Kala Seribu Lebih Lumba-Lumba Dibantai di Kepulauan Faroe

Penulis : Tim Betahita

Satwa

Rabu, 15 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Perahu-perahu bermotor menggiring ratusan lumba-lumba sisi putih sepanjang lebih dari 40 km ke arah pantai Skálabotnur, Kepulauan Faroe, Denmark. Di tepi pantai, beberapa penduduk menunggu untuk kemudian menyembelih lumba-lumba itu menggunakan pisau.

Seketika air pantai memerah, seiring bergelimpangannya 1,428 lumba-lumba meregang nyawa.

Akhir pekan kemarin di Kepulauan Faroe, merupakan hari pembantaian lumba-lumba terbanyak sepanjang sejarah tradisi “Grindadrap” penduduk Faroe. Tradisi perburuan mamalia laut dari tahun ke tahun ini telah menjadi perdebatan aktivis-aktivis peduli hewan.

Kelompok aktivis, Sea Shepherd, telah mendesak Faroe untuk menghentikan tradisi mengerikan itu sejak 1980-an. Namun, hingga saat ini tradisi tersebut masih berjalan bahkan semakin parah. Sea Shepherd, menyebutkan bahwa jumlah tahun ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah tradisi Grindadrap setelah 1940 yang membunuh 1200 paus pilot. Bahkan lebih banyak dibandingkan “Cove” di Taiji, Jepang.

ilustrasi pembantaian lumba-lumba di Kepulauan Faroe. (Commons.wikimedia.org)

"Ini mungkin perburuan cetacea terbesar yang pernah tercatat di seluruh dunia," tambah organisasi itu dalam sebuah pernyataan yang dirilis (14/9), setelah berbagi rekaman pembunuhan yang dari perairan Denmark.

Rekaman pembunuhan tersebut menunjukan lumba-lumba tersiksa di perairan yang berwarna merah akibat darah dengan ratusan orang menonton di pinggir pantai. Video lainnya menampilkan bangkai lumba-lumba dengan luka menganga besar di tepi pantai.

"Saya mual melihat hal semacam ini," kata seorang komentator di halaman Facebook media lokal Faroe, Kringvarp Føroya. Komentar lainnya menggambarkan pembantaian itu sebagai hal yang "sangat mengerikan",  dan mengatakan, "Saya malu menjadi orang Faroe."

Mengutip dari BBCnews, Pemerintah Faroe mengatakan, rata-rata sekitar 600 paus pilot ditangkap setiap tahun. Sementara, lumba-lumba sisi putih ditangkap dalam jumlah yang lebih rendah, seperti 35 pada 2020 dan 10 pada 2019. Angka ini jelas jauh berbeda dengan jumlah lumba-lumba yang terbunuh tahun ini, yaitu 1.428 ekor dalam sehari.

Bjarni Mikkelsen, seorang ahli biologi kelautan dari Kepulauan Faroe memaparkan pada BBCnews jumlah tangkapan-tangkapan besar berikutnya adalah 1.200 pada 1940, 900 pada 1879, 856 pada 1873, dan 854 pada 1938.

Heri Petersen, ketua pelaksana dari Grindadrap 2021, mengatakan kepada The Guardian bahwa mengakui terlalu banyak lumba-lumba yang digiring dari jarak yang terlalu jauh menuju ke pantai dan dibunuh oleh penduduk setempat.

“Saya terkejut dengan apa yang terjadi,” katanya kepada situs berita lokal In.fo. "Lumba-lumba berbaring di pantai menggeliat terlalu lama sebelum mereka dibunuh."

Hans Jacob Hermansen, mantan ketua Grindadrap 2020, yang cukup menentang pembunuhan ini, mengatakan kepada media lokal bahwa dirinya terkejut dengan peristiwa ini dan menyayangkan karena, “menghancurkan semua pekerjaan yang telah kami lakukan untuk melestarikan penggilingan”.

Tradisi sadis yang masih dilestarikan

Kepulauan Faroe merupakan daerah otonom yang menjadi wilayah terakhir di Eropa yang diizinkan untuk berburu mamalia laut seperti lumba-lumba dan paus. Alasannya, karena Grindadrap dianggap sebagai contoh ‘perburuan lumba-lumba asli’ tradisional.

Walaupun Grindadrap sering menjadi sorotan para aktivis peduli hewan, masyarakat setempat masih menjunjung tinggi perburuan ini untuk mempertahankan tradisi sejak abad ke-16 itu. Tidak menutup kemungkinan bahwa Kepulauan Faroe bebas dari akibat hukum.

