Kontribusi Pajak Sawit ke Kocek Daerah Jambi Masih Minim

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Analisis

Rabu, 01 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Potensi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hanya dari sektor perkebunan sawit di Provinsi Jambi ternyata sangat besar, sekitar Rp2,9 triliun per tahun. Sayangnya realisasi pajak dari seluruh sektor di provinsi itu untuk tahun 2020 hanya sekitar Rp2,08 triliun saja. Kesenjangan nilai antara potensi dengan target dan realisasi pajak menunjukkan bahwa penggalian pajak sawit di Provinsi Jambi belum optimal.

Potensi PBB dan PPN dari sawit di Jambi inipun dihitung menggunakan luasan perkebunan sawit seluas 792.145,79 hektare, berdasarkan hasil studi yang dilakukan. Sedangkan apabila dihitung menggunakan luasan perkebunan sawit versi Kementerian Pertanian yang luasnya mencapai 1.134.640 hektare, tentu potensi PBB dan PPN dari sektor sawit akan jauh lebih besar.

Hitungan potensi PBB dan PPN dari sektor sawit ini dihasilkan dari kajian yang dilakukan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, yang laporannya disampaikan melalui media briefing yang digelar Selasa (31/8/2021). Laporan ini menyajikan enam informasi penting dan terbaru meliputi tutupan dan status tanaman sawit, produksi tandan buah segar (TBS), penerimaan negara atas pajak sawit, pengusahaan perkebunan sawit, sawit dalam kawasan hutan, dan sawit pada lahan gambut.

"Optimalisasi penerimaan perpajakan oleh pemerintah menjadi latar belakang dari penyusunan laporan ini. Adanya gap antara data potensi pajak sawit dengan target dan realisasinya menjadi persoalan yang kami dalami. Pada titik ini, transparansi informasi adalah kunci, dan kapasitas serta penggunaan teknologi merupakan hal pertama yang harus ditingkatkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah," kata Linda Rosalina, Pengkampanye TuK Indonesia, Selasa (31/8/2021).

Hamparan tanaman sawit di Jambi. Realisasi penerimaan negara dan pendapatan daerah dari pajak sektor perkebunan sawit di Jambi, saat ini masih jauh dari potensinya./Foto: Walhi Jambi

Lebih lanjut Linda Rosalina menjelaskan, analisis potensi pajak sawit ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Pertama analisis tutupan sawit, yang mencakup analisis interpretasi visual (delineasi), metode yang digunakan adalah interpretasi manual (digitasi on screen) dan pengklasifikasian tutupan sawit berdasarkan skala usaha perkebunan, ini dilakukan untuk mengetahui tutupan sawit Perkebunan Rakyat (PR) mandiri yang luasnya kurang dari 25 hektare.

Selanjutnya melakukan analisis status tanaman sawit. Metode yang digunakan untuk melakukan analisis ini berbasis penginderaan jauh (remote sensing) dengan memanfaatkan nilai spektral untuk ditransformasi menjadi indeks vegetasi. Indeks vegetasi yang digunakan adalah NDVI (Normalize Differential Vegetation Index).

Tahapannya, pembuatan citra sintetis NDVI, kemudian penentuan nilai ambang batas status atau tanaman sawit berdasarkan nilai piksel citra NDVI, selanjutnya overlay citra NDVI dengan tutupan sawit eksisting dan tahap terakhir yakni perhitungan luas masing-masing kelas status tanaman sawit.

Linda melanjutkan, analisis selanjutnya adalah penentuan produksivitas Tandan Buah Segar (TBS) sawit. Ada dua pendekatan dalam penentuan produktivitas TBS ini. Yang pertama pendekatan tingkat ekstraksi CPO (oil extraction rate-OER, yang mana tingkat OER yang digunakan untuk menentukan produksi TBS adalah 20 persen. Sedangkan pendekatan yang kedua adalah hasil wawancara menggunakan nilai terendah.

