Laporan IPCC: Krisis Air Global Meningkat Seiring Rusaknya Iklim

Penulis : Tim Betahita

Perubahan Iklim

Kamis, 19 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Masalah air seperti banjir dan kekeringan (yang memicu kebakaran hutan dan lahan) disebut akan memburuk di seluruh dunia seiring kerusakan iklim terus terjadi, menurut asesmen dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). 

Pemanasan global pada dua dekade mendatang setidaknya akan menyentuh 1.5C. Kenaikan suhu tersebut akan diikuti oleh perubahan besar pada siklus air planet bumi. Wilayah yang basah semakin basah, dan wilayah kering akan menderita kekeringan yang lebih parah. Curah hujan tinggi akan semakin intensif sebesar 7% untuk setiap kenaikan 1C, kata laporan tersebut.

Prof Mike Meredith, peneliti utama di British Antarctic Survey dan penulis utama IPCC mengatakan, atmosfer yang terus memanas akibat pemanasan global dapat menahan dan mengangkut lebih banyak uap air. Pada skala terbesar ilmuwan memperkirakan akan melihat percepatan siklus hidrologi: penguapan yang lebih kuat di daerah tropis, dan curah hujan yang lebih tinggi di daerah tropis, lintang dan beberapa daerah ekuator. Hal ini akan menyebabkan kejadian curah hujan ekstrem yang lebih sering di daerah yang sudah basah, dan insiden dan keparahan banjir yang lebih besar.

“Ada bukti kuat bahwa perubahan itu tengah terjadi. Di beberapa daerah kering, kekeringan akan semakin parah dan berlangsung lebih lama. Risiko seperti itu diperparah oleh konsekuensi langsung, seperti risiko kebakaran hutan yang lebih besar, seperti yang sudah kita lihat, kata Meredith dikutip The Guardian, Selasa (17/8).

Seorang perempuan di Madagaskar berjalan lebih dari 14 kilometer setiap hari untuk memperoleh air bersih. Foto: UNICEF/Safidy Andrianantenain

Dampak krisis air akan merata di seluruh dunia, mulai dari kekeringan yang meningkat di wilayah barat dan selatan Amerika Serikat; hingga India di mana monsun atau musim menjadi lebih bervariasi. Sub-Sahara Afrika juga berpotensi mengalami peningkatan kekeringan di banyak area, sementara banjir dan kekeringan akan melanda Cina dan Eropa.

Perubahan pola curah hujan alami bumi adalah salah satu dampak terbesar dari krisis iklim, dan laporan penting IPCC, yang diterbitkan minggu lalu, membahas masalah ini sebanyak 200 halaman. Diskusi yang lebih lengkap tentang dampak yang diharapkan dari krisis iklim terhadap air akan datang Februari mendatang, di bagian kedua dari laporan – yang keenam dari otoritas dunia pada ilmu iklim sejak 1988.Namun, temuan sejauh ini berisi peringatan paling keras mengenai masalah yang kini dihadapi dunia.

Monsun di Asia Selatan – yang merupakan kunci bagi kehidupan dan pertanian lebih dari 1 miliar manusia – menjadi perhatian khusus, termasuk wilayah dengan gletser, di mana awalnya akan memicu banjir disusul kelangkaan air cenderung menjadi semakin umum seiring penyusutan gletser dan hilangnya gletser yang lebih kecil. 

Ratusan juta orang bergantung langsung pada gletser sebagai sumber air dan pertanian, dan masalah ini kemungkinan akan menjadi salah satu sistem air yang paling parah terdampak.

Roger Braithwaite, peneliti kehormatan senior di University of Manchester, mengatakan: “Pengukuran menunjukkan gletser di banyak bagian dunia saat ini memiliki keseimbangan massa negatif bahkan dengan suhu rata-rata global saat ini. Oleh karena itu, gletser tidak 'aman' di bawah perjanjian Paris [yang membatasi pemanasan hingga 1,5C sebagai ambisi, dan 2C sebagai batas luar].”

Meredith menambahkan gletser di seluruh dunia telah berkurang sejak 1990-an, sebuah fenomena yang tidak pernah terjadi setidaknya dalam dua milenium, dan merupakan sinyal yang jelas dari dampak pemanasan global. 

Bagi banyak komunitas di hilir, gletser pegunungan tinggi sangat penting bagi cara hidup mereka, menyediakan sumber air tawar yang dapat diandalkan untuk minum dan mengairi tanaman. Karena gletser ini terus menyusut, awalnya pencairan yang lebih kuat akan menyebabkan risiko banjir, longsor, dan tanah longsor yang lebih besar – bahaya langsung bagi mereka yang tinggal di hilir.

"Pada waktunya, penurunan ketersediaan air tawar akan menggeser risiko menjadi kekeringan. Ada jutaan orang yang tinggal di hilir sistem gletser gunung utama seperti Himalaya; ini sangat mengkhawatirkan kehidupan dan mata pencaharian mereka," jelas Meredith. 

Dampak pada sistem air telah membawa kehancuran bagi jutaan orang di seluruh dunia, memperparah kemiskinan, mengganggu masyarakat dan mengubah kehidupan menjadi perjuangan harian bagi komunitas rentan.

Di Malawi, misalnya, 1,5 juta orang bergantung pada danau terbesar kedua bernama Danau Chilwa. Walau tinggi permukaan air danau selalu fluktuaktif, saat ini frekuensinya terjadi lebih sering dan lebih ekstrem. Akibatnya, perempuan, yang paling sering bertanggung jawab untuk mengamankan air bagi keluarga, sering kali harus mengantri berjam-jam, terkadang hingga malam hari, menunggu air kembali ke level yang dapat mereka raih.

THE GUARDIAN