Cerita Perlawanan Perempuan Mempertahankan Tanah dan Hutan

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Jumat, 17 September 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Sejak mendengar rencana proyek tambang dan bendungan di desanya, rutinitas Tri Handayani berubah. Warga Dusun Kali Gendol, Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, tersebut saban hari berangkat ke posko penjagaan tak jauh dari rumahnya.

“Setiap hari, habis dzuhur, setelah selesai masak, saya berangkat ke posko,” kata perempuan yang akrab disapa Wiji saat dihubungi dari Jakarta, Selasa, 14 September 2021. 

Menurut perempuan petani yang disapa Wiji ini, pos tersebut ditujukan untuk memantau kedatangan petugas pengukur tanah. Hal itu terkait dengan rencana penambangan batuan andesit untuk bahan pembangunan Bendungan Bener di Desa Wadas. Proyek tersebut merupakan proyek strategis nasional pemerintah bernilai Rp 2.060 triliun.

Kata Wiji, tak semua masyarakat mendukung proyek tersebut saat pertama kali disosialisasikan pada 2018. Pasalnya, lokasi tambang itu berada di lahan kelola masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani jahe dan temulawak.

Wadon Wadas, kelompok perempuan petani dan ibu rumah tangga di Desa Wadas yang memperjuangkan tanah kelolanya dari penambangan batuan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Foto: Istimewa

Warga yang ingin mempertahankan lahan pertanian kemudian bergabung dalam Gerakan Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa). Sementara itu kelompok perempuan terbentuk pada 2020 dengan nama Wadon Wadas. Wiji menjadi salah satu anggota gerakan yang aktif. 

Tak hanya Wiji, di dusun Winong Sari, Desa Wadas, ada Rokhanah yang ikut berjaga di posko. Menurutnya, posko penjagaan di area hutan dan desa dibangun pada awal tahun. Warga yang ingin mempertahankan lahan pertaniannya sepakat untuk membangun pos penjagaan. Ada sekitar 10 pos dibangun di sekitar area hutan dan di RT.

“Pokoknya kalau ada yang datang, warga langsung ‘serbu’. Ibu-ibu, bapak-bapak, anak muda, dan tua-tua di sini tidak mengizinkan adanya pengukuran tanah, karena itu bisa lanjut untuk menghancurkan lahan pertanian kita,” tutur Rokhanah. 

Walau saat ini tak setiap hari datang ke posko, Rokhanah cukup aktif berorasi saat demonstrasi dan diskusi publik. “Saya sebagai perempuan tidak punya pilihan lain selain ikut melawan. Sebab yang saat ini terancam itu adalah tanah kelola untuk penghidupan masyarakat. Dan perempuan juga menjadi korban,      ” tutur Rokhanah.

Partisipasi perempuan dalam gerakan perlawanan warga terhadap investasi industri ekstraktif bukan pertama kalinya. Sebelumnya, ada Aleta Baun dari Nusa Tenggara Timur hingga Srikandi Kendeng dari Pegunungan Kendeng, Rembang, yang memprotes ekspansi pabrik semen di desa mereka. 

Perempuan Kendeng (Srikandi Kendeng) saat melakukan aksi massa menyemen kaki di depan Tugu Monas, Jakarta, pada 2017. Aksi itu bentuk protes terhadap pabrik semen di Pegunungan Kendeng, yang dapat merusak ruang penghidupan masyarakat sebagai petani padi. Foto: Kennial Laia/Betahita

Dalam kolom di The Conversation, Rouli Manalu et al. menyatakan, perempuan desa yang berprofesi sebagai petani dan tidak mengenyam pendidikan mampu mengekspresikan kritik dan melakukan perlawanan terhadap strategi pembangunan yang eksploitatif. 

“Riset kami soal politik lingkungan dan sumber daya alam menemukan bahwa perempuan dengan latar belakang ibu rumah tangga dan petani justru memiliki peran vital dalam pergerakan lingkungan di Indonesia.” 

Hal ini bisa terlihat di Tanah Papua. Banyak perempuan adat yang aktif dalam mempertahankan tanah ulayat dari penggusuran perusahaan walau tidak mendapat hak dalam pewarisan tanah. Perempuan adat Papua memang punya kedekatan tersendiri dengan hutan karena bertanggung jawab pada konsumsi dan pangan keluarga. 

Contohnya ada di Distrik Subur, Kabupaten Boven Digoel, Papua. Perempuan adat Wambon Kenemopte di Kampung Subur dan Aiwat aktif memperjuang hutan ulayatnya dari ancaman penggusuran untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sementara itu di Kampung Ampera, Kabupaten Boven Digoel, gerakan perempuan Suku Awyu juga membentuk Komunitas Paralegal Cinta Tanah Adat. 

Bergeser ke Kepulauan Sangihe, hal serupa dilakukan oleh Venetsia Andemora. Warga Kampung Bentung, Kecamatan Tabukan Selatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara ini mengaku tergerak bergabung dalam gerakan Save Sangihe Islands (SSI) usai mendengar adanya izin perusahaan tambang PT Tambang Mas Sangihe.

Venetsia mengaku ngeri saat membayangkan adanya perusahaan tambang masuk di pulau kecil itu. Apalagi kampungnya termasuk di dalam operasi tahap awal PT TMS seluas 65,48 hektare. Total konsesi perusahaan mencapai 42.000 hektare, atau lebih dari setengah luas pulau (73.700 hektare).  

Bahaya itu tak hanya mencakup masyarakat. Kepulauan Sangihe menyimpan nilai biodiversitas yang tinggi seperti spesies burung langka. Hutan lindung dengan Gunung Sahendaruman, serta kekayaan laut yang menjadi pencaharian pokok masyarakat nelayan.

Venetsia khawatir tambang itu akan menghancurkan ruang hidup masyarakat  dan ekologi di Kepulauan Sangihe. “Di sini memang masyarakat belum banyak tahu dampak negatif tambang. Karena itu saya aktif sosialiasi mengenai apa itu tambang, gerakan, dan tujuan gerakan ini,” tuturnya.

Intimidasi dan kekerasan

Tidak semua menyukai kegiatan Venetsia. Dia mengaku kerap menerima ucapan-ucapan tidak pantas dari pihak yang disebutnya sebagai “kacung perusahaan”.  Intimidasi tersebut tak membuatnya gentar.

Hal serupa dialami Rokhanah. Berbagai gangguan seperti kehilangan selang di mata air. “Mungkin ini bentuk intimidasi buat saya secara emosional. Tapi saya tidak mau mundur, sampai rencana pembangunan bendungan ini dibatalkan,” tegasnya.

Rokhanah juga mengaku terjadi perubahan sosial di Desa Wadas. Desa yang tadinya rukun itu kini terpecah antara yang pro dan kontra dengan proyek. Ketika berpapasan, misalnya, Rokhanah tak lagi bertukar sapa atau mengobrol dengan tetangga yang mendukung proyek. 

Lain lagi dengan Wiji. Perempuan ini mengaku sempat kena pentungan aparat saat terjadi bentrokan warga dengan aparat menjelang sosialisasi pertambangan di Desa Wadas April lalu. Wiji, yang saat itu bersama perempuan Wadon Wadas, duduk menghalangi jalan masuk ke desa ikut terperangkap dalam kericuhan.

“Waktu itu sempat bengkak, tapi sembuh. Kalau sekarang justru lebih sering resah setiap dapat kabar orang proyek mau datang buat ngukur tanah. Tapi warga di sini semangat terus. Jangan sampai masuk ke desa,” tutur Wiji.

“Ya kita berjuang, mau menang atau kalah. Tetap semangat terus,” pungkasnya.