Perlawanan Desa Wadas Makin Keras

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tambang

Kamis, 16 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Desa Wadas terus melawan. Setelah kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, karena gugatannya ditolak Majelis Hakim, warga Desa Wadas resmi mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada Selasa (14/9/2021) kemarin. Jaringan masyarakat sipil menilai Putusan Hakim PTUN yang menolak gugatan warga Desa Wadas itu adalah bukti nyata bahaya Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja.

Hasrul Buamona dari Koalisi Advokat untuk Keadilan Wadas mengatakan, pihaknya telah menyerahkan Memori Kasasi ke MA, melalui PTUN Semarang, pada 14 September 2021 kemarin. Memori Kasasi itu adalah perlawanan terhadap Putusan Majelis Hakim PTUN Nomor 68 tahun 2021 yang menolak gugatan warga Desa Wadas terhadap Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah.

Pihaknya menilai, Putusan PTUN Semarang seharusnya memiliki nilai substansial. Artinya Hakim terikat untuk mengikuti dan menerapkan putusan terdahulu, baik yang dibuat sendiri ataupun yang dibuat Hakim terdahulu pada kasus serupa.

Hasrul melanjutkan, Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo, tidak menggunakan Undang-Undang Pengadaan Tanah sebagai rujukan dalam membuat keputusan penetapan lokasi pendadaan tanah bagi pembangunan Bendungan Bener. Sehingga Gubernur Ganjar patut dianggap tidak memiliki landasan hukum dan tidak menjalankan azas hukum pemerintahan yang baik.

Tangkapan layar dari aksi massa warga Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, digelar secara daring, Jumat, 23 Juli 2021. Foto: Betahita

"Sangat mutlak kemudian Mahkamah Agung harus menyatakan tidak sah dan batal demi hukum terkait surat keputusan yang dikeluarkan Ganjar Pranowo yang kemudian menjadi objek sengketa perkara ini," kata Hasrul dalam konferensi pers yang digelar secara virtual, Rabu (15/9/2021).

Hasrul menganggap, penetapan lokasi proyek pertambangan didasarkan dengan alasan untuk kepentingan umum sebenarnya tidak bisa dibenarkan. Karena kepentingan umum dan pertambangan adalah dua konteks yang berbeda dan juga diatur menggunakan dua undang-undang yang berbeda. Yakni Undang-Undang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Di kesempatan sama, Fajar perwakilan Kawula Muda Desa Wadas (Kamudewa) mengatakan, gerakan penolakan tambang andesit oleh pemuda di Wadas sejauh ini masih kuat. Para pemuda secara bergantian melakukan penjagaan di pos-pos jaga dan di hutan yang akan ditambang. Tidak hanya itu, para pemuda Desa Wadas juga melakukan berbagai acara kampanye serta membuat mural untuk mengekspresikan penolakan pertambangan andesit itu.

Kekalahan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN) Semarang, menurut Fajar, tidak menjatuhkan semangat warga untuk tetap berjuang. Fajar berharap upaya hukum Kasasi yang mereka tempuh dapat dimenangkan oleh Majelis Hakim di Mahkamah Agung (MA).

"Warga masih kompak. Terkait gugatan2, kemarin kita di Semarang dikalahkan, kita mengajukan Kasasi. Semoga di MA menang. Bukan berarti di PTUN kalah, kita hanya dikalahkan saja dan kita tidak kendor dan terus berjuang untuk ketidakadilan ini," kata Fajar.

Azim, perwakilan Kamudewa lainnya mengakui betapa digdayanya pemerintah dan penguasa setelah Undang-Undang Cipta kerja diberlakukan. Yang mana ketika pemerintah menetapkan suatu wilayah sebagai lokasi Proyek Strategi Nasional (PSN), maka sejak itu masyarakat setempat nyaris tidak akan dapat berbuat apa-apa. Suara dan aspirasi warga Desa Wadas yang menolak hutan desanya ditambang untuk kepentingan pembangunan bendungan, dijawab dengan penangkapan.

"Omnibus ini kepentingan siapa? Apakah dibuat untuk masyarakat atau untuk pemodal dan investor besar? Di kasus Wadas, putusan PTUN kemarin disetting kalah, dan gugatan tidak didengarkan. Masyarakat bukan jadi subjek, tapi sebagai objek. Masyarakat selalu jadi objek kerakusan penguasa," ujar Azim.