Analisis berikutnya adalah penghitungan pajak sawit. Dalam hal ini, pajak yang dihitung hanyalah PBB dan PPN saja, sedangkan PPH tidak dianalisis. Penghitungan PBB dan PPN sektor sawit ini mengunakan pedoman penghitungan pajak sesuai peraturan dan perundangan-udangan yang berlaku. Yang mana untuk PBB penghitungannya adalah NJKP = 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP). Sedangkan untuk PPN adalah PPN = Tarif x Produksi TBS x Harga TBS per Satuan.

Dari penghitungan, tutupan sawit di Jambi apda 2019 luasnya sekitar 792.145,79 hektare. Terluas ada di Kabupaten Muaro Jambi seluas 216.274,75 hektare dan Tanjung Jabung Barat seluas 140.607,40 hektare.

Sedangkan potensi produksi TBS di lahan seluas 792 ribu hektare itu, pada 2020, mencapai 12.317.287,23 ton. Dengan kabupaten tertinggi produktitivas sawitnya adalah Muaro Jambi dengan 2.733.944,30 ton, diikuti Tanjung Jabung Barat sebesar 2.733.944,30 ton.

Potensi Pajak Sawit di Jambi Rp2,9 Triliun

Dari penghitungan pajak yang dilakukan hasilnya, PBB dari sektor sawit di Jambi pada 2020 sebesar Rp207.163.296.563,79 dan PPN sebesar Rp2.709.803.189.709,66. Sehingga bila ditotal potensi penerimaan negara dan pendapatan daerah dari PBB dan PPN sektor sawit sebesar Rp2.916.966.486.273,45.

Sementara, berdasarkan data Kanwil DJPb Provinsi Jambi, target PBB seluruh sektor di Jambi untuk tahun 2020, sebesar Rp174,10 miliar dan PPN ditargetkan sebesar Rp1,99 triliun. Namun realisasinya, PBB hanya sebesar Rp120,02 miliar dan PPN Rp1,96 triliun.

Bisa disimpulkan, potensi PBB dan PPN hanya dari sektor sawit di Jambi, lebih besar dari target PBB dan PPN seluruh sektor. Bahkan jauh lebih besar lagi dari realisasi PBB dan PPN seluruh sektor di Jambi.

"Terdapat gap atau selisih antara realisasi PBB dan PPN untuk seluruh sektor di Provinsi Jambi tahun 2020, dengan nilai yang ditargetkan. Bahkan, gap antara realisasi dan target dari seluruh sektor semakin lebar dibandingkan dengan nilai potensi yang berasal hanya dari satu sektor yakni sektor sawit."

Hal ini, lanjut Linda, menunjukkan bahwa penggalian potensi pajak di Provinsi Jambi belum optimal. Menurut Kanwil DJPb Provinsi Jambi, lanjut Linda, ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidakoptimalan tersebut. Yakni karena rendahnya kesadaran Wajib Pajak (WP) melakukan pembayaran pajak, rencanya infrastruktur teknologi pendukung, redahnya nilai tambah dalam usaha, sulitnya akses untuk mendatangi WP, kurangnya SDM.

"Dan tingginya risiko dalam melakukan ekstensifikasi pajak. Termasuk ancaman pembunuhan dari pelaku usaha ketika disurvei," terang Linda.

Tidak optimalnya penerimaan negara dan pendapatan daerah dari PBB dan PPB sektor sawit ini juga tidak terlepas dari persoalan data perkebunan sawit, yang ternyata bervariasi antara satu instansi dan instansi lain di pemerintahan.

Apabila merujuk data Dinas Perkebunan Provinsi dan Kantor Wilayah Ditjen Pembendaharaan Provinsi Jambi, luas perkebunan sawit di Jambi seluas 791.025 hektare. Sedangkan versi Kementerian Pertanian, pada 2019, seluas 1.134.640 hektare dan versi Badan Pusat Statistik seluas 1.065.267 hektare. Sementara berdasarkan hasil studi kajian yang dilakukan TuK dan Walhi Jambi luas tutupan sawit di Jambi seluas 792.145,79 hektare.

