Akademisi: Konversi Mangrove Dimodali Investor Luar Kota

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Jumat, 30 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Akademisi Universitas Indonesia Suraya Abdulwahab Afiff mengatakan, mayoritas konversi hutan dan lahan mangrove tidak disebabkan oleh masyarakat. Ada pemodal atau investor yang berasal dari luar kota.

“Saya tidak percaya ada masyarakat yang begitu antusias merusak (mangrove). Ketika mereka tersingkir, dan satu-satunya jalan adalah bahwa mereka harus (membuka lahan)… Jadi seperti itu,” kata Suraya dalam diskusi virtual, Kamis, 29 Juli 2021.

“Coba tanyakan ke masyarakat, investasi itu justru orang luar atau orang kota. Dan masyarakat lokal yang banyak menjadi pekerja,” jelasnya.

Suraya mengatakan, masyarakat setempat memiliki peran vital dalam menjaga keberlangsungan ekosistem mangrove. Pasalnya, mangrove memiliki peran besar sebagai sumber pangan dan protein, serta menahan laju erosi pantai. 

Ekosistem hutan bakau. Foto: KKP.

Selain itu, tumbuhan tersebut juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan dapat membuat masyarakat berdaya jika dengan edukasi dan pengelolaan yang baik.  

“Tapi dalam valuasi kapitalisme, nilainya diukur dengan berapa besar wilayah itu punya sumbangan terhadap ekonomi yang lebih besar, bukan ekonomi masyarakat,” jelasnya.

Namun demikian, masyarakat tetap memiliki peran penting dalam menjaga mangrove. Untuk diketahui, salah satu manfaat mangrove adalah sebagai carbon sink, karena mampu menyimpan lima kali karbon lebih banyak per hektare dibandingkan dengan hutan tropis dataran tinggi.

Menurut penelitian CIFOR, mangrove Indonesia menyimpan 3,14 miliar metrik ton karbon (PgC) atau sepertiga dari stok karbon pesisir global. Fakta ini menjadikan Indonesia punya peluang dan peran dalam mitigasi perubahan iklim.

Masyarakat pesisir memiliki kedekatan dengan ekosistem seperti mangrove. Ketika sebuah kawasan penting untuk penghidupan masyarakat, masyarakat pasti mau diajak dalam upaya pelestarian.

“Syaratnya berikan mereka peran untuk mengelola. Jangan larang. Tetapi edukasi soal bagaimana pemanfaatan yang baik dan tidak merusak,” pungkas Suraya.