Azim juga menilai, sejak awal PTUN Semarang sudah tidak berniat untuk meninjau gugatan yang diajukan masyarakat Desa Wadas. Azim curiga, putusan PTUN Semarang itu sudah lebih lebih dulu ditetapkan, bahkan sebelum gugatan itu diajukan.

"Dari pihak mereka (PTUN) sendiri tidak mau tahu. Yang penting kehendak mereka ini berjalan mulus. Kasus Wadas ini bisa menjadi contoh, yang mana salah satunya, Proyek Bendungan Bener dan Proyek Penambangan di Wadas, Amdalnya dijadikan satu. Keadaan masyarakat yang sebenarnya tidak pernah dilihat. Dianggap bahwa masyarakat setuju, masyarakat baik-baik saja. Negara benar-benar kejam, membungkam kita."

Yang pasti, lanjut Azim, putusan PTUN yang menolak gugatan Desa Wadas itu tidak menyurutkan perjuangan warga. Warga justru menganggap pertarungan warga Desa Wadas di PTUN Semarang itu hanyalah pertarungan di tempat yang salah.

"Pertarungan warga Wadas ya di lapangan. Negara ini melakukan kesalahan namun dungu ngak mau mengakui kesalahan. Kalau ada yang masuk ya kita melakukan perlawanan. Dan masyarakat Wadas semuanya adalah petani, sehingga kalau ada orang yang akan memasang patok ya dilawan dengan apa adanya. Ya bawa arit dan pacul, karena sedang dalam kondisi bertani."

Putusan PTUN Semarang Abaikan Potensi Kerusakan Lingkungan dan Perempuan

Masyarakat sipil menilai Putusan Majelis Hakim PTUN Semarang itu juga mengabaikan dugaan pelanggaran hak asasi manusia, potensi kerusakan lingkungan dan keselamatan warga. Hal itu pula yang menjadi dasar jaringan masyarakat sipil yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Solidaritas Perempuan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Dewa), dan Wadon Wadas melakukan protes terhadap Putusan Majelis Hakim PTUN yang diputus tertanggal 24 Agustus 2021 lalu.

Wahyu Perdana, Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, Putusan Hakim PTUN yang menolak gugatan warga Desa Wadas itu adalah bukti nyata bahaya Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja. Karena Putusan pengadilan pada kasus Wadas ini mengabaikan pertimbangan lingkungan hidup, sosial, dan perempuan.

"Putusan itu manifestasi Omnibus Law yang menunjukkan karpet merah bagi investasi. Bagi kami regulasi seperti UU Cilaka adalah pengkhianatan tertinggi terhadap hak rakyat dan konstitusi," kata Wahyu Perdana, dalam konferensi pers yang sama.

Menyambut pernyataan Wahyu, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Dinda Nuur Annisaa Yura menyebut, Majelis Hakim PTUN Semarang mengabaikan keterangan penting Saksi Ahli Penggugat dan mengabaikan surat rekomendasi Komnas Perempuan. Putusan Hakim menjadi bukti kebijakan pemerintah yang menghancurkan sumber kehidupan perempuan. Sejak awal proyek itu berlangsung, perempuan Wadas menolak dan memperjuangkan keadilan. Perempuan Wadas berhak menyatakan keberatannya.

Penambangan batuan andesit dan pembangunan bendungan berdampak bagi perempuan, menghancurkan kekayaan alam berupa bambu, pencemaran air, dan pencemaran udara. Warga terancam mengalami gangguan pernapasan, kebisingan, dan bencana.

"Pembangunan yang patriarkis akan mengakibatkan menguatnya kekerasan dan ketidakadilan bagi perempuan," kata Dinda.

Bagi perempuan Wadas, lanjut Dinda, tanah adalah ibu, darah daging mereka, sumber kebahagiaan, sumber keselamatan dan sumber kebijaksanaan hidup. Proyek penambangan batuan andesit dan Bendungan Bener menjadi petaka.

Proyek pemerintah di Wadas yang ditopang oleh Undang-Undang Cipta Kerja yang membuka keran investasi besar-besaran. Solidaritas Perempuan mencatat, perempuan mengalami kekerasan dalam setiap konflik agraria. Bentuk kekerasan itu misalnya intimidasi, pernyataan misoginis, dan serangan terhadap seksualitas perempuan. Pemerintah cenderung menggunakan cara-cara yang represif saat warga Wadas menolak proyek itu.