"Terdapat kesenjangan data pengusahaan perkebunan sawit di Provinsi Jambi. Banyak perusahaan sawit di Jambi secara eksisting beroperasi tanpa HGU namun tidak dikategorikan sebagai perkebunan besar."

Linda berharap, laporan yang dihasilkan TuK Indonesia dan Walhi Jambi ini dapat menjadi sumber alternatif informasi, sebagai pemantik agar para pengampu data bersedia lebih terbuka, dan terpenting pemerintah daerah lebih serius melakukan pendataan dan pengintegrasian data dengan bersinergi antar pemerintah dan level pemerintahan.

"Kami juga mendorong pemerintah daerah untuk memiliki kebijakan dengan tujuan peningkatan pendapatan daerah," ujar Linda.

Pajak Sawit Tidak Sebanding dengan Kerugian Lingkungan Yang Dihasilkan

Rudiansyah dari Tim Riset menyampaikan, Jambi merupakan provinsi dengan potensi industri sektor berbasis lahan yang tinggi. Dalam konteks sektor sawit, Jambi masuk 10 besar provinsi produsen kelapa sawit di Indonesia. Sehingga, sebagai daerah penghasil sawit, sudah selayaknya Jambi memperoleh keuntungan dan manfaat yang besar.

"Namun, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Jambi justru terbilang rendah, terbesar berasal dari pajak kendaraan. Jambi juga masuk dalam langganan kebakaran hutan dan lahan seiring dengan luasnya kerusakan gambut dan tingginya konflik tenurial. Eksploitasi dan eksplorasi sumber daya yang terjadi di Jambi sangat tidak sebanding dengan penerimaan negara maupun pendapatan daerahnya," kata Rudiansyah.

Manajer Kajian dan Penguatan Informasi Walhi Jambi, Dwi Nanto mengatakan, berdasarkan pantauan yang pihaknya lakukan selama ini, perluasan perkebunan dan pabrik kelapa sawit (PKS) di Jambi memberikan dampak risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) sangat tinggi.

"Kerusakan hutan dan lahan gambut serta konflik agraria adalah permasalahan yang tidak lagi dapat dihindari. Sehingga sudah seharusnya pemerintah daerah mengambil peran progresif untuk mengoptimalkan pajak sebagai salah satu instrumen kompensasi atas dampak negatif yang ditimbulkan," ujar Dwi.

Lebih lanjut Dwi mengungkapkan, potensi penerimaan negara dan pendapatan daerah dari sektor sawit di Jambi itupun kalau dihitung sebenarnya tidak sebanding dengan kerugian lingkungan yang diakibatkan kebakaran hutan dan lahan yang diakibatkan perkebunan sawit. Pada 2019 ada setidaknya 8 perkebunan sawit yang terbakar. Bahkan dari kebakaran tersebut sebagian besarnya terjadi di lahan gambut.

Menurut perhitungan kerugian lingkungan oleh Lektor Kepala Fakultas Kehutanan IPB, Basuki Wasis, lanjut Dwi, menunjukan bahwa, kebakaran yang terjadi di lahan gambut menyebabkan kerugian lingkungan sebesar sekitar Rp1.264.125.200 per hektarenya. Pada 2019 luas lahan gambut yang terbakar seluas 114.900,2 hektare. Sehingga bila ditotal, kerugian lingkungan yang dihasilkan dari kebakaran di lahan gambut seluas 114 ribu hektare tersebut sebesar sekitar Rp145 triliun.

Kemudian, biaya pemulihan kebakaran di lahan gambut juga tidaklah sedikit. Berdasarkan perhitungan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), biaya pemulihan untuk satu hektare gambut mencapai Rp25 juta. Sehingga bila dikalikan dengan luas lahan gambut yang terbakar yang mencapai 114 ribu hektare itu maka biaya pemulihan gambut yang terbakar di Jambi 2019 sekitar Rp2,8 triliun.