Indonesia Masuk Jajaran Negara Penentu Kehancuran Bumi

Penulis : Tim Betahita

Perubahan Iklim

Jumat, 10 September 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Indonesia termasuk negara penentu dari kehancuran dunia. Hal itu dikemukakan Utusan iklim AS, John Kerry. Menurut Kerry setidaknya ada 20 negara penghasil emisi terburuk yang sangat berpengaruh terhadap kondisi masa depan Bumi.

John Kerry, menegaskan jika 20 negara penghasil emisi terburuk tidak mengambil ‘tindakan nyata’ untuk mengatasi krisis iklim, lingkungan akan mencapai titik kehancuran dan tidak terselamatkan.

“Ada 20 negara yang bertanggung jawab atas sekitar 80 persen dari semua emisi di dunia, dan jika negara-negara itu tidak melakukan cukup, seluruh dunia akan hancur oleh tindakan mereka – atau kurangnya tindakan, seperti yang mungkin terjadi,” tegas Kerry (8/9) kepada peserta dialog tingkat tinggi dengan para pemimpin Amerika Latin untuk persiapan COP 26.

"Inilah momennya," katanya. “Kami membutuhkan ekonomi besar, 20 negara yang merupakan 80 persen, untuk bertindak, dan kami perlu menyusun rencana yang jelas untuk apa yang akan kami lakukan.”

Ilustrasi bencana kekeringan. Foto: Global Risk Insight

Menurut Badan Energi Internasional antar pemerintah, 20 penghasil emisi teratas pada 2018 adalah Indonesia, China, AS, India, Rusia, Jepang, Jerman, Korea Selatan, Iran, Kanada, Arab Saudi, Meksiko, Afrika Selatan, Brasil, Australia, Turki, Inggris, Italia, Polandia, dan Prancis.

Melihat kembali pada Perjanjian Paris 2015, Kerry berpendapat bahwa komitmen negara untuk menahan kenaikkan suhu ‘jauh di bawah 2 derajat’ tidak memadai sehingga suhu 1,5 derajat harus menjadi target. Meskipun begitu, Kerry menambahkan, hanya 55 persen ekonomi global yang telah berkomitmen untuk memfasilitasi tujuan ini.

“Jika kita tidak melakukan cukup antara 2020 dan 2030, maka 1,5 derajat sudah mati, hilang — itu akan terjadi; bahkan 2 derajat akan terjadi,” tambah Kerry. “Dan saat ini, seperti yang kita bicarakan hari ini, sayangnya kita berada di jalur untuk mencapai suatu tempat antara 3, 4 derajat pada tingkat saat ini.”

Bahkan jika setiap negara memenuhi komitmen individu yang dibuat dalam kesepakatan iklim Paris era Obama, dia menjelaskan, kenaikan suhu akan “masih lebih dari 3 derajat.” Dan sementara Kerry mengakui bahwa keadaan ini bukan karena niat jahat negara mana pun, dia menekankan kebutuhan mendesak untuk bergerak melampaui apa yang “ingin dilakukan oleh negara.”

“Kami harus melakukan apa yang harus kami lakukan, apa yang harus kami lakukan, untuk mencapai tujuan kami,” kata Kerry. “Dan hanya dengan melakukan itu kita dapat memenuhi tujuan tahun 2030, yang membuat kita berada di jalur untuk mencapai nol bersih pada tahun 2050.”

"Ini bukan masalah politik, ini bukan masalah ideologi - ini matematika dan fisika sederhana," tambahnya.

Sementara, Indonesia sendiri masih belum siap untuk memerangi krisis iklim. Melansir dari CNNIndonesia, upaya Indonesia seperti mempercepat transisi energi fosil ke energi terbarukan (EBT) masih sulit terealisasi akibat masalah internal negara, menurut Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan

"Kita tidak harus memaksakan untuk mengikuti tren saat ini, di mana kita lihat industri dalam negeri sendiri belum memungkinkan untuk kita jor-joran ke arah sana. Karena akan membebani negara dan PLN," kata Mamit.

Mamit berpendapat, pemerintah dapat melakukan cara lain untuk mencapai target umum energi nasional (RUEN) seperti mengurangi ketergantungan energi fosil.

"Ada cara lain untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi dari batu bara. Salah satunya yaitu dengan cara peningkatan co-firing biomass. PLN sudah mencoba dan berhasil di beberapa pembangkit mereka. Ini juga bisa membantu mengurangi sampah," jelas Mamit.

Sama halnya dengan pakar energi dari Institute Teknologi Surabaya (ITS), Mukhtasor menekankan langkah untuk menekan emisi karbon demi menjaga kelestarian bumi adalah dengan mengurangi penggunaan energi tak terbarukan secara bertahap.

"Tata kelola energi itu harus dijaga bareng-bareng. Jangan sampai yang terjadi adalah hukum rimba. Kalau ini yang terjadi, nanti bukan undang-undang yang diikuti, tetapi yang kuat pengaruhnya. Kecenderungan ke arah situ sudah ada," katanya.

Penulis: Syifa Dwi Mutia, reporter magang di betahita.id