Mengutip dari BBCnews, pendukung tradisi ini mengatakan, bahwa perburuan paus dan lumba-lumba adalah cara berkelanjutan untuk mengumpulkan makanan dari alam dan bagian penting dari identitas budaya mereka.

Daging hasil tangkapan tersebut dimaksud untuk memberi makan keluarga lokal. Namun, dalam kasus penyembelihan kali ini, kemungkinan akan ada terlalu banyak daging untuk diberikan kepada 53.000 penduduk pulau - yang berarti sebagian besar bisa terbuang sia-sia.

“Dugaan saya kebanyakan lumba-lumba akan dibuang ke tempat sampah atau lubang di tanah,” kata seorang penduduk yang tidak mendukung tradisi ini kepada media lokal, Denmark Ekstra Bladet yang dikutip oleh The Guardian. “Kita harus memiliki kuota per distrik, dan kita tidak boleh membunuh lumba-lumba.”

Mengutip dari Euronews Green, organisasi peduli hewan, PETA telah lama berargumen bahwa konsumsi daging paus di pulau itu sebagai “tradisi” telah lama hilang, dengan hanya 17 persen penduduk pulau yang mengatakan bahwa mereka mengonsumsi daging paus pilot dan lemak secara teratur.

Legal tapi tidak populer

Sjurdur Skaale, anggota parlemen Denmark untuk Kepulauan Faroe, mengatakan kepada BBCnews bahwa membantai lumba-lumba putih merupakan hal yang ‘legal tapi tidak populer’. Skaale membela, perburuan ini merupakan hal yang ‘manusiawi’ jika dilakukan secara benar seperti tombak yang dirancang khusus untuk menyembelih sumsum tulang belakang mamalia laut itu.

Dengan menggunakan metode ini, dibutuhkan "kurang dari satu detik untuk membunuh seekor paus,” ungkap Skaale kepada BBCnews. "Dari sudut pandang kesejahteraan hewan, ini adalah cara yang baik untuk membunuh daging - jauh lebih baik daripada memenjarakan sapi dan babi," tambahnya.

Para pemburu pun harus memiliki lisensi untuk memastikan bahwa merak dilatih tentang cara membunuh yang cepat agar mencegah penderitaan. Walaupun begitu, tetap saja tradisi ini mendapat kecaman dari berbagai pihak.

Sea Shepherd membantah hal ini dengan alasan bahwa "pembunuhan lumba-lumba dan paus pilot jarang terjadi secepat yang dilakukan pemerintah Faroe".

"Perburuan Grindadrap bisa berubah menjadi pembantaian yang berlarut-larut dan seringkali tidak terorganisir," jelas kelompok itu. "Paus pilot dan lumba-lumba dapat dibunuh dalam waktu lama di depan kerabat mereka saat terdampar di pasir, batu atau hanya berjuang di air dangkal."

Kecaman dari berbagai pihak

Media lokal setempat, Kringvarp Føroya, mengadakan survei publik kepada penduduk Kepulauan Faroe pada hari Minggu. Hasilnya, banyak orang yang menentang pembantaian massal lumba-lumba di Kepulauan Faroe.

"Kami melakukan survei singkat kemarin, menanyakan apakah kami harus terus membunuh lumba-lumba ini. Lebih dari 50% mengatakan tidak, dan lebih dari 30% mengatakan ya," jelas Trondur Olsen, jurnalis Kringvarp Føroya, dikutip dari BBCnews.

Sebaliknya, Olsen menambahkan, survei yang ia lakukan terpisah menunjukkan bahwa 80% mengatakan mereka ingin melanjutkan pembunuhan paus pilot. Survei tersebut memberikan gambaran opini publik terhadap pembunuhan mamalia laut.

Beberapa kritik mulai surut sejak beberapa tahun terakhir. Perburuan tahun ini mengembalikan perhatian yang lebih masif.

"Ada banyak perhatian internasional. Kecurigaan saya adalah orang-orang bersiap menghadapi serangan balasan yang besar," tambahnya. "Ini saat yang tepat bagi juru kampanye untuk lebih menekan. Kali ini akan berbeda karena jumlahnya sangat besar."

Chief Operating Officer organisasi Sea Shepherd, Rob Read, mengatakan kepada Metro.co.uk tidak pernah ada orang Faroe yang melakukan studi keberlanjutan dalam perburuan lumba-lumba sisi putih ini.

