TIM 11 Ajak Tutup TPL Tunggu Presiden Jokowi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Agraria

Sabtu, 31 Juli 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Misi sebelas orang yang menamakan diri sebagai TIM (Tulus Ikhlas Militan) 11 Ajak Tutup TPL (Toba Pulp Lestari) untuk bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, dengan berjalan kaki dari Kawasan Danau Toba, Sumatera Utara, hampir selesai. Meski sudah tiba di Jakarta sejak Selasa (27/7/2021) lalu, namun Togu Simorangkir dan 10 orang lainnya tersebut tidak bisa segera menuntaskan perjalanan panjangnya. Lantaran, masih menunggu kesediaan Presiden Jokowi untuk bertemu.

TIM 11 Ajak Tutup TPL sendiri terdiri dari Togu Simorangkir (aktivis lingkungan sekaligus pegiat literasi), Christian Gultom (petani), Anita Marta Hutagalung (Ibu Rumah Tangga), Irwandi Sirait (tukang jahit dan disabilitas), Agustina Pandiangan (guru honor dan relawan Rumah Baca), Lambok Siregar (tukang jagal Lapo Larisma Muara), Yman Munthe (staf Pemerintah Desa Tongging), Erwin Hutabarat (sopir mobil) Jevri Manik (petugas medis), Ferry Sihombing (tukang bengkel) dan Bumi Simorangkir (anak Togu Simorangkir yang masih duduk di kelas 3 sekolah dasar).

Untuk bisa menyelesaikan misi tersebut, TIM 11 harus berjalan kaki kurang lebih sekitar 1.700 kilometer (km), dari Balige, Kabupaten Toba menuju Istana Negara, Jakarta. Mereka memulai aksi luar biasa itu pada 14 Juni 2021 lalu dari Makam Pahwalan Nasional Sisingamangaraja XII di Soposurung, Balige. Setelah menghabiskan waktu 44 hari akhirnya kesebelas orang tersebut tiba di Jakarta, Selasa lalu.

Togu Simorangkir, pencetus atau inisiator aksi jalan kaki Toba-Jakarta mengungkapkan, aksi Jalan Kaki Ajak Tutup TPL TIM 11 ini murni dilakukan dengan tulus dan tanpa bayaran. Meskipun dalam perjalanan ada saja warga yang memberikan sumbangan, baik berupa makanan, minuman, juga uang dan lain-lain. Tak sedikit pula kawan atau kenalan yang menanyakan nomor rekening banknya untuk memberikan sumbangan, namun Togu enggan memberinya.

Togu Simorangkir (kaos hitam membawa bendera Merah Putih) dan 4 peserta jalan kaki TIM 11 Ajak Tutup TPL menyempatkan berfoto di tengah perjalanannya./Foto: Facebook Togu Simorangkir

"Bukannya sombong. Tapi karena aksi ini dilakukan bukan untuk penggalangan dana. Aksi ini hanya untuk satu tujuan, kelestarian kawasan Danau Toba," kata Togu dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Jumat (30/7/2021).

Togu melanjutkan, misi TIM 11 masih belum selesai. Mereka masih harus berjalan kaki sekitar 8 km lagi ke Istana Negara, dari Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk bisa menyelesaikan misi itu. Hingga kini pihaknya masih menunggu kabar dari Istana Negara untuk bisa bertemu Presiden Jokowi dan dapat menyampaikan secara langsung aspirasi mereka kepada Presiden, untuk mengambil tindakan tegas menutup PT TPL.

"Kami masih menunggu kabar dari Istana untuk menemui kami dan masih ada 8 kilometer lagi perjalanan perjuangan kami menuju Istana Negara. Sudah ada tawaran hanya tiga orang saja yang bertemu dengan Presiden. Saya menolak. Saya katakan kami 11 orang ditambah Aliansi Gerak TUTUP TPL yang akan bertemu Presiden."

Togu mengakui, aksi jalan kaki ajak tutup TPL ini memang ditujukan untuk mencari perhatian publik. Namun bukan untuk ketenaran mereka yang melakukan aksi ini. Melainkan untuk beragam permasalahan berkaitan dengan PT TPL, yang keberadaanya lebih dari 30 tahun terakhir di Sumatera Utara telah mengakibatkan banyak persoalan bagi masyarakat dan kerusakan lingkungan.

"Visinya adalah kelestarian Danau Toba untuk kesejahteraan generasi mendatang. Misinya, mencari perhatian publik, kampanye dan penyadaran bahwa Danau Toba dan Tano Batak sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja."

Peserta aksi jalan kaki ajak tutup TPL TIM 11 lainnya, Anita Marta Hutagalung menuturkan, alasan dirinya ikut dalam aksi tersebut adalah karena batinnya benar-benar tersentuh oleh beratnya perjuangan yang dilakukan masyarakat adat melawan PT TPL. Terutama perjuangan yang dilakukan sosok seorang perempuan tua, yang karena ketidakberdayaannya sampai melepas pakaiannya saat berhadapan dengan PT TPL.

"Tapi yang membuat saya selalu bersemangat untuk terus berjalan kaki adalah teriakan Oni (panggilan akrab Anita). Ada saja warga di tempat-tempat yang kami lewati yang berteriak Oni. Mendengar teriakan itu membuat rasa capek saya hilang," kata Anita yang mengaku hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa.

Oni, sapaan akrab Anita, mengatakan, sejak Togu Simorangkir mencetuskan ide untuk berjalan kaki dari Toba ke Jakarta di media sosial sekitar dua bulan lalu, dirinya langsung bertekad untuk ikut serta dalam aksi itu dan menjalin komunikasi dengan Togu. Beruntung tekadnya tersebut sama sekali tidak mendapat penolakan dari anak-anak dan keluarga. Meski begitu, Anita mengaku harus menjalani latihan khusus untuk terbiasa berjalan kaki, karena tidak ingin dirinya menjadi beban bagi orang lain dalam perjalanan.

Selain TIM 11, terdapat pula rombongan perwakilan masyarakat adat Tano Batak lain yang juga tiba di Jakarta beberapa hari lalu. Mereka datang ke Jakarta dengan niat yang sama. Yakni menyampaikan secara langsung aspirasinya kepada Presiden Jokowi untuk menutup PT TPL.

Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi dalam kesempatan itu mengatakan, TIM 11 adalah bagian dari Aliansi Gerak Tutup TPL. Aksi jalan kaki TIM 11 ini menurutnya adalah momentum untuk membangun gerakan masyarakat sipil yang lebih luas. Pihaknya akan terus mendukung TIM 11 hingga Presiden Jokowi bersedia menerima dan bertemu.

"Kami melihat bahwa Presiden harus mendengar langsung dari rakyatnya tentang apa yang sebenarnya dilakukan TPL di sana, karena sudah banyak surat dan audiensi yang kami lakukan pada lembaga negara, sehingga jalan untuk bertemu langsung pada Presiden menjadi jalan baru yang ditempuh. Toba akan lestari tanpa ada PT TPL," kata Delima dalam konferensi pers.

Hal senada disampaikan Roganda Simanjuntak, Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak. Roganda menyebut Aliansi Gerak Tutup TPL terdiri dari masyarakat adat, petani, pegiat lingkungan dan pegiat wisata yang selama ini terancam aktivitas PT TPL, yang selama puluhan tahun merusak kawasan Danau Toba.

"Ini harus segera direspon oleh Presiden Jokowi, jika ingin masyarakat Danau Toba sejahtera maka PT TPL harus ditutup segera. Mendesak Presiden Jokowi untuk menutup PT TPL. Terima kasih atas dukungan pada kami bagi rekan-rekan yang ada di Jakarta," kata Roganda.

Dukungan dari Berbagai Organisasi

Tuntutan penutupan PT TPL juga mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, khususnya dari berbagai organisasi di tingkat nasional. Keberadaaan PT TPL yang telah banyak mengakibatkan perampasan wilayah adat, pencemaran lingkungan, hingga kriminalisasi warga sekitar, dinilai menjadi alasan yang lebih dari cukup untuk menutup perusahaan tersebut.

Dalam sambutannya, Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, aksi TIM 11 Tutup TPL adalah lambang perjuangan masayrakat adat dan cerminan dari apa yang dilakukan oleh masyarakat adat dalam melindungi tanah leluhur. Menurutnya, sebagai anak-anak yang lahir dari sejarah leluhur, tugas masyarakat adat yang paling mulia adalah membela tanah leluhur.

Rukka menyebut, Aksi Tutup TPL ini adalah puncak gunung es. Karena di tengah pandemi Covid-19 PT TPL terus melakukan perampasan wilayah adat. PT TPL, kata Rukka, adalah salah satu dari banyak perusahaan yang sampai saat ini terus melakukan perampasan wilayah adat di seluruh nusantara,

"Dan oleh karenanya pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi penting agar peristiwa-peristiwa serupa tak lagi terulang. Terima kasih kepada Togu Simorangkir, Anita Hutagalung, dan Irwandi Sirait yang telah melakukan perjalanan perjuangannya menutup PT TPL," ujarnya.

Di kesempatan sama, Sekjen Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Dewi Kartika mengatakan, tanah adalah harga diri masyarakat adat. Atas nama KPA, Dewi menyatakan mendukung perjuangan menutup PT TPL.

Karena hal itu juga merupakan amanat reformasi. Yang mana sebelumnya, saat masih bernama PT Inti Indorayon Utama, perusahaan ini sudah pernah ditutup. Oleh karenanya, Dewi mengajak seluruh elemen masyarakat di Indonesia, buruh, tani, nelayan, mahasiswa untuk bersatu mendukung aksi-aksi penutupan PT TPL sebagai bagian dari amanat reformasi.

"Tapi terjadi penghianatan reformasi dengan beroperasinya kembali Indorayon dengan nama PT TPL. Sudah tak terhitung kerugian, kekerasan, kehilangan yang dialami Masyarakat Adat dan masyarakat di kawasan Danau Toba. Negara di tengah situasi krisis berlapis yang dialami oleh masyarakat, pemerintah harus mendengar dan bertindak tegas," kata Dewi.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Nur Hidayati melihat bahwa kerusakan lingkungan, pencemaran, kekerasan, pelanggaran HAM, kriminalisasi oleh PT TPL merupakan potret bagaimana negara mengelola sumber daya alam. Ia beranggapan Presiden Joko Widodo harus mendengarkan suara-suara dari rakyat Tano Batak.

"Tanah dan lingkungan yang selama ini didiami harus bisa diwariskan pada generasi di masa yang akan datang. Kita satu nasib dan sepenanggungan dan kita harus memastikan Presiden mau menerima TIM 11 untuk menyampaikan aspirasinya secara langsung untuk menutup PT TPL. Mari kita satukan langkah untuk memastikan bahwa PT TPL ini akan menjadi sejarah pahit yang tidak akan terulang lagi di Indonesia," ujar Nur Hidayati.

Seruan #TutupTPL

Tuntutan terhadap pencabutan izin operasional pabrik dan konsesi PT TPL kali ini, bukan yang pertama. Perampasan tanah Masyarakat Adat oleh perusahaan yang terhubung dengan Sukanto Tanoto itu, telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade ketika perusahaan pulp (bubur kertas) tersebut masih bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang didirikan pada 26 April 1983.

Awalnya, perusahaan itu memiliki konsesi seluas 269.060 hektare yang tersebar di 11 kabupaten di Sumatera Utara, yaitu Simalungun, Asahan, Toba Samosir, Dairi, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Pakpak Barat, Padang Lawas Utara, dan Humbang Hasundutan, melalui SK MENHUT No. SK.493/Kpts/II/1992 dengan periode izin dari 1 Juni 1992 sampai 31 Mei 2035. Konflik bermula dari lokasi konsesi yang banyak bersinggungan dengan wilayah adat.

Pada era 1990-an, perlawanan besar dari Masyarakat Adat Porsea, Toba, pernah terjadi dan berhasil memaksa penutupan IIU. Tetapi, perusahaan kembali datang dengan nama baru, PT Toba Pulp Lestari (TPL). Pada 2009, perseteruan pecah lagi ketika PT TPL melakukan penebangan secara brutal terhadap pohon-pohon kemenyan dan penanaman ekaliptus di hutan adat yang menjadi ruang hidup sekaligus sumber penghidupan Masyarakat Adat Pandumaan dan Sipituhuta di Pollung, Humbang Hasundutan. Perselisihan itu berujung pada kriminalisasi sejumlah warga.

Belakangan, kemarahan masyarakat adat terulang lagi di Natumingka, Toba pada 18 Mei 2021 saat mereka menghadang sekitar 400 buruh atau petugas keamanan PT TPL yang hendak menerobos wilayah adat yang diklaim sebagai bagian dari konsesi perusahaan. Warga yang kala itu tengah melindungi hutan dan makam leluhur, kemudian dilempari kayu dan batu oleh para pekerja PT TPL. Sedikitnya terdapat 12 warga mengalami luka serius, termasuk para ibu dan lansia.

Kehadiran TPL tidak hanya berdampak serius pada kerusakan lingkungan Kawasan Danau Toba serta kekerasan dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat, tetapi juga menghancurkan kebudayaan Batak dan perekonomian warga yang berprofesi sebagai petani yang menggantungkan hidup dari getah pohon kemenyan di hutan adat dan pasokan air yang bersumber dari hulu Danau Toba, di mana PT TPL membangun pabriknya dan membuang limbah. Keberadaan konsesi di hutan kemenyan juga berdampak pada menurunnya sumber ekonomi masyarakat karena telah banyak pohon kemenyan kami ditebang oleh perusahaan.