"Omnibus Law Cipta Kerja, akan memasifkan proyek-proyek yang menghancurkan dan menyingkirkan masyarakat atas nama pembangunan dan investasi, sehingga kekerasan terhadap perempuan juga akan semakin menguat."

Proyek Strategis Nasional Banyak Yang Bermasalah

Kepala Divisi dan Hukum Jatam, Muh. Jamil berpandangan, Hakim PTUN Semarang semestinya mengedepankan perlindungan lingkungan dalam putusannya, sebagaimana asas in dubio pro natura. Jatam menilai SK Gubernur Jawa Tengah cacat secara prosedur sekaligus substansi.

"Penambangan batuan andesit itu ilegal karena tidak memiliki persetujuan lingkungan hidup dan tanpa izin dari Menteri. Petaka karena membahayakan lingkungan hidup dan seluruh kehidupan warga," kata Jamil.

Jatam tidak menemukan izin usaha pertambangan batuan andesit sebagai quarry. Pembahasan proyek tersebut digabung dengan dokumen Amdal bendungan, padahal seharusnya terpisah dan berbeda. Selain itu, penambangan di lokasi yang berisiko bencana wajib mencantumkan dokumen anslisi risiko bencana.

Sesuai Undang-Undang Penaggulangan Bencana No 24 Tahun 2007, pihak yang melanggar mendapatkan denda, pidana penjara, dan pencabutan izin. Jatam mencatat, proyek penambangan dan Bendungan Bener ini bukan satu-satunya proyek strategis nasional yang bermasalah. Karena masih banyak proyek pemerintah yang lekat dengan konflik, koruptif dan merusak lingkungan hidup.

Contoh lain proyek strategis nasional yang bermasalah adalah proyek penambangan pasir laut di Kepulauan Kodingareng dan Reklamasi Makassar New Port (MNP) di Sulawesi Selatan. Proyek itu membuat nelayan mengalami kriminalisasi, ruang hidup dirampas, ekosistem laut rusak dan tercemar. Izin tambang bermasalah, karena ada dugaan korupsi dan praktek ijon politik.

Berbagai proyek strategis nasional bermasalah, seperti kasus Wadas, mendapat payung hukum, yakni Perpres Nomor 109 Tahun 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, yang dikeluarkan sejak tahun lalu. Proyek ini sejalan dengan UU Cipta Kerja Omnibus Law.

Jatam menghitung terdapat 131 proyek strategis nasional yang bermasalah, misalnya rencana 56 proyek pembangkit energi kotor dan berbahaya batu bara dengan total kapasitas rencana pembangkitan mencapai 13.615 megawatt.

"Proyek di Wadas dan yang bermasalah harus dievaluasi dan dibatalkan."

Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Era Purnama Sari menyatakan, Putusan Majelis Hakim dalam kasus Wadas menggenapi fakta bahwa UU Cipta Kerja hanya untuk kepentingan investasi atas nama proyek strategis nasional. Jika ada celah yang tersisa yang bisa digunakan masyarakat untuk memperjuangkan keadilan, maka Omnibus Law punya lebih banyak pintu untuk menutup celah itu.

"Pada akhirnya di tangan hakim-hakimlah celah itu ditafsirkan. Sayangnya, Putusan Wadas menjadi lonceng kematian bagi warga Wadas, di mana putusan pengadilan ikut pula mengabaikan aspek keadilan, lingkungan dan keselamatan masyarakat lokal hanya untuk atas nama proyek strategis nasional," ujar Era.

Ketua AJI Indonesia, Sasmito Madrim bilang, AJI mendorong jurnalis untuk bersikap independen dalam menulis konflik Wadas dan mengutamakan pemenuhan Hak Asasi Manusia warga. Jurnalis juga tidak dibenarkan menyembunyikan informasi penting yang berkaitan dengan kepentingan publik.

"Kami mendorong lebih banyak lagi media, termasuk media nasional untuk menyuarakan mereka yang terpinggir," kata Sasmito.

