Emma: Kaban Kla Bilin

Penulis : Tim Betahita

Hutan

Kamis, 05 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Isi hutan dijarah penguasa. Tidak ada hukum. Hukum ada dalam teks dan tersimpan dalam tas. Hukum kuat yang berlaku, kuat uang, kuat kuasa dan relasi, kuat fisik perkasa.

Pemilik tanah, penjaga hutan, tak berdaya, dipaksa menerima komisi dan bama seenaknya, yang diterima meski hati tak rela dan menggerutu. Diam mengalah bukan berarti kalah.

Sejak tahun 1970 an, tanah dan kekayaan hutan Suku Moi, Sorong, Papua, negeri yang disebut kaya emas hitam (Malak, Stephanus, 2012), ramai didatangi pemodal dan kaki tangannya, boss, mandor, tukang japre, bergerilya masuk keluar kampung dan hutan, berlomba dengan perusahaan negara dan swasta, untuk bisnis menggesek hasil hutan kayu dan menguras minyak bumi.

Aroma kekerasan dan kompetisi selalu ada di barak-barak dalam hutan, diminyaki terus untuk mengejar mimpi kesejahteraan. Sekali dua kali membara, entah berapa banyak jiwa melayang dan menderita, bisnis tanpa hati.

Emma Raw Malaseme, Direktur Papua Forest Watch. (Istimewa)

Ironis, ada segelintir orang dan aparatus negara menikmati dan memiliki rekening gendut milyaran dari ‘keliaran’ hutan yang seolah-olah nampak tenang, seperti air Klaso. Jika waktunya bisa menenggelamkan.


***

Suatu hari pada 2015, telpon saya berdering dari nomor baru, di ujung sana suara kawan perempuan Papua berbicara tergesa, “Kaka, saya bawa kunci excavator perusahaan!”

Dalam benak berkelebat risiko aksi yang dilakukannya: Sangat berbahaya.

Namun nada bicaranya yang tak gentar itu membuatku tercengang.

Emma -nama perempuan Papua itu- berkisah dirinya sedang menghadang excavator perusahaan yang menggusur tanah adatnya untuk proyek jalan Trans Papua. Alasannya, pemda belum musyawarah dan perusahaan main gusur, tanpa peduli protes marga pemilik tanah.

Nama lengkapnya, Emma Raw Malaseme, perempuan suku Moi asal Sorong, pendidikan terakhir sekolah tinggi kesehatan di Manado.

Keinginannya menjadi dokter belum kesampaian. Emma menyalurkan kemampuannya merawat pada komunitas anak-anak Papua ‘anak karton‘ dan miskin kota di Sorong, dengan kehidupan yang keras dan rumit.

Emma juga selalu mengungkapkan kegundahannya melihat dan mendengarkan keluhan saudaranya Suku Moi, yang hutan dan tanahnya dirampas.

2018, kepada saya Emma menunjukkan mural di dinding depan kantor PFW (Papua Forest Watch). Gambarnya, seorang perempuan Papua menggendong anak sedang berada dalam hutan dan dusun pangan.

Emma Raw Malaseme, Direktur Papua Forest Watch. (Istimewa)

Emma menjelaskan pandangannya tentang posisi perempuan dalam tradisi Suku Moi. Perempuan disebut Kaban, mempunyai peran kunci dalam berbagai acara-acara adat. Bapaknya, Malaseme, punya peran penting mewariskan pengetahuan adat Moi, sejarah leluhur dan tanah, dan kecintaan kepada alam. Keluarga Malaseme memberikan tanah dan hutan adatnya untuk menjadi kawasan konservasi Taman Wisata Alam Sorong.

Kaban Kla Bilin, secara enteng kata per kata ini bisa diartikan perempuan dari sungai Bilin. Namun, Emma beberapa kali menjelaskan diksi dan makna kata ini secara mendalam, perempuan kuat, perempuan yang mewariskan kehidupan, perempuan yang mampu merawat alam, dan sebagainya.

Mural di keik (kantor) PFW adalah Kaban Kla Bilin, dan dalam lukisan hidup adalah kami perempuan Moi, sepertinya Emma mau mengatakan itu. Emma juga kerap mengkritik realitas sosial dan budaya patriarki yang berkembang seiring perubahan sosial ekonomi dan politik kekuasaan, kekerasan dan pengabaian hak-hak perempuan, dalam berbagai dimensi sosial dan ruang politik negara.

April 2018, Saya, Emma, Charles Tawaru, Wirya, Gun Mao, Eko Samber, Fecky Mobalen, Okto Waken, Sem Ulimpa, John Gobay, dan banyak kawan aktivis lain, termasuk Pdt. Magda Kafiar, sepakat merevitalisasi organisasi Papua Forest Watch (PFW), yang mana dipimpin Emma.

Saya kagum melihat sepak terjang Emma mengurusi organisasi dan program-program. Dilapangan, Emma tetap sigap, kritis terhadap penguasa hutan dan bersolidaritas dengan masyarakat adat penjaga hutan, respect dan menebar kekuatan.

Sebagai tukang intip dan pengawas penjahat lingkungan. Emma tak sungkan berteriak lantang dalam forum-forum di daerah dan nasional, mengungkap melaporkan dan menguliti kejahatan-kejahatan kehutanan dan masyarakat adat Papua. Emma ringan mengangkat megaphone, orasi depan kantor parlemen menuntut penegakan hukum dan keadilan.

Emma memimpin kawan-kawan untuk merehabilitasi hutan kota, hutan mangrove dan kawasan hutan Danau Ayamaru. Emma murah hati bersahabat dengan banyak orang dan jaringan kerja. Gerakan yang hidup dari Kaban Kla Bilin, merawat manusia, merawat bumi, yang diwariskan.

Sejak Mei, Emma dirawat di rumah sakit dan ditengah situasi pandemic Covid. Krisis pelayanan kesehatan dialami Emma, sehingga pindah beberapa rumah sakit dan dirujuk ke rumah sakit di Manado. Emma masih belum mendapatkan diagnose penyebab penyakit, belum tertangani, dan semakin buruk. ICCU tak bisa merubah ajalnya.

Rabu siang (04/08/2021), Tuhan mempunyai rencana lain dan terbaik buat Emma. Dia pergi ke kali Kla Bilin, tempat tinggal selamanya. Selamat jalan Ade.

Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat