Kelompok Aktivis Lingkungan Desak untuk Menunda COP26

Penulis : Tim Betahita

Perubahan Iklim

Kamis, 09 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Koalisi lebih dari 1,500 kelompok lingkungan mendesak untuk menunda konferensi iklim COP26 yang akan diadakan di Glasgow pada November 2021 mendatang. Mereka berpendapat bahwa adanya ketidakadilan akses yang dapat membatasi beberapa delegasi negara.

Konferensi COP26 bertujuan untuk memacu komitmen yang lebih ambisius oleh negara-negara untuk mencapai emisi karbon nol bersih (net zero) pada tahun 2050 dan menjaga kenaikan suhu rata-rata global jauh di bawah 2 derajat celcius selama abad ini, sejalan dengan kesepakatan Paris 2015.

"Biasanya lebih dari 190 delegasi negara menghadiri konferensi tahunan ini, tetapi dengan banyak negara yang masih bergulat dengan Covid-19 dan negara-negara miskin yang masih berjuang untuk mengakses vaksin, mereka harus menunda COP26," teriak Jaringan Aksi Iklim (CAN).

Sebelumnya, COP26 telah ditunda dari tahun lalu karena krisis Covid-19 dan dijadwalkan kembali pada 31 Oktober hingga 12 November di Glasgow, Skotlandia.

Para pemuda pegiat lingkungan Greenpeace menuntut perlindungan iklim di Berlin. Dok. Jan Zappner melalui Greenpeace International.

“Kekhawatiran kami adalah bahwa negara-negara yang paling terkena dampak krisis iklim dan negara-negara yang menderita karena kurangnya dukungan dari negara-negara kaya dalam menyediakan vaksin akan dikeluarkan dari pembicaraan,” ujar Tasneem Essop, Direktur Eksekutif CAN.

Farhan Haq, juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, mengatakan COP26 merupakan urgensi yang ditetapkan secara ilmiah untuk memerangi perubahan iklim sehingga segala penundaan tidak akan berlaku lagi.

“Komunitas ilmiah global telah menjelaskan bahwa perubahan iklim sekarang merupakan keadaan darurat global, dan hanya langkah mendesak dan besar dalam aksi iklim yang dapat menjaga tujuan Perjanjian Paris dalam jangkauan dan melindungi negara dan komunitas yang paling rentan dari dampak iklim yang memburuk,” kata Haq.

Tuan rumah COP26, Inggris, mengatakan pada Juni akan menawarkan vaksin kepada delegasi yang membutuhkannya dan mengatakan vaksinasi di bawah program ini akandimulai minggu ini.

Namun, CAN mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa Inggris lambat dalam memberikan vaksin dan akibatnya banyak negara kemungkinan akan ketinggalan.

Masalah ini diperparah dengan perlunya karantina 10 hari di hotel bagi delegasi yang masuk dalam daftar merah oleh Inggris.

Presiden COP26 Inggris, Alok Sharma, mengatakan Inggris akan membayar biaya karantina dan konferensi akan tetap berjalan sesuai rencana.

“Memastikan bahwa suara mereka yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim didengar adalah prioritas, jika kita ingin mewujudkan planet kita, kita membutuhkan semua negara dan masyarakat sipil untuk membawa ide dan ambisi mereka ke Glasgow,” jelas Sharma dalam sebuah pernyataan.

Negara-negara yang rentan menyerukan “pakta darurat” Forum Rentan Iklim (CVF) mengatakan COP26 sangat penting dan tidak bisa ditunda.

Mewakili sekitar 1,2 miliar orang, CVF terdiri dari negara-negara di Afrika, Asia, Karibia, Amerika Latin, dan Pasifik. Kelompok ini telah menjadi kunci dalam mendorong seluruh dunia untuk menerima gagasan menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5 celcius abad ini.

Penelitian terbaru dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim menunjukkan bahwa ambang batas akan dilewati dalam waktu kurang dari satu dekade dengan tingkat emisi karbon saat ini.

Menjelang pertemuan di Glasgow, CVF telah mengeluarkan manifesto tentang apa yang harus disampaikan konferensi tersebut untuk menjaga bumi agar tetap aman dan melindungi yang paling rentan.

CVF bersikeras COP26 harus dilakukan secara langsung, dan menyerukan dukungan serta “akses yang difasilitasi” untuk memastikan partisipasi yang inklusif.

Pemerintah Inggris telah menanggapi seruan ini dengan menyetujui untuk membayar biaya hotel karantina dari setiap delegasi, pengamat, atau media dari negara berkembang. Kelompok rentan mengatakan bahwa kemajuan perubahan iklim telah terhenti dan COP26 harus bergerak maju dengan apa yang disebutnya sebagai “pakta darurat iklim”.

Ini akan membuat setiap negara mengajukan rencana iklim baru setiap tahun mulai dari sekarang hingga 2025. Saat ini, penandatangan kesepakatan Paris hanya diwajibkan untuk mengajukan rencana baru setiap lima tahun.

Negara-negara yang rentan mengatakan bahwa negara-negara kaya harus memenuhi
kewajiban mereka untuk memberikan $100 miliar dalam pendanaan iklim per tahun selama periode 2020-2024.

Negara-negara CVF ingin uang ini dibagi 50-50 antara pemotongan karbon dan membantu negara-negara beradaptasi dengan ancaman yang ditimbulkan oleh kenaikan suhu. Mereka juga mendesak Inggris untuk “mengambil tanggung jawab penuh” untuk aspek negosiasi ini, dengan mengatakan sangat penting untuk memulihkan kepercayaan pada pakta Paris.

Di antara bidang-bidang lain yang dilihat kemajuannya oleh negara-negara paling rentan adalah persoalan pertukaran utang-untuk-iklim. Banyak negara miskin di dunia memiliki beban utang yang besar dan ini diperparah oleh pandemi Covid-19 yang semakin menggeliat masalah keuangan.

Dalam pertukaran utang-untuk-iklim, suatu negara dapat mengurangi utangnya kepada kreditur internasional dengan mengarahkan pembayaran layanan utang untuk mendanai energi terbarukan atau perlindungan alam yang lebih besar.

Salah satu restrukturisasi tersebut baru-baru ini diumumkan oleh Belize di mana uang utang sekarang akan digunakan untuk mendukung proyek konservasi laut. “Negara-negara yang rentan memiliki kebutuhan unik—dan kolaborasi publik—swasta akan menjadi kunci untuk mengatasinya,” kata Nigel Topping, yang merupakan juara aksi iklim tingkat tinggi Inggris untuk COP26.

“Apakah dalam utang untuk pertukaran alam seperti pengumuman Belize baru-baru ini atau dalam meningkatkan kemampuan sektor publik untuk menyusun proyek investasi untuk menarik pembiayaan swasta, tujuannya adalah untuk mempercepat kemajuan di bidang ini sehingga 2022 menjadi tahun solidaritas aksi iklim.”

Penulis: Syifa Dwi Mutia, reporter magang di betahita.id

REUTERS