Papua: Soal Mereka yang Terpisah Sementara dari Kampungnya

Penulis : Sandy Indra Pratama

Hukum

Sabtu, 11 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -Ucapan perempuan itu terdengar lemah di ujung sambungan telepon seluler. Nafasnya menderu seolah menahan banyak beban. Lidahnya seolah kelu, tak banyak yang bisa diceritakan.

“Puluhan kilometer kini kami terpisah dari kampung tempat tinggal kami,” begitu kisah suara dari balik sambungan telepon. “Kami cuma bawa apa yang menempel di badan kami.”

Suara dari balik sambungan telepon itu milik Agnes Faan. Ia adalah Kepala Kampung Tahsimara yang sementara terpisah dari rumahnya dan kini masih hidup dalam pengungsian. “Saya sudah sekitar satu pekan lebih meninggalkan kampung,” ujarnya saat diwawancarai betahita.

Bersama Agnes, turut serta 73 orang warga Kampung Tahsimara, Distrik Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat Papua Barat. Para warga kini berjejal menumpang di empat rumah kosong di Kampung Mowes, Distrik Aifat Utara. “Beruntung warga di sini menerima kami sebagai saudaranya yang butuh pertolongan,” ujar Agnes.

Perempuan adat Tanah Papua di dalam hutan. Perempuan adat memegang hak kelola hutan ulayat karena peran pentingnya sebagai tulang punggung pangan di dalam keluarga. Foto: Pusaka

Pascainsiden penyerangan Pos Ramil Kisor, Distrik Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat, Papua Barat, kata Agnes, masyarakat kampungnya tak tenang. Setiap saat resah, tak tentu apa yang akan terjadi menyusul kejadian penyerangan yang mengakibatkan empat anggota tentara tewas akibat luka sayatan senjata tajam.

Meski memang ada dua orang yang diamankan. “Namun kami tetap merasa tidak aman,” ujar Agnes.

Kabar terakhir, Polres Sorong Selatan menetapkan 17 nama masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) terkait penyerangan Pos Koramil Kisor, di Distrik Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat, Papua Barat. 

Sebanyak 2086 warga Maybrat berjalan berkilo-kilo meter, mendaki gunung, melewati hutan menyebrangi sungai, sejak 2 September 2021 -hari insiden terjadi. Mereka mencari tempat mengungsi agar terhindar dari rasa takut dan khawatir adanya respon keras dari aparat saat operasi pencarian pelaku penyerangan pos tentara berlangsung ke kampung-kampung.

Ribuan warga dari 36 kampung pada 5 distrik mengungsi ke 10 tempat penyebaran, yaitu hutan, Kumurkek, Aitinyo, Ayamaru, Aifat Utara, (Kab Maybrat), Mukamat Distrik Kais Darat, Teminabuan (Kab. Sorong Selatan), Arandai, Atori (Kab. Bentuni) dan Sorong (Kota dan Kabupaten). Dari 2086 warga yang mengungsi, 69 diantaranya adalah balita, dan 11 orang mengalami sakit.

Agnes kemudian mencoba mengingat apa yang terjadi saat keputusan pertama mereka meninggalkan kampung. “Isu soal akan ada penyisiran membuat kami bergegas, menyelamatkan harta benda terlebih dahulu ke dalam hutan,” ujarnya.

Lepas itu, lanjut Agnes, “kami yang lari ke dalam hutan.”

Kejadian penyerangan berlangsung pada dini hari, sambung Agnes, warga sudah bersiap pergi pagi harinya. “Kami berlari dengan panik” ujarnya. “Akibatnya ada satu ibu lansia yang harus menderita kecelakaan dalam perjalanan pelarian.”

Beberapa hari, kata Agnes, jika tak salah tiga hari para warga menghabiskan waktunya di sebuah shelter perusahaan kayu masih di wilayah kampung mereka, namun jauh di dalam hutan. Untuk bertahan hidup mereka mencari bahan yang ditemukan di dalam hutan, sebab tak banyak harta yang bisa mereka bawa serta.

“Hari ke empat, baru ada kendaraan yang bisa membawa kami ke tempat kami mengungsi sekarang,” ujar Agnes. Sejak pagi usai insiden penyerangan, anak-anak Kampung tahsimara tak sekolah, para pria tak bekerja. “Mereka semua kini hidup dalam ketidakpastian,” ujar Agnes.

Pemerintah Kabupaten Maybrat memang sudah memberikan perhatian, Kata Agnes. Kontak telepon berlangsung beberapa kali demi memastikan kondisi warga yang mengungsi. Sejauh ini, kondisi bahan makanan dan pakaian disediakan pihak tuan rumah yang masih ada kekerabatan dengan warga Kampung Tahsimara.

Saat ini tak pasti pertambahan jumlah pengungsi yang pergi akibat khawatir adanya insiden lanjutan dari penyerangan pos tentara. “Kami ingin pulang secepatnya, pulang ke kampung dan menjalani hari seperti biasa,” kata Agnes.

Lepas perkataan itu Agnes diam. Lama Sekali.

Dari ujung telepon lalu Agnes berkata, “Doakan kami.”