Ternyata Udara Kotor Selama PPKM Darurat Meningkat di Jakarta

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Jumat, 13 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat sejak 3 Juli lalu hingga kini dipastikan tidak membawa perubahan yang signifikan pada kualitas udara kota Jakarta. Padahal, pengendalian terhadap pencemaran udara memiliki peran penting dalam mengurangi jumlah pasien ataupun angka kematian akibat Covid-19. 

Hal itu disampaikan oleh gabungan masyarakat sipil Indonesia. Menurut analisis berdasarkan data yang terekam alat pemantau Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) sebelum dan selama PPKM Darurat disebut mengalami peningkatan pada bulan Juli.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengatakan, dalam periode tersebut udara Jakarta dalam kondisi tercemar.

“Berdasarkan PP Nomor 22 Tahun 2021 yang berlaku sejak Februari lalu, status Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) PM 2.5 Harian pada stasiun pemantau kualitas udara (SPKU) milik DKI dan US Embassy, sepanjang bulan Juli menunjukkan peningkatan empat hingga enam kali lipat dibanding pada bulan Juni,” ujar Bondan dalam media briefing Koalisi Ibukota yang digelar minggu ini.

Foto udara pencemaran udara di Jakarta. Foto: Greenpeace

Dari data tersebut, papar Bondan, terlihat juga bahwa konsentrasi PM 2.5 saat PPKM Darurat masih lebih tinggi dibandingkan saat diberlakukannya PPKM Mikro (3-20 Juni 2021) dan PSBB (3-20 Juli 2020).

“Pada saat PPKM Mikro maupun PSBB, curah hujan pada SPKU Bundaran HI lebih tinggi dibandingkan saat PPKM darurat sehingga dapat membantu peluruhan atau pencucian partikel halus di udara,” jelas Bondan. 

Dengan data yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta itu, Bondan menilai, pemerintah sudah seharusnya membuka data konsentrasi dari Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) ke publik secara berkala dengan real time. “Ini pun seharusnya berlaku untuk semua kota dan daerah, bukan hanya menjadi beban DKI Jakarta,” tutur dia.

Selain itu, jumlah SPKU juga harus diperbanyak yakni menjadi 10 alat pemantau untuk setiap 3 juta populasi. Riset sumber pencemar udara juga, imbuh Bondan, harus dilakukan berkala oleh seluruh kota dan daerah, dan kemudian membuka datanya ke publik agar masyarakat tahu dan dapat melakukan tindakan pencegahan.

“Lebih penting lagi adalah pengakuan dari pemerintah bahwa udara DKI Jakarta sudah tercemar dan melebihi BMUA. Perlu langkah nyata untuk mengendalikan sumber pencemar udara secara menyeluruh dan lintas batas yang berdasar pada data saintifik,” tukas Bondan.

Pada kesempatan yang sama, dr Feni Fitriani Taufik dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyatakan bahwa organisasinya sudah memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menyikapi masalah pencemaran polusi udara Jakarta. 

PDPI, kata Feni, selain telah meminta pemerintah untuk membuat undang-undang dan peraturan yang baik untuk pengendalian polusi udara, koordinasi lintas sektoral termasuk dengan akademisi, organisasi profesi ataupun lingkungan melalui kajian dan penelitian, menjadi cara yang penting untuk mengatasi masalah polusi di Ibu Kota. 

“Perlu juga melakukan upaya-upaya seperti pemantauan polusi yang berasal dari industri, mendorong pembukaan pembangkit listrik tenaga alternatif, membuat sarana transportasi massal yang aman, nyaman dan ramah lingkungan, hingga meningkatkan penanaman pohon dan menambah area hijau di seluruh wilayah untuk menambah paru-paru kota,” jelas Feni.  

“Kalau bicara tentang polusi udara dengan Covid-19, menurut saya, polusi udara saja sudah mengganggu pertahanan tubuh tanpa adanya Covid. Sekarang sudah banyak diteliti juga, bahwa polusi itu menurunkan pertahanan tubuh dalam melawan virus,” ungkap Feni.

Meski begitu,rekomendasi yang telah diberikan PDPI kepada pemerintah hingga kini belum juga mendapat respons, imbuh Feni.

Putusan Gugatan Polusi Terus Tertunda

Sementara itu, kuasa hukum 32 warga DKI Jakarta yang menggugat tujuh pejabat negara dalam kasus gugatan warga negara atas pencemaran udara Jakarta, Ayu Eza Tiara, mengatakan, proses persidangan yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadi faktor penting bagi warga ibu kota untuk mendapatkan udara bersih. 

“Berjalan sudah hampir dua tahun dengan enam kali penundaan sidang putusan ini sudah nggak wajar. Saya khawatir berpotensi adanya maladministrasi. Hal itu merujuk pada aturan yang dibuat Mahkamah Agung melalui Surat Edaran No.2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada empat lingkungan peradilan,” kata Ayu.

Ayu menjelaskan, keempat lingkungan peradilan yang dimaksud salah satunya yaitu peradilan umum atau pengadilan negeri. Dalam surat edaran itu, imbuh Ayu, diamanatkan kepada hakim untuk sebisa mungkin melakukan persidangan dengan proses yang cepat, dan waktu persidangan bersama dengan vonis di tingkat pertama yaitu dalam waktu lima bulan. 

Sedangkan, hingga kini untuk agenda sidang putusan saja, sebut Ayu, telah ditunda sebanyak enam kali dengan alasan yang terdengar mengada-ada. Dia membeberkan, beberapa alasan penundaan sidang putusan mulai dari para Tergugat yang lupa mengirim soft file kepada Majelis Hakim; adanya salah satu anak Hakim yang meninggal dunia; kemudian berturut-turut Ketua Majelis Hakim, Panitera dan juga Hakim Anggota terkena Covid-19.

“Kami tidak mau dibilang tidak bersimpati, tetapi waktu berduka yang diminta oleh Majelis Hakim nyatanya cukup lama yaitu sampai 2 minggu. Padahal kalau PNS hanya dapat waktu duka empat hari,” kata Ayu.

“Karena itu, pengadilan ini bisa jadi turut serta terlibat dalam melakukan pelanggaran hukum karena menghambat hak warga negara atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat,” tegas Ayu.

Perwakilan penggugat, Yuyun Ismawati, mengingatkan bahwa pemerintah wajib menjamin hak hidup sehat, dan harus bertanggung jawab untuk memberikan udara bersih kepada masyarakat. Apalagi, kata Yuyun, paparan udara kotor yang bisa berdampak pada segala usia dapat melunturkan harapan Indonesia Emas yang ingin mendapat bonus demografi.

“Penundaan keputusan ini berarti memperpanjang risiko dan biaya kesehatan. Semakin ditunda, biaya kesehatan akan semakin tinggi. Kalau Jakarta dibiarkan terus seperti ini dan dicontoh oleh kota-kota lain, berarti akan celaka,” kata Yuyun.

“Apalagi kalau pemerintah bicara ingin mendapat bonus demografi saat Indonesia Emas tahun 2045 dengan jumlah orang-orang yang produktif lebih tinggi dari sekarang. Kalau anak-anak saat ini terus-menerus terpapar udara kotor dan kesehatan yang terganggu, ya harapan itu akan sulit didapat,” pungkasnya.