“Tidak ada yang tahu populasi lumba-lumba sisi putih Atlantik di wilayah itu sama sekali. Perburuan hanya dilanjutkan sebagai olahraga yang dilekatkan pada rasa identitas budaya yang salah yang disembunyikan oleh jubah tradisi, ketika itu jauh, jauh, jauh dari perburuan tradisional dulu.

Read mengatakan bahwa perahu dengan berkecepatan tinggi seperti rig dan jetski membuat paus dan lumba-lumba kesulitan melarikan diri. “Tidak seperti perburuan lainnya di dunia, seluruh pod, seluruh keluarga terbunuh. Itu membunuh seluruh kelompok keluarga, seluruh kumpulan gen itu. Tidak masalah, ibu hamil, anak paus, mereka semua terbunuh. Anda sedang berbicara tentang lebih dari 500 tahun rekaman terus menerus. Ini cukup mengejutkan.”

Beberapa pemburu paus yang membenci Sea Shepherd mengakui kepada Read jika "seharusnya (hal ini) tidak pernah terjadi, pod terlalu besar, kita tidak membutuhkan daging ini"

“Apa yang mereka (pemburu paus itu) katakan pada dasarnya adalah ‘apa apa yang akan kita lakukan dengan itu semua?’” jelas Read.

Relawan di Blue Planet Society, John Hourston mengatakan kepada Metro.co.uk bahwa dirinya memandang peristiwa ini seperti pembantaian Bison di Amerika Utara.

“Denmark dan Eropa tidak dapat menutup mata terhadap ini, mereka telah menutup mata karena mereka merupakan negara otonom tetapi itu bukan berarti mereka tidak dapat menerapkan sanksi, karena kami membeli banyak barang dari mereka, kami membeli banyak ikan.

“Kita berbicara tentang pembantaian populasi. Jadi ini mungkin berdampak pada populasi lumba-lumba sisi putih dan ini adalah spesies yang dilindungi. Ini adalah super-pod yang terbunuh dalam satu gerakan.

“Pembenaran yang kami dapatkan sejauh ini adalah bahwa ini untuk makanan, padahal Kepulauan Faroe adalah salah satu negara terkaya di zona ekonomi Eropa. Mereka memiliki supermarket di mana-mana,” jelas Hourston.

Hourston berpendapat, peristiwa ini dapat menimbulkan efek knock-on pada spesies Atlantik Utara selama bertahun. “Apa yang kita miliki adalah sebuah negara di Atlantik Utara yang melakukan apa pun yang mereka inginkan, kapan pun mereka mau dan itu tidak dapat diterima oleh tetangga di sekitar mereka.”

Sebagai salah satu negara pertama yang menandatangani kesepakatan perdagangan dengan Inggris setelah Brexit, Hourston berpendapat Inggris memiliki 'kulit dalam permainan' atas perburuan paus di Kepulauan Faroe.

Direktur PETA, Elisa Allen menambahkan kepada Metro.co.uk  

“Setiap tahun, di seluruh dunia, ratusan paus dan lumba-lumba dikejar ke teluk di Kepulauan Faroe dan dibantai dengan cara biadab dengan kait logam, lalu didorong hingga terdampar dan memotong tulangnya. Binatang-binatang itu berteriak kesakitan. Seluruh keluarga dibantai, dan beberapa hewan terlihat berenang di darah anggota keluarga mereka selama berjam-jam. Paus dan lumba-lumba sangat cerdas dan merasakan sakit dan ketakutan seperti halnya manusia.”

Sementara, juru bicara Kementerian Perikanan Pulau Faroe, bahwa perburuan mamalia laut ditentang oleh Inggris. “Inggris sangat menentang perburuan setiap cetacea dan terus menyerukan semua negara perburuan paus, termasuk Kepulauan Faroe, pada setiap kesempatan yang tepat untuk menghentikan kegiatan perburuan paus mereka demi pariwisata yang dikelola dengan baik dan bertanggung jawab, seperti mengamati paus.

“Kami menyadari ada tradisi panjang di Kepulauan Faroe membunuh cetacea tertentu untuk daging dan produk lainnya dan kami ingin melanjutkan percakapan jujur ​​kami yang berkaitan dengan konservasi cetacea untuk mendorong mereka menghentikan perburuan ini,” jelasnya kepada Metro.co.uk.

Penulis: Syifa Dwi Mutia, reporter magang di betahita.id