Desakan Dunia Bagi Pemerintah Tuk Batalkan Megaproyek di Komodo

Penulis : Kennial Laia

Konservasi

Rabu, 04 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Indonesia diminta untuk menghentikan proyek pariwisata di Taman Nasional Komodo, yang menjadi habitat terakhir satwa endemik langka Komodo, Nusa Tenggara Timur. Hal itu disampaikan oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan (UNESCO) Perserikatan Bangsa-Bangsa. 

Melalui Komite Warisan Dunia UNESCO, organisasi itu mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan semua pembangunan infrastruktur pariwisata di dalam dan sekitar Taman Nasional Komodo yang rentan berdampak pada Nilai Universal Yang Luar Biasa (OUV) wilayah tersebut.

Dokumen bernomor WHC/21/44.COM/7B diunggah disitus resmi UNESCO, terbit usai konvensi daring pada 16-31 Juli 2021. 

Pemerintah Indonesia diminta menyerahkan analisis dampak lingkungan (EIA) untuk dinilai International Union for Conservation of Nature (IUCN) karena dokumen lingkungan sebelumnya dianggap kurang memadai.

Habitat satwa langka komodo disebut terancam akibat pembangunan fasilitas destinasi wisata premium yang sedang berlangsung di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Barat. Foto: Achmad Ariefiandy/Komodo Survival Program

“Kami mendesak negara anggota menunda seluruh proyek infrastruktur pariwisata di dan sekitar properti yang mempunyai potensi berdampak terhadap OUV sampai EIA yang sudah direvisi diserahkan dan dikaji kembali oleh IUCN,” tulis UNESCO.

Beberapa isu yang jadi perhatian UNESCO adalah target peningkatan jumlah kunjungan wisatawan, isu pembangunan tanpa AMDAL lewat kemudahan Undang-Undang Cipta Kerja, perlindungan komodo dengan target turisme massal, serta berkurangnya sepertiga luas habitat alami komodo. 

Hal ini sebelumnya telah disampaikan lewat surat pada Januari dan Maret 2021, namun tidak mendapat tanggapan dari pemerintah. Dalam dokumennya, UNESCO juga meminta Indonesia menjelaskan bagaimana strategi memastikan perlindungan komodo dalam desain rencana proyek pariwisata, yang kontras dengan peningkatan signifikan jumlah turis itu.

Megaproyek pariwisata itu pertama kali diumumkan pada 2020 sebagai Integrated Tourism Master Plan (ITMP) Labuan Bajo. Ditujukan sebagai wisata premium, lokasinya termasuk Taman Nasional Komodo, Pulau Flores, dan Pulau Rinca. Target pemerintah, proyek itu kelar sebelum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang rencananya digelar di Labuan Bajo 2022 mendatang.

Namun, proyek tersebut dikritisi berbagai pihak karena berpotensi mengancam ekosistem dan konservasi satwa endemik Komodo. Kelompok masyarakat sipil juga khawatir wisata premium itu akan meminggirkan ekonomi masyarakat yang selama ini bergantung pada pariwisata berbasis alam di Nusa Tenggara Timur. 

Desakan UNESCO itu dinilai angin segar bagi konservasi komodo oleh kelompok masyarakat sipil di Indonesia. Salah satu yang aktif mengawal isu ini, @KawanBaikKomodo, misalnya, mengapresiasi UNESCO dan meminta Presiden Joko Widodo untuk segera 'bekerja' melaksanakan terkait permintaan organisasi dunia tersebut. 

"Selamat bekerja kepada Pemerintah: Presiden Joko @jokowi dan jajarannya. Apresiasi kepada kita semua yg sudah konsisten mengkritisi kebijakan pembangunan dan investasi ugal-ugalan di Situs Warisan Dunia Kebanggaan Indonesia Kecintaan NTT, Taman Nasional Komodo," cuit @KawanBaikKomodo, 1 Agustus 2021. 

Direktur Eksekutif Walhi Nusa Tenggara Timur Umbu Wulang Tanaamah Paranggi mengapresiasi sikap UNESCO. Umbu mengatakan agar pemerintah Indonesia menghormati keputusan lembaga tersebut dan mengakui kebijakan keliru terkait pengembangan pariwisata berbasis investor skala besar di Taman Nasional Komodo.

“Kami minta agar pemerintah menghentikan segala bentuk perizinan untuk pembangunan infrastruktur pariwisata alam skala besar Taman Nasional Komodo,” kata Umbu kepada Betahita, 3 Agustus 2021.

Menurut Umbu, pemerintah dapat fokus pada upaya terpadu dan berkelanjutan untuk melindungi ekosistem Taman Nasional Komodo serta mengembangkan ekonomi warga yang ramah lingkungan.

“Tantangan perlindungan Komodo sekaligus penguatan ekonomi warga dan kapasitas sains pengelolaan Taman Nasional Komodo harus jadi prioritas untuk dikerjakan,” tegasnya.

UNESCO meminta Indonesia menyampaikan laporan termutakhir soal pengembangan ITMP paling lambat 1 Februari 2022.

Juru bicara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi mengatakan, pihaknya telah mengetahui permintaan UNESCO untuk menunda jalannya proyek di Nusa Tenggara Timur. Namun tidak memberi komentar jelas apakah pemerintah akan menyanggupi.

“Saat ini pemerintah akan tetap fokus pada upaya meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat Manggarai Barat dan upaya kita jaga lingkungan,” ucap Jodi seperti dikutip Kompas.com, 2 Agustus 2021.

“Semua pihak kami sambut baik untuk terlibat konkret dalam upaya ini,” tambahnya.

Menurut data KLHK, populasi komodo (Varanus komodoensis) meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2018, populasinya sebanyak 2.897 ekor dan bertambah menjadi 3.022 ekor pada 2019. 

Ihwal permintaan UNESCO, Betahita menghubungi Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indra Eksploitasia.

“Bisa langsung ke Karo Humas,” kata Indra kepada Betahita, 3 Agustus 2021.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK Nunu Anugerah meminta agar media menghubungi Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno. Namun, Wiratno tidak memberikan respons hingga artikel ini dinaikkan.