Selama Empat Tahun Terakhir, hanya 73 Hari Jakarta Berudara Sehat

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Jumat, 03 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Data kualitas udara di Jakarta menunjukkan tingkat pencemaran tinggi selama periode 2017-2020. Dalam rentang waktu tersebut, warga di ibu kota hanya dapat menghirup 73 hari udara sehat. 

Hal itu terungkap dalam laporan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) yang terbit pada Agustus 2020. CREA menggunakan data Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) PM 2.5 dari stasiun pemantauan kualitas udara oleh Kedutaan Amerika Serikat.

Hasilnya, pada 2017, terdapat 40 hari dengan kualitas udara baik di ibu kota, mayoritas pada bulan Januari, November, dan Desember saat musim hujan.

Namun, jumlah “hari baik” tersebut menurun pada 2018, di mana hanya terdapat 25 hari dengan kualitas udara sehat. Sementara itu ada 101 kualitas udara dengan kategori tidak sehat. Pada 2019, jumlah hari dengan udara sehat di ibu kota semakin menipis. Hanya ada 8 hari baik dan hari tidak sehat meningkat menjadi 172 hari.

Foto udara pencemaran udara di Jakarta. Foto: Greenpeace

Sementara itu pada Januari-Mei 2020, tidak ada satupun udara baik. Menurut catatan CREA, kualitas udara periode Maret-Mei masuk kategori sedang hingga tidak sehat. Hal ini terjadi meskipun Jakarta sedang mengurangi mobilitas perkotaan akibat pandemi Covid-19. CREA juga menyebut ini pertama kalinya tidak ada satu hari pun yang memiliki kualitas udara yang baik dalam empat tahun terakhir. 

“Musim kemarau (Mei hingga Oktober) mendapati jumlah hari terbanyak dengan kualitas udara paling tidak sehat. Musim hujan (November hingga Maret) memberikan sedikit kelonggaran tetapi kualitas udara secara keseluruhan pada tahun 2018 dan 2019 menunjukkan bahwa pada sebagian besar tahun berjalan PM2.5 berada pada tingkat yang tidak sehat bagi kelompok-kelompok sensitif, dan untuk kali pertama dalam empat tahun terakhir, tidak satu hari pun di tahun 2020 memiliki kualitas udara yang baik,” tulis CREA. 

CREA menduga bahwa hal itu disebabkan oleh faktor lain, selain polutan PM 2.5. Analisis citra satelit mengungkap bahwa titik konsentrasi utama polutan bernama nitrogen dioksida (NO2) ambien ada di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. 

Menurut CREA, tingkat polutan tersebut naik di area Banten, Jawa Barat, dan Lampung bagian selatan selama 10 tahun terakhir. NO2 juga meningkat signifikan di Jepara lantaran ekspansi pembangkit listrik tenaga uap batu bara.

“Ini menunjukkan tren peningkatan penggunaan bahan bakar fosil dan emisi di luar Jakarta, yang juga berarti adanya peningkatan dampak lintas batas pada kualitas udara di Jakarta,” tulis CREA.

“Hal ini telah berkontribusi pada memburuknya hasil ukuran konsentrasi PM2.5 ambien di Jakarta, karena PM2.5 sekunder bersirkulasi dengan kondisi meteorologi yang menyebabkan pergerakan jarak jauh. Bersama-sama dengan pencemaran dari sumber-sumber lokal, ini dapat menyebabkan peristiwa pencemaran yang lebih tinggi,” tulis CREA.

Ini telah mencapai titik di mana pencemaran udara telah tiga kali lipat lebih buruk dibandingkan konsentrasi yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang berakibat pada semakin buruknya dampak kesehatan bagi masyarakat.”

Rekomendasi WHO untuk rata-rata tahunan adalah 10 μgҝm3 untuk PM2.5. Namun saat ini PM2.5 tahunan di Jakarta telah meningkat hingga empat kali lipat rekomendasi tersebut, melewati batas yang dianggap sehat oleh organisasi tersebut.