KPA Menilai di Era Jokowi Konflik Agraria Makin Menjadi

Penulis : Tim Betahita

Agraria

Selasa, 14 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) konflik agraria yang terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo 2015-2020 mencapai 2.291 kasus. Angka itu, menurut Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika melampaui 10 tahun masa kepemimpinan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya 1.770 kasus.

"Sehingga memang sekarang yang terjadi adalah konflik agraria yang tidak berkesudahan," kata Dewi dalam diskusi virtual.

Berdasarkan catatan KPA, dalam periode 2015-2020, sektor perkebunan menjadi penyumbang konflik tertinggi, yaitu 851 kasus. Diikuti sektor properti 519, kehutanan 169, pertanian 147, pertambangan 141, pesisir dan pulau-pulau kecil 63 serta, pembangunan infrastruktur 30, dan fasilitas militer 21.

"Sehingga tidak heran kalau bicara situasi riil di lapangan sampai sekarang ada puluhan ribu desa dengan tanah-tanah pertanian produktif masyarakat yang tumpang tindih di dalam konsesi perkebunan HGU milik swasta atau negara," ujarnya.

Aksi petani menolak Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law di Jakarta, 2020. Foto: Konsorsium Pembaruan Agraria

Jumlah kasus konflik lahan tersebut menunjukkan ada tindakan perampasan tanah yang sangat masif di seluruh wilayah Indonesia.

"Baik itu di desa-desa yang ditempati oleh masyarakat agraris, bahari, pedesaan, hingga masyarakat adat," imbuhnya.

Dewi lalu mendesak agar pemerintah menjalankan mandat Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 serta memperkuat agenda kerakyatan di bidang agraria.

Model pembangunan yang dijalankan pemerintah saat ini membutuhkan lahan yang luas, sehingga potensi perampasan dan penggusuran lahan warga semakin meningkat.

"Kalau konstitusi dan UUPA tidak kunjung ditegakkan maka yang terjadi adalah terlanggarnya prinsip keadilan kesejahteraan. Yang mana itu menjadi cita-cita dari para pendiri dan pemikir bangsa," ujarnya.

Dia pun menekankan bahwa UUPA mengatur hak atas tanah bagi seluruh warga negara Indonesia dari seluruh lapisan. Mulai dari masyarakat kecil hingga korporasi besar. Semuanya memiliki hak dan pemerintah harus memperhatikan itu.

"Jadi sudah diatur sedemikian rupa, bukan berarti itu UUPA tidak memperdulikan Korporasi badan besar. Tetapi diatur sehingga penguasaan tanah itu tidak bersifat monopoli swasta," kata dia.

Rincian catatan konflik Agraria versi KPA

Dari keseluruhan konflik, berdasar dokumen catatan akhir tahun KPA, sebanyak 69%-nya terjadi di dua sektor klasik, yaitu perkebunan dan kehutanan. Di Sektor Perkebunan, berdasarkan pemilikan badan usaha, konflik akibat Perkebunan BUMN sebanyak 12 kasus dan perkebunan swasta sebanyak 106 kasus.

Sementara jika berdasarkan komoditasnya, perkebunan sawit sebanyak 101 letusan. Selanjutnya diikuti perusahaan perkebunan komoditas tebu, karet, teh, kopi, dan lainnya.

Di sektor kehutanan, letusan konflik agraria sepanjang tahun 2020, terjadi akibat aktivitas perusahaan-perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebanyak 34 letusan konflik, hutan lindung 6 konflik, dan perusahaan HPH sebanyak 1 konflik.

Sementara itu, terjadi 30 letusan konflik agraria akibat proyek pembangunan infrastruktur di tahun 2020. Konflik akibat pembangunan infrastruktur tahun ini didominasi oleh beragam Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), yakni sebanyak 17 letusan konflik.

Mulai dari pembangunan jalan tol, bandara, kilang minyak, pelabuhan, hingga akibat pembangunan infrasturktur pendukung pariwisata premium seperti Danau Toba, Labuan Bajo dan Mandalika. Sisanya akibat pembangunan stasiun, bendungan dan gelanggang olah raga (GOR).

Selanjutnya, konflik agraria yang berkaitan dengan fasilitas milter akibat klaim aset TNI sebanyak 9 kasus, pusat latihan tempur (1) dan Lanud (1). Di sektor pesisir kelautan yaitu tambak (1), reklamasi (1) dan pulau kecil (1).

Di sektor bisnis properti, letusan konflik agraria terjadi akibat klaim aset pemerintah (8), pembangunan kawasan perumahan (6), real estate (2), kawasan industri (2), resort (1), dan perkantoran (1). Selanjutnya, konflik agraria di sektor pertambangan didominasi oleh pertambangan semen (4), emas (3), batubara (2), pasir, geotermal dan nikel masing-masing satu kali. Terakhir, di sektor agribisnis diakibatkan oleh pembangunan food estate dan peternakan masing-masing 1 (satu) kasus.

Tahun ini, ada 30 provinsi terdampak konflik agraria, dan Pulau Sumatera mendominasi konflik agraria yang terjadi. Lima besar provinsi dengan letusan konflik agraria terbanyak terjadi di Riau sebanyak 29 letusan konflik, Jambi (21), Sumatra Utara (18), Sumatra Selatan (17) dan Nusa Tenggara Timur sebanyak 16 letusan konflik.

Letusan-letusan konflik agraria di atas, tidak jarang diikuti tindakan kekerasan dan kriminalisasi di lapangan. Sepanjang Januari hingga Desember tahun ini, KPA mencatat setidaknya telah terjadi 134 kasus kriminalisasi (132 korban laki-laki dan 2 perempuan), 19 kali kasus penganiayaan (15 laki-laki dan 4 perempuan), dan 11 orang tewas di wilayah konflik agraria.

Sementara itu, konflik agraria yang berkaitan dengan fasilitas milter akibat atau klaim aset TNI (9), pusat latihan tempur (1) dan Lanud (1). Di sektor pesisir kelautan yaitu tambak (1), reklamasi (1) dan pulau kecil (1). Terakhir, di sektor agribisnis diakibatkan oleh pembangunan food estate dan peternakan masing-masing 1 (satu) kasus.