Konservasi Gajah yang Kini Punah Arah

Penulis : Aryo Bhawono dan Raden Ariyo Wicaksono

SOROT

Rabu, 22 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Pesan berisi tiga halaman dokumen itu mampir ke telepon genggam milik salah seorang personel betahita, akhir pekan lalu. Saat ditilik, pokok dokumen itu berbunyi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) membatalkan satu surat keputusan lain yang berisi Rencana Tindakan Mendesak (RTM) penyelamatan populasi Gajah Sumatra.

Rasa ingin tahu membawa betahita membaca lebih jauh ke dalam dokumen. Hal yang teramati pertama adalah surat keputusan pembatalan itu dikeluarkan kementerian tertanggal 4 Agustus 2021, tepat sepekan sebelum Hari Gajah Sedunia yang jatuh pada 12 Agustus.

Satu hari yang disepakati antarbangsa didedikasikan untuk pelestarian dan perlindungan gajah di seluruh dunia.

Lantas apa pertalian urgensi waktu dengan isi surat yang dikirim secara daring itu hingga menjadi sorotan? Pembacaan dilakukan betahita lebih dalam lagi. Ternyata, setelah dipahami, isi Dokumen yang datang itu adalah Surat Keputusan Dirjen KSDAE Nomor: SK.400/KSDAE/KKH/KSA.2/8/2021. Pokok isinya tentang pembatalan SK.39/KSDAE/SET/KSA.2/1/2020 yang di dalamnya dimuat ihwal RTM Penyelamatan Populasi Gajah Sumatera periode 2019-2022. 

Gajah Sumatera. (Yudi Auriga Nusantara)

RTM merupakan dokumen yang berisi upaya teknis konservasi gajah sumatra dari kematian non alamiah seperti: perburuan, bencana, penyakit, ataupun konflik dengan manusia. Rencana ini merupakan bagian dari Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Gajah Indonesia 2019-2029 pada tiga tahun pertama. Sebuah rencana penting bagi penyelamatan gajah yang kini statusnya kritis (Critically Endangered/CR).

Hal teramati lainnya dalam dokumen adalah soal beberapa pertimbangan dikeluarkan surat keputusan. SK pembatalan surat keputusan yang berisikan RTM Populasi Gajah Sumatra ini dikeluarkan KLHK dengan pertimbangan bahwa saat ini 19 dari 21 kantong habitat gajah sumatra berada di lahan seluas 2.104.512,87 hektare atau 43,13 persen dari total luas habitat, beririsan dengan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Berusaha (PIPPIB). Keberadaan ini, menurut KLHK sesuai isi dokumen cukup sejalan dengan upaya perlindungan habitat gajah Sumatra.

Selain itu mereka juga menimbang ihwal adanya data penambahan jumlah gajah sumatra dengan baseline tahun 2014, yakni meningkat dari 313 individu menjadi 344 individu pada 2019. Angka ini cukup memenuhi pencapaian target peningkatan populasi 25 satwa terancam punah prioritas sebesar 10 persen periode 2015-2019.

Akhirnya, tanda tanya soal pertalian waktu dan dokumen yang mampir ke telepon genggam betahita, sedikit tersimpulkan. Lewat surat SK.400 itu, KLHK telah membatalkan rencana tindakan mendesak untuk pelestarian Gajah Sumatra 2020-2023, sekali lagi tepat sepekan sebelum Hari Gajah Sedunia.

Lantas pembacaan dokumen beralih fokus ke persoalan pertimbangan. Betahita menemukan ada ketidakakuran data yang disebutkan dalam poin pertimbangan SK.400. Dalam dokumen keputusan kementerian mencantumkan angka populasi gajah sumatra meningkat dari 313 individu (base line data 2014) menjadi 344 individu pada 2019.

[dokumen bisa diunduh: https://auriga.or.id/resource/reference/sk.400.pdf ]

Sementara di dua buku statistik yang dikeluarkan Direktorat Jenderal (Ditjen) KSDAE, populasi gajah sumatra pada 2018 berjumlah 642 individu, sedangkan populasi gajah sumatra pada 2019 sebanyak 344 individu. Artinya alih-alih mengalami peningkatan, yang terjadi adalah penurunan yang cukup drastis.

Masih berdasarkan dua buku statistik, penurunan populasi sebanyak 298 individu ini diperoleh dari 8 site monitoring, yakni dari Balai Taman Nasional (BTN) Way Kambas, BTN Bukit Barisan Selatan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, BTN Tesso Nilo, BTN Leuser, BKSDA Sumsel, BKSDA Bengkulu-Lampung dan BKSDA Jambi.

Menanggapi persoalan ini, Direktur Eksekutif Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo Riau, Yuliantony mengatakan RTM ini seharusnya menjadi blueprint dan bersifat teknis dalam upaya penyelamatan dan perlindungan gajah sumatra. SK pembatalan ini, kata dia, tidak berpengaruh pada upaya teknis perlindungan gajah di lembaganya.

Namun dirinya menyebutkan ada risiko tindakan menjadi kurang terarah dari pemerintah.

Soal arah saja ya kendalanya. Kita perlu blueprint juga. Tetapi kalau seperti lembaga saya (Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo), aktivitas perlindungan gajah tetap jalan,” akunya.

Sementara itu, Direktur Hutan Yayasan Auriga Nusantara Supintri Yohar mengatakan pembatalan RTM akan cukup berpengaruh terhadap rencana aksi dan aktivitas perlindungan di lapangan terhadap Gajah Sumatra. “Kini seolah tidak ada rujukan lain, sebab RAK utama gajah sudah berakhir pada 2017. Tadinya RTM mengisi kekosongan rencana aksi dari SRAK yang berakhir, namun ini rujukan itu kembali kosong alias belum ada rencana alternatif,” ujarnya.

Kondisi ini, menurut Supin, mengkhawatirkan. Sebab sejatinya di tingkat tapak keterancaman gajah iemakin tinggi dan nyata terhadap risiko kematian, ujungnya yang dikhawatirkan adalah risiko kepunahan. “Dari informasi dan data bisa diketahui, tidak ada tahun tanpa kematian gajah,” ujarnya.

Soal keterancaman gajah sumatra, kata Supin, berpunca dari terbatasnya ruang hidup mereka. Sehingga, lanjutnya, yang muncul ke permukaan adalah rentetan konflik antara gajah dengan manusia.

Gajah harus diberi ruang hidup yang cukup, hampir semua kantong habitat gajah beririsan dengan izin investasi berbasis lahan, izin perkebunan, tambang, IUPHHK hutan alam maupun hutan tanaman,” ujarnya. Dengan adanya SK.400 ini, tambahnya, pemerintah dinilai belum memberikan perlindungan maksimal terhadap satwa langka: Gajah Sumatra.

Populasi Diperkirakan Terus Menurun

Di Indonesia terdapat dua subspesies gajah asia (Elephas maximus) yang eksistensinya masih dapat dijumpai di alam, yakni gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) dan gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis). Namun keduanya berstatus terancam punah dan hampir tak didukung rencana konservasi yang jelas. 

Gajah Sumatra merupakan spesies penyandang status terancam punah atau critically endangered, berdasarkan International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red list atau daftar merah Persatuan Internasional untuk Konservasi Alam.

Bahkan sejak 1990, gajah asia, termasuk gajah Sumatra, juga telah dikategorikan dalam kelompok satwa Appendix I oleh Konvensi tentang Perdagangan International Satwa dan Tumbuhan atau Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)

Appendix I adalah, daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Spesies yang masuk dalam kategori ini merupakan spesies terancam punah bila perdagangan tidak dihentikan.

Dalam dokumen SRAK Gajah Sumatra dan Gajah Kalimantan 2007-2017 disebutkan, di Indonesia sejak 1931 (Ordunansi Perlindungan Binatang Liar tahun 1931), gajah Indonesia (gajah sumetera dan gajah kalimantan) telah dinyatakan sebagai satwa dilindungi undang-undang dan hampir punah sehingga keberadaannya perlu diperhatikan dan dilestarikan.

Penelitian terakhir dengan menggunakan analisis genetika menunjukkan bahwa gajah Sumatra dan gajah kalimantan adalah monophyletic dan dikategorikan sebagai Evolutionary Significant Unit (ESU; Fleischer et al. 2001; Fernando et al. 2004).

Sejauh ini belum ada data resmi terbaru soal populasi gajah Sumatra maupun gajah kalimantan yang bisa dijadikan bahan acuan. Konon data termutakhir soal populasi dua spesies ini dituangkan dalam Dokumen SRAK Gajah Sumatra dan Gajah Kalimantan 2019-2029, sayangnya dokumen ini sampai sekarang belum juga terbit.

Data populasi dokumen SRAK Gajah Sumatra dan Gajah Kalimantan 2007-2017, estimasi jumlah populasi gajah sumatra berkisar antara 2.400-2.800 individu, sedangkan jumlah populasi gajah kalimantan di Indonesia berkisar antara 60-100 individu.

Tapi jumlah populasi itu diperkirakan akan terus mengalami penurunan seiring dengan besarnya ancaman terhadap populasi, mulai dari konflik dengan manusia dan perusahaan perkebunan, perburuan gading, gangguan habitat, sampai dengan perkawinan sedarah (inbreeding).

Teladan dari Seberang Lautan

Sejumlah ancaman yang menghantui dua spesies gajah ini. Ancaman paling berpengaruh adalah gangguan terhadap habitat gajah. Perusakan dan konversi habitat merupakan faktor utama penyebab gajah terkocar-kacir, menjadi kantong-kantong populasi yang lebih kecil, atau berkelana mencari habitat baru yang aman dan tersedia pakan yang cukup.

Pada Juni lalu pemerintah sekitar Provinsi Yunnan, Cina, mengerahkan puluhan ribu petugas kepolisian dan berton-ton pakan untuk mengamankan pengembaraan gajah. Kawanan gajah asia tersebut melakukan perjalanan panjang sejauh kurang lebih 500 kilometer, menjelajahi berbagai daerah, mulai dari bagian selatan Provinsi Yunnan hingga ke Kunming, ibu kota provinsi tersebut.

Belum diketahui secara pasti penyebab belasan gajah asia beragam ukuran dan usia yang diduga berasal dari Cagar Alam Mengyangzi di Xishuangbanna bagian barat daya Yunnan itu mengembara. Ada yang menyebut belasan gajah itu tersesat, namun ada juga berpendapat bahwa apa yang dilakukan kawanan gajah itu adalah sebuah migrasi.

Dikutip dari BBC.com, Li Zhongyuan, seorang pejabat kehutanan di Xishuangbanna mengatakan kepada Global Times, makanan gajah di habitatnya telah menipis. Akibatnya, kawanan satwa besar nan 'lembut' itu kemudian mengincar tanaman pertanian seperti jagung dan tebu yang ditanam petani.

Pengembaraan belasan ekor gajah ini berpotensi bakal diikuti kawanan gajah lainnya, terutama jika habitat mereka semakin berkurang akibat dikonversi dengan lahan karet dan tanaman yang dibudidayakan untuk profit bisnis.

Ancaman terhadap gajah sