Petani Cilograng Minta Komnas HAM Tuntaskan Sengketa Tanah

Penulis : Tim Betahita

Agraria

Selasa, 21 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Para petani Cilograng, Kabupaten Lebak, Banten meminta upaya bantuan mediasi sengketa tanah kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Wakil Ketua Internal Koman HAM RI, Munafrizal Manan, menanggapi audiensi tersebut bersama Paguyuban Petani Cilograng Raya secara daring pekan lalu. 

Kasus ini berawal ketika para petani meminta informasi dan klarifikasi kepada Kepala Desa terkait belum dibagikannya Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan Daftar Himpunan Ketetapan Pajak (DHKP) 2021. Ternyata, sejak 2018 sebagian besar petani tidak mendapatkan SPPT dan DHKP dari pihak desa.

Paguyuban Petani Cilograng menyampaikan beberapa hal terkait tanah di lapangan kepada Komnas HAM:

  1. Adanya perubahan lokasi tanah/objek pajak yang tertera di SPPT beberapa petani. Semula berada di Guha Gede menjadi Blok Kubang dan lainnya. 
  2. Adanya beberapa petani yang tidak terdaftar lagi di DHKP PBB P2 (Nomor Objek Pajak hilang) sedangkan tanah telah dikuasai dan diusahakan sejak leluhur hingga saat ini.
  3. Adanya pengurangan luas tanah yang dialami beberapa petani. 
  4. Adanya perbedaan nama pemilik tanah yang tercantum di SPPT dengan pemilik sesungguhnya di lapangan. 
  5. Pengadu mengkhawatirkan adanya upaya penguasaan tanah melalui perubahan kepemilikan di dokumen-dokumen bukti penguasaan (SPPT dan DHKP PBB). 

Aksi petani menolak Undang-Undang Cipta Kerja Omnibus Law di Jakarta, 2020. Foto: Konsorsium Pembaruan Agraria

Ketua Paguyuban, Jahrudin, menyampaikan adanya dugaan terjadinya alih penguasaan tanah yang ditempati oleh paguyuban petani untuk diubah status kepemilikannya.

Konflik yang terjadi sejak awal 2000 berawal ketika adanya Program Sertifikasi Tanah Gratis oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Nyatanya, program tersebut malah memunculkan nama lain dalam sertifikat sehingga masyarakat tidak bisa memproses sertifikasi akibat nama-nama mereka yang hilang. Salah satunya, mengatasnamakan dari keluarga mantan Bupati Lebak di lahan Blok Guha Gede.

"Banyak nama dan alamat palsu dicantumkan yang tidak pernah punya tanah. Padahal warga belum pernah membebaskan atau menjual tanah tersebut kepada siapapun,” tutur Jahrudin.

Jahrudin juga menjelaskan bahwa tanah masyarakat tersebut bukanlah tanah terlantar, melainkan ditanami dengan mahoni, karet, dan lainnya. 

“Kami menginginkan adanya keadilan hukum walaupun di level paling bawah, hak-hak kami ingin setara, sama seperti semua warga negara lainnya,” tegasnya lagi. 

Menanggapi pengaduan ini, Munafrizal yang juga sebagai Ex Official Sub Komisi Penegakan Bidang Mediasi, mengatakan, “Komnas HAM akan melakukan pemeriksaan terkait pihak terkait, penyelidikan, pengumpulan keterangan tentang kasus ini hingga bisa disimpulkan apakah ada pelanggaran HAM atau tidak dalam hal ini. Sesuai kewenangan Komnas HAM juga bisa dilaksanakan nantinya proses mediasi.”

Mediasi merupakan fasilitas dari Komnas HAM yang mengajak pihak-pihak terkait untuk duduk bersama dan mencari jalan tengah. Sifatnya mendorong untuk mencapai kesepakatan perdamaian oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Munafrizal menyampaikan agar para pengadu juga menyampaikan hal-hal terbaru terkait kasus ini, termasuk dokumen-dokumen terkait.

Sementara itu, berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) konflik agraria yang terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo 2015-2020 mencapai 2.291 kasus. Angka itu, menurut Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika melampaui 10 tahun masa kepemimpinan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya 1.770 kasus.

"Sehingga memang sekarang yang terjadi adalah konflik agraria yang tidak berkesudahan," kata Dewi dalam diskusi virtual.

Berdasarkan catatan KPA, dalam periode 2015-2020, sektor perkebunan menjadi penyumbang konflik tertinggi, yaitu 851 kasus. Diikuti sektor properti 519, kehutanan 169, pertanian 147, pertambangan 141, pesisir dan pulau-pulau kecil 63 serta, pembangunan infrastruktur 30, dan fasilitas militer 21.

"Sehingga tidak heran kalau bicara situasi riil di lapangan sampai sekarang ada puluhan ribu desa dengan tanah-tanah pertanian produktif masyarakat yang tumpang tindih di dalam konsesi perkebunan HGU milik swasta atau negara," ujarnya.

Penulis: Syifa Dwi Mutia, reporter magang di betahita.id