2020: Tahun Paling Mematikan Bagi Pembela Lingkungan dan HAM

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Selasa, 14 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Walau pandemi, ancaman terhadap pembela lingkungan tak juga berhenti. Kajian terbaru justru mencatat rekor pembunuhan tertinggi pada 2020, seiring dengan kekerasan dan perampasan tanah yang terus berlanjut di berbagai negara.

Laporan dari Global Witness mencatat terdapat 227 individu dibunuh sepanjang tahun 2020. Kematian mereka berhubungan langsung dengan aktivitas dalam membela dan melindungi hutan, sungai, dan ekosistem lain yang mendukung penghidupan mereka.  

Penulis laporan juga menekan bahwa seluruh pembunuhahan itu (kecuali satu kasus) terjadi di luar Amerika Utara, Eropa, dan Oseania. Menurut penulis, konflik terkait lingkungan, seperti krisis iklim, berdampak pada negara-negara berpenghasilan rendah secara tidak proporsional di Global Selatan (Global South). Masyarakat adat juga menjadi korban paling banyak, walau hanya 5% dari populasi dunia. 

“Pada 2020, kami mencatat 227 serangan mematikan – rata-rata lebih dari empat kematian per minggu – menjadikannya sekali lagi sebagai tahun paling berbahaya dalam catatan bagi orang-orang yang mempertahankan rumah, tanah, dan mata pencaharian mereka, serta ekosistem yang penting bagi keanekaragaman hayati dan iklim,”  ungkap penulis laporan tersebut. 

Mesin dan truk beroperasi di tambang batu bara Cerrejon di Barrancas, La Guajira, Kolombia. Pembela lingkungan yang menolak tambang menjadi korban pembunuhan di Kolombia, yang pada 2020 menjadi negara dengan pembunuhan terbanyak terhadap pembela HAM dan lingkungan. Foto: Nicolo Filippo Rosso/Bloomberg via Getty Images

“Seiring dengan memburuknya krisis iklim, kebakaran hutan, kekeringan yang menghancurkan pertanian, dan banjir menewaskan banyak orang, situasi bagi komunitas terdepan dan pembela linkungan semakin buruk.”  

Jumlah kematian tahunan juga meningkat selama dua tahun terakhir, dan saat ini berlipat ganda ketimbang tahun 2013. Namun, angkanya juga diperkirakan jauh lebih banyak karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. Seperti biasa, serangan terhadap pembela lingkungan meliputi intimidasi, pengawasan, kekerasan seksual, dan kriminalisasi.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Amerika Selatan dan Amerika Tengah – rumah bagi biodeversitas terkaya dan hutan alam primer – menjadi wilayah paling mematikan bagi individu atau komunitas yang menolak tambang, pembalakan, dan agribisnis.

Kolombia menjadi negara paling mematikan bagi aktivis dan pembela  HAM dan lingkungan selama dua tahun berturut-turut dengan 65 kematian pada 2020. Korban termasuk ahli biologi Gonzalo Cardona, yang berjasa menyelamatkan spesies burung beo telinga kuning dari kepunahan. Cardona dibunuh oleh kelompok kriminal. Penjaga hutan Yamid Alonso Silva juga dibunuh di dekat Taman Nasional El Cocuy.

Meksiko menyusul dengan 30 individu yang terbunuh, meningkat sebesar 69% dibandingkan pada 2019. Hampir sepertiga penyerangan berkaitan dengan pembalakan, dan setengah dari jumlah pembunuhan itu menargetkan masyarakat adat. Korban diantaranya, Oscar Eyraud Adams, masyarakat adat Kumiai di Meksiko yang memprotes saat kekeringan lahan pertanian usaisumber air komunitas itu dialihkan ke area lebih kaya dan pabrik Heineken. 

Pada urutan ketiga, Filipina mencatat 29 kematian, membuatnya menjadi negara paling mematikan bagi pembela lingkungan di Asia. Filipina juga menderita paling banyak pembantaian. Kejadian paling mengejutkan terjadi pada Desember 2020 ketika anggota militer dan polisi membantai 9 masyarakat adat Tumandok yang aktif menolak pembangunan bendungan raksasa di Sungai Jalaur di Panay.

Brazil menempati peringkat keempat negara paling berbahaya, dengan 20 kematian sepanjang 2020. Angka itu menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, namun konflik justru meningkat di bawah pemerintahan Presiden Jair Bolsonaro. 

Bentuk penyerangannya juga tidak lagi dalam skala becil atau penyerangan ilegal di level lokal, namun melalui peraturan dan kebijakan yang mengancam perlindungan lingkungan dan tanah. Menurut Global Witness, legislasi yang terbit cenderung mengkriminalisasi dan mengurangi hak politik pembela tanah dan lingkungan.

Selain itu, Nikaragua mencatat 12 pembunuhan pembela lingkungan. Negara ini juga menjadi negara paling mematikan berdasarkan per kapita dan salah satu hotspot yang paling cepat memburuk, dengan pembunuhan lebih dari dua kali lipat dari tahun sebelumnya.

Menurut Global Witness, lockdown akibat pandemi Covid-19 memberikan sedikit kelonggaran bagi pembela lingkungan, namun juga membuka wilayah baru bagi perampas lahan dan tanah serta pemburu liar.

Di berbagai negara, kebijakan lockdown juga turut memengaruhi keleluasaan dalam berdemonstrasi. Menurut Freedom House, setidaknya 158 negara memberlakukan pembatasan terhadap aksi demonstrasi karena pandemi. Pada beberapa kasus, lockdown justru mempermudah pembunuh untuk mencari target dan menjadikan para pengkampanye semakin rentan terhadap serangan digital.

Global Witness dan mitranya mengakui kesulitan untuk menginvestigasi penyebab dari setiap pembunuhan. Namun temuannya mengungkap paling tidak 30% dari serangan yang tercatat berhubungan dengan eksploitasi sumber daya alam, pembalakan besar-besaran, dan bendungan hidroelektrik. Namun, penyebab lebih dari 100 kematian masih belum diketahui.

Laporan itu juga meyoroti peran perusahaan dalam berbagai pembunuhan dan kekerasan pada 2020. “Banyak perusahaan terlibat dalam model ekonomi ekstraktif yang sangat memprioritaskan keuntungan di atas hak asasi manusia dan lingkungan. Kekuatan korporat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan ini adalah kekuatan mendasar yang tidak hanya mendorong krisis iklim ke tepi jurang, tetapi juga terus melanggengkan pembunuhan para pembela HAM,” tulis laporan itu.

“Di banyak negara, yang kaya akan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang kritis terhadap iklim, perusahaan beroperasi dengan impunitas yang hampir sempurna. Karena keseimbangan kekuasaan ditumpuk untuk kepentingan korporasi, jarang ada orang yang ditangkap atau dibawa ke pengadilan karena membunuh para pembela HAM. Ketika mereka biasanya pelakunya – orang-orang yang memegang senjata, bukan mereka yang mungkin terlibat, secara langsung atau tidak langsung, dalam kejahatan tersebut,” tulis Global Witness.