Lingkungan Hidup dalam Cengkraman UU Minerba dan Omnibus Law

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Lingkungan

Selasa, 31 Agustus 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Penyelamatan lingkungan hidup pascapengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, dinilai penuh tantangan. Selain pengawasan yang semakin jauh karena ditarik ke pusat dan izin-izin investasi juga semakin mudah diterbitkan, suara penolakan tambang dari masyarakat yang ingin menyelamatkan lingkungan hidup justru disambut dengan jerat pidana.

Anggapan-anggapan tersebut muncul dalam dialog yang digelar secara virtual oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) bersama masyarakat sekitar tambang dan para akademisi, dengan tema 'Tantangan Penyelamatan Lingkungan Hidup Paska disahkannya UU Minerba dan Omnibus CILAKA', Senin (30/8/2021).

"Ada instrumen hukum yang bisa membereskan soal tumpang tindih tata ruang. Tetapi di lapangan, izin yang keluar tidak dibarengi dengan pengawasan dan terjadi pula pelanggaran, seperti areal yang di luar izin," kata Prof. Hariadi Kartodiharjo, Guru Besar IPB.

Prof. Hariadi mengatakan, perlu ada cara meningkatkan lembaga negara yang mengeluarkan izin, sekaligus juga dapat melakukan pengawasan, kaik dalam konteks aspek sosialnya maupun lingkungan hidup. Karena saat ini sama sekali tidak ada. Prof. Hariadi juga berpendapat bahwa penyelamatan lingkungan hidup harus dibungkus dengan berbagai aspek, termasuk soal korupsi.

Kapal isap pasir milik PT Timah mulai beraktivitas di Pesisir Matras-Pesaren, Bangka Belitung, pada 9 November 2021 meski telah ditolak warga setempat. Foto: @jatamnas

Doesn Universitas Indonesia, Tri Hayati mengatakan, paradigma UU Cipta Karya mengubah total penyelanggaraan pemerintah. Pada UU Minerba lama (UU No 4 Tahun 2009) paradigma yang digunakan adalah desentralisasi, yang mana ada keterlibatan dan peran pemerintah daerah yang besar dalam sektor pertambangan. Namun dalam UU Minerba yang baru (UU Nomor 3 Tahun 2020), justru terjadi sentralisasi, yang mana perihal perizinan dan pengawasan pertambangan ditarik ke pusat.

"Kalau dilihat paradigma penyelenggaran pemerintahan itu arahnya ke EODB (Easy of Doing Business). Itu yang kita kejar. Mempermudah investor untuk berusaha di Indonesia. Kita mengejar target. Kita sudah di nomor berapa nih di EODB di internasional, supaya dipandang iklim investasinya lebih kondusif," kata Tri Harati.

Namun meski sudah dipermudah dengan adanya deregulasi perizinan, OSS dan lain-lain, tapi kalau dilihat hanya dari sisi peningkatan devisa atau peningkatan keuangaan negara semata, tanpa melihat sisi sumber daya alam dan lingkungan, maka akan hancur.

"Good governance itu harus diterapkan. Kalau merujuk pasal 33 UUD 45, untuk apa sumber daya alam ini dikelola? Untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Landasan filosofi dengan undang-undangnya tidak menyambung. Antara cita-cita yang dicita-citakankan kemakmuran rakyat dengan kenyataannya."

Rocky Marbun, Dosen Universitas Pancasila mengaku pesimis terhadap upaya penyelamatan lingkungan hidup, terutama apabila tidak ada reformasi terhadap para penegak hukum. Alasannya yang pertama karena advokat atau pengacara tidak dianggap sebagai penegak hukum, yang kedua budaya institusi hukum juga sangat berpengaruh pada para penegak hukum itu sendiri.

Selain itu, paradigma penegak hukum Indonesia masih menggunakan nuansa paradigma Belanda, sehingga tidak bisa membedakan nuansa dari pidana umum di KUHP dengan nuansa pidana di undang-undang administrasi. Padahal apabila ada gesekan antara hukum administrasi dan hukum pidana penyelesaiannya berbeda. Sementara para penegak hukum dan hakim lebih berpikir normatif.

"Masalah perizinan, jelas dalam ruang lingkup hukum administrasi negara. Filosofinya kan harusnya ditangkap dulu itu. Kenapa seseorang ingin menambang itu butuh izin. Artinya tindakan menambang itu adalah tindakan merusak, sehingga dia butuh izin untuk merusak. Ini yang tidak sinkron kalau kemudian paradigmanya agar lebih dipermudah perizinannya. Menambang itu merusak itu kenapa justru dipermudah, harusnyakan dipersulit. Logika administrasi publinya enngak masuk," kata Rocky.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Lasma Natalia mengungkapkan, UU Minerba mulai semakin digunakan untuk mempidanakan warga yang menolak tambang. Selain digunakan terhadap Paini di Banyuwangi dan Yaman di Bangka, baru-baru ini pasal 162 UU Minerba juga dikenakan terhadap warga yang menolak adanya pertambangan di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Dilihat dari bagaimana lahir dan berubahnya substansi pasal 162 UU Minerba, yang mana UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 disahkan pada Maret 2020 dan substansi pasal 162 UU itu kemudian diubah dalam UU Cipta Kerja yang disahkan Oktober 2020, membuktikan bahwa kebijakan pemerintah digunakan untuk kepentingan usaha dan pemilik modal.

