gebze dalam keterangan yang diterima Betahita, Senin, 26 Juli 2021.

Menurut Bonefasius, perusahaan bernama PT Selaras Inti Semesta (SIS) aktif melakukan kegiatan dan penebangan pohon tanaman di tanah ulayat Suku Malind di Kampung Zanegi dan Kampung Buepe, Distrik Kaptel, selama 2009-2016.

Sempat stagnan, perusahaan tersebut kembali menebang hutan di wilayah Kampung Zanegi sejak November 2020. Pada Maret 2021, perusahaan itu juga melakukan ekspansi penebangan baru di hutan alam di wilayah Kampung Wapeko, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke.

Perempuan adat Suku Malind bersama anaknya di Kampung Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Istimewa

Sejak November 2020 hingga saat ini, perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Selaras Inti Semesta (SIS), aktif melakukan kegiatan dan penebangan pohon tanaman di wilayah Kampung Zanegi.

Masyarakat kampung Zanegi menandatangani perjanjian dengan PT Selaras Inti Semesta pada 12 Desember 2009. Perjanjian itu mencakup kompensasi sebesar Rp2.000 per kubik untuk kayu hasil panen dari hutan alam. Sementara itu kompensasi Rp1.500 per kubik untuk kayu dari dalam hutan tanaman.

Dalam perjanjian antara PT. SIS dan masyarakat Zanegi yang ditandatangani pada 12 Desember 2009, disebutkan pada pasal 5 ayat (2) kompensasi atas kayu hasil panen adalah: (1) Rp. 2000 setiap kubik untuk kayu yang berasal dari hutan alam; (2) Rp. 1500 setiap kubik untuk kayu yang berasal dari hutan tanaman.

Masyarakat meminta perusahaan menaikkan kompensasi pemanfaatan kayu dan sewa tanah. Masyarakat juga mengajukan keluhan penggunaan kayu untuk energi biomassa pembangkit listrik, namun bukan untuk Kampung Zanegi.

Aktivitas perusahaan hutan tanaman industri PT Selaras Inti Semestar di Kampung Zanegi, Kabupaten Merauke, Papua. Foto: Istimewa

“Saat ini, perusahaan PT. SIS memberikan uang kompensasi sebesar Rp. 2.500 per kubik. Jumlah ini sama dengan kompensasi tahun 2010 dan kehidupan ekonomi masyarakat tidak ada perkembangan, padahal hutan sudah rusak”, jelas Vitalis Gebze dari Kampung Zanegi.

Menurut Vitalis, PT SIS berdalih bahwa kompensasi sudah sesuai yang diatur dalam Peraturan Gubernur Papua Nomor 64 Tahun 2012 tanggal 31 Desember 2012 tentang Standar Kompensasi atas Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Kayu yang Dipungut pada Areal Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Investigasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dan SKP Keuskupan Agung Merauke, menemukan masyarakat adat setempat belum sepenuhnya memahami dan menyepakati isi perjanjian.

Menurut investigasi tersebut, masyarakat menerima informasi dan konsultasi yang memadai dan jujur tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) yang memuat antara lain aspek kelestarian hutan, kelestarian usaha, keseimbangan lingkungan dan pembangunan sosial ekonomi masyarakat setempat.

Bentang hutan di wilayah konsesi perusahaan di Kampung Zanegi, Kabupaten Merauke, Papua. Foto: Istimewa

Yayasan Pusaka mengatakan, berdasarkan informasi Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM RI 2013, diketahui perusahaan HTI PT Selaras Inti Semesta merupakan Perusahaan Modal Asing yang terhubung dengan Medco Group.

PT SIS mendapat izin dari Menteri Kehutanan dengan  SK.18/MENHUT-II/2009 pada 22 Januari 2009, dengan luas konsesi 169.400 hektare, hampir sama dengan luas Kabupaten Bandung, Jawa Barat (176.796 ha). Waktu izin beroperasi perusahaan selama 60 tahun dan dapat diperpanjang 35 tahun.

Investigasi tersebut menemukan bahwa bisnis komersialisasi hasil hutan berpotensi mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat Suku Malid dan merusak lingkungan.

Franky Samperante dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengatakan, pemerintah daerah maupun pusat harus mengevaluasi dan mengaudit keberadaan dan izin perusahaan PT. Selaras Inti Semesta, maupun perusahaan pengguna hasil hutan industri, seperti PT. Merauke Narada Energi dan lainnya.

“Gubernur Provinsi Papua harus meninjau kembali Peraturan Gubernur Papua Nomor 64 Tahun 2012, yang berpotensi mempercepat penghancuran hutan Papua dan angka bagi hasil yang tidak adil, tidak berpihak pada masyarakat adat setempat” jelas Franky Samperante, aktivis Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Menurut Franky, pemerintah kabupaten Merauke harus segera membuat peraturan yang melindungi dan menghormati keberadaan dan hak- hak masyarakat adat, serta memberdayakan masyarakat adat dengan berbagai program berbasiskan pengetahuan inovatif setempat.

Okto Waken, aktivis SKP Keuskupan Agung Merauke, mengatakan perusahaan harus konsisten dengan isi perjanjian, termasuk melindungi tempat penting bagi masyarakat seperti tempat keramat, jalur leluhur, tempat pelestarian adat, dusun sagu, dan hutan berburu.

“Perusahaan PT SIS wajib menghormati hak-hak masyarakat adat Malind setempat, termasuk menerima sikap keputusan masyarakat yang tidak menghendaki hutan adat mereka digusur dan digunakan untuk kepentingan perusahaan,” pungkas Okto.