Awal 2021: Masyarakat Adat & Aktivis Banyak Jadi Korban

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Kamis, 02 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mencatat, masyarakat adat dan aktivis mengalami banyak pelanggaran hak asasi manusia karena kegiatannya membela lingkungan selama periode Januari-April 2021. 

Menurut peneliti ELSAM Villarian Burhan, terdapat 10 peristiwa dengan 15 tindakan kekerasan. Korban paling banyak adalah masyarakat adat (22 orang), aktivis (12), petani (2), dan 34 lainnya.

“Ini adalah sebuah ironi. Karena di awal tahun 2021, masyarakat juga masih harus berjibaku dengan krisis ekonomi dan pandemi,” kata Villarian dalam diskusi virtual, Selasa, 31 Agustus 2021. 

Villarian menjelasakan, tindakan pelanggaran paling dominan meliputi penangkapan, serangan fisik, dan penahanann. Sementara ada juga juga korban yang harus berhadapan dengan pemerkaraan hukum, peradilan yang tidak adil, perusakan, dan perampasan tanah. 

Sekitar 29 KK masyarakat adat Pubabu di Besipae, NTT, menjadi korban penggusuran yang dilakukan Pemerintah Provinsi NTT yang terjadi pada 18 Agustus 2020 kemarin./Foto: Walhi NTT

Tujuh pelaku berasal dari aktor non-negara seperti satpam perusahaan, preman, dan orang tidak dikenal. Sementara itu polisi, jaksa, dan hakim disebut turut berkontribusi melakukan pelanggaran dan ancaman terhadap pembela HAM atas lingkungan. 

Laki-laki paling banyak menjadi korban (42 orang) dan perempuan (5 orang). Total tidak teridentifikasi sebanyak 23 individu. Total korban adalah 70 orang dari sektor agraria, lingkungan, dan infrastruktur. 

Lokasi kejadian paling terjadi di Sumatra Utara, Bangka Belitung, Riau, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dan Nusa Tenggara Barat. Lembaga tersebut tidak mencatat ada kekerasan di wilayah timur seperti Sulawesi dan Papua. 

“Namun ini tidak berarti tidak ada pelanggaran. Ada keterbatasan metodologi terhadap kasus pelanggaran yang kami pantau,” jelas Villarian.

Villarian menjelaskan, latar belakang terjadinya pelanggaran atau kekerasan atas pembela HAM atas lingkungan masih sama, yakni faktor ekonomi dan politik. Faktor ini berhubungan dengan perampasan ruang hidup, perusakan lingkungan, dan konflik lahan.

“Kecenderungannya sama. Artinya negara tidak belajar atau melakukan evaluasi soal kebijakan perlindungan dan segala aspek tata kelola yang berkaitan dengan kerja-kerja pembela HAM,” jelas Villarian. 

“Kita juga berasumsi bahwa tata kelola pemerintah di sektor sumber daya alam dan lingkungan belum mengalami kemajuan berarti. Begitu juga dengan norma HAM.”

Faktor lainnya adalah munculnya gerakan perlawanan masyarakat. Villarian mengatakan, pada 2020 masyarakat cenderung memprotes karena terbitnya kebijakan seperti Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dan revisi terbaru dari Undang-Undang Mineral dan Batu Bara.

Namun pada awal 2021, gerakan demonstrasi dari masyarakat cenderung didorong oleh keinginan bertahan dari situasi yang lebih buruk dari aktivitas produksi dan industri termasuk proyek pemerintah yang terus berjalan.

“Contohnya adalah proyek strategis nasional yang memicu perampasan lahan. Hal ini bisa kita lihat dalam kasus Desa Wadas. Di sini pemerintah melalui polisi dan TNI memaksakan penambangan batuan andesit untuk memperlancar konstruksi Bendungan Bener,” jelas Villarian.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Hairansyah mengatakan, Indonesia memiliki masalah terkait hak asasi manusia di bidang lingkungan. Hal itu terlihat dari tingginya kasus pengaduan yang masuk ke dalam database lembaga tersebut.

Menurut Hairansyah, pada 2020, terdapat 2.841 kasus pengaduan yang diterima Komnas HAM. Kasus-kasus tersebut berkaitan dengan ketenagakerjaan, lahan, dan lainnya. Kategori hak yang dilanggar terkait dengan hak atas kesejahteraan dan memperoleh keadilan.

“Hampir sebagian besar berpotensi pada munculnya serangan pada pembela HAM karena yang melaporkan adalah masyarakat dan pendamping,” jelas Hairansyah.

“Ini karena penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia masih kompleks dan jauh panggang dari api,” kata Hairansyah. 

Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Marsya Handayani mengatakan perlindungan terhadap pembela lingkungan tercantum dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Namun, aturan itu dinilai belum efektif karena masih mengandung celah substansi dan procedural. Menurut Marsha, Pasal 66 membatasi makna pembelaan lingkungan terhadap orang yang menempuh jalur hukum.

“Padahal, banyak bentuk partisipasi publik melalui berbagai kegiatan terkait lingkungan. Bukan hanya jalur hukum,” kata Marsha. 

Marsha mencontohkan kasus yang menimpa aktivis lingkugan Heri Budiawan atau Budi Pego. Budi adalah warga Desa Sumberagung yang menolak tambang emas di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur.

Budi dituduh menyebarkan komunisme dan mengibarkan spanduk berlogo palu arit saat mengikuti aksi menolak perusahaan tambang PT Bumi Suksesindo (PT BSI) dan PT Damai Suksesindo (PT DSI) pada 2017. Budi kemudian dihukum kurungan empat tahun pada 2018.

“Ini adalah contoh bahwa perjuangan mereka yang tidak melalui jalur hukum, sehingga tidak bisa menggunakan anti-SLAPP,” kata Marsha. 

“Perlu pembaruan hukum dalam rangka legislasi, serta adanya revisi undang-undang perlindungan saksi dan korban,” pungkas Marsha.