Lasma menilai, apa yang terjadi saat ini sungguh ironis. Karena pasal 162 itu digunakan untuk mempidanakan. Warga seperti Paini yang sudah bertahun-tahun berjuang, malah diserang menggunakan UU Minerba.

"Yang menyedihkan, tugas tanggung jawab Negara dilimpahkan jadi tanggung jawab warga. Warga sudah melakukan apa yang sudah bisa dilakukan. Dari mulai membuktikan dan menunjukkan apa yang terjadi di lapangan dan bersuara. Orang bersuara malah dipidana," kata Lasma.

Di kesempatan sama, Paini, Warga Desa Sumberagung Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi yang selama beberapa tahun terakhir berjuang menolak keberadaan tambang emas di Gunung Tumpang Pitu mengungkapkan bagaimana dampak aktivitas operasi tambang emas di daerahnya telah mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.

Menurut Paini, sejak PT Bumi Sukses Indo (BSI) melakukan penggalian tambang emas di kawasan Gunung Tumpang Pitu, beragam masalah muncul. Seperti, kekeringan yang terjadi di daerah sekitar tambang tiap kali musim kemarau datang. Padahal sebelum Gunung Tumpang Pitu dieksploitasi untuk tambang emas, hal itu tidak pernah terjadi.

"Hutan terganggu, kalau kemarau di sekitar tambang sudah tidak ada air. Ladang warga tahun 2016 dibanjiri lumpur. Lumpurnya mengalir sampai ke laut. Gunung yang ditambang itu jebol, membuat air lumpur mengalir sampai ke laut," kata Paini dalam dialog tersebut, Senin (30/8/2021).

Paini mengatakan, dirinya dan warga lain di desanya sudah melakukan beragam upaya untuk menyelamatkan lingkungan hidup di desanya dari aktivitas tambang, termasuk menyampaikan penolakannya hingga ke pusat. Alih-alih mendapatkan dukungan dari pemerintah, yang terjadi dirinya malah dilaporkan ke kepolisian karena dianggap melanggar Pasal 162 UU Minerba, yakni merintangi atau menghalangi kegiatan pertambangan.

Hal serupa juga dialami Yaman, nelayan asal Bangka, yang dilaporkan ke kepolisian karena dianggap mengganggu aktivitas penambangan pasir yang dilakukan di perairan laut Bangka. Padahal kala itu Yaman bukan ingin mengganggu aktivitas penambangan, melainkan hanya naik ke atas kapal pengeruk pasir untuk mempertanyakan soal izin pertambangan saja.

"Pernah tanya dan dijawab bahwa izin sudah dikasih oleh pusat dan tidak bisa diganggu gugat. Pernah dilaporkan polisi karena naik ke atas kapal keruk menanyakan AMDAL dan izin penambangan," kata Yaman.

Menurut Yaman, aktivitas tambang pasir laut di wilayah tangkap ikan nelayan telah sangat memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Aktivitas tambang pasir, lanjut Yaman, menghasilkan banyak timbunan gundukan limbah di pesisir pantai. Selain itu, perairan laut yang sebelumnya berpasir, kini berubah jadi belumpur dan terumbu karang juga hilang. Itu berdampak pada hasil tangkapan ikan nelayan.

"Aktivitas penambangan oleh kapal mengakibatkan adanya gundukan-gundukan limbah di pantai. Dampaknya, penghasilan nelayan jadi berkurang, tempat pariwisata hancur semua, karena lumpur limbah. Kalau dulu laut berpasir, kini berlumpur."

Warga Desa Wadas, yang wilayah desanya dijadikan lokasi penambangan andesit untuk bahan material bendungan juga punya cerita soal perlawanan terhadap tambang. Miftah, yang tergabung dalam Gerakan Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) menuturkan, sejak adanya sosialisasi rencana penambangan andesit, 2018 lalu, warga Desa Wadas sudah menyampaikan penolakan tambang.

Alasannya, karena hutan yang akan ditambang oleh pemerintah adalah sumber penghidupan warga. Selain itu, Desa Wadas juga tidak akan mendapat manfaat dari bendungan yang akan dibangun itu, yang lokasinya berjarak sekitar 13 kilometer dari Desa Wadas.

Miftah juga mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan berbagai cara untuk menolak tambang, baik melalui aksi di lapangan maupun jalur hukum. Upaya tersebut semuanya menemui jalan buntu. Gugatan yang pihaknya ajukan ke PTUN Semarang bahkan ditolak.

"Sejak sosialisasi sudah melakukan penolakan, demo dan mediasi dengan pemerintah dan pihak terkait. Sudah mengajukan gugatan ke PTUN Semarang, dan hari ini (30/8/2021) gugatan warga ditolak," kata Miftah.