Untuk diketahui, Bendungan Bener merupakan proyek strategis nasional di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Bendungan ini menjadi penyuplai air untuk Kabupaten Purworejo dan Kebumen Jawa Tengah, serta Kulon Progo Yogyakarta.

Dikutip dari laman resmi kppip.go.id, investasi totalnya mencapai Rp 2.060 triliun. Penganggung jawab proyek ini adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Proyek mulai konstruksi 2018 dan rencananya mulai beroperasi 2023.

Bendungan ini direncanakan memiliki kapasitas sebesar 100,94 meter kubik. Targetnya, bendungan ini dapat mengairi lahan seluas 1.940 hektare, menyediakan air baku sebesar 1.500 liter per detik, dan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) 6 Mega Watt (MW).

Saat ini, proyek ini digarap oleh sejumlah perusahaan pelat merah. Mulai dari PT Waskita Karya (persero) Tbk, PT PP (persero) Tbk, dan PT Brantas Abipraya (persero).

Jaringan masyarakat sipil menilai proyek ini sebagai bentuk perampasan dan penghancuran ruang hidup yang merupakan bagian dari hak hidup. Perampasan hak hidup itu melanggar Pasal 6 Konvensi Hak Sipil dan Politik pada penjelasan umum PBB Nomor 36 Tahun 2018,

Perampasan itu menyangkut segala tindakan negara baik langsung maupun tidak langsung yang mengancam kehidupan seseorang maupun kolektif. Tanah dan sumber daya alam merupakan sumber kehidupan warga Wadas.

Alasan Wadas Melawan

Sebelumnya, Warga Desa Wadas memiliki beberapa alasan dalam mengajukan gugatan ke PTUN Semarang. Setidaknya ada tujuh poin yang tercantum dalam gugatan.

Pertama, Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah tidak memahami akibat hukum dari berakhirnya izin penetapan lokasi, izin perpanjangan penetapan lokasi serta proses ulang sebelum diterbitkannya izin penetapan lokasi yang baru.

Izin Penetapan Lokasi Bendungan Bener telah berlaku selama 2 tahun dan perpanjangan selama 1 tahun. Sehingga penerbitan Izin Penetapan Lokasi tanpa proses ulang melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Demi Kepentingan Umum, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Demi Kepentingan Umum.

Kedua, Pertambangan Batuan Andesit tidak termasuk Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Hal ini tercantum sebagaimana Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Demi Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dalam Pasal 123 Angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Demi Kepentingan Umum.

Ketiga, Izin Penetapan Lokasi cacat substansi karena tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Purworejo. Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo tidak mengandung Batuan Andesit sebagaimana Pasal 61 Peraturan Daerah Nomor Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purworejo. Kecamatan Bener juga merupakan wilayah yang dikategorikan sebagai Rawan Bencana Longsor sebagaimana Pasal 42 Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purworejo Tahun 2011-2031.

Keempat, Pertambangan Andesit yang Lebih dari 500 ribu meter Kubik harus memiliki AMDAL tersendiri. Berdasarkan Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) untuk rencana kegiatan Pembangunan Bendungan Bener disebutkan bahwa sekitar 12.000.000 m3 batuan Andesit akan dieksploitasi dengan kapasitas produksi 400.000 m3 /bulan.

Penetapan Lokasi bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012 tentang Jenis Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Amdal, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 38 Tahun 2019 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Amdal sebagai pengganti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012, Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Kelima, Tidak memperhatikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah tidak memperhatikan hak-hak yang dimilki oleh Warga Wadas sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI 1945, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Undang–Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Keenam, tidak memperhatikan perlindungan terhadap sumber mata air. Kegiatan rencana pertambangan batuan andesit akan menghancurkan sumber mata air yang ada. terdapat 28 sumber mata air yang tersebar di desa Wadas. Sehingga Izin Penetapan Lokasi melanggar Undang-Undang 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan air dan Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purworejo.

Ketujuh, bagi Warga Wadas makna tanah bukan sekedar rupiah, melainkan menjaga agama dan keutuhan desa. Surat Al Baqarah ayat 11 dan ayat 12 menyebutkan yang artinya (11) Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (12) Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Warga Wadas memandang tanah atau alam secara lebih luas sebagai manifestasi dari wujud Tuhan di muka bumi. Tanah memberi warga kehidupan, sebagai sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tempat beribadah kepada Allah SWT, dan lain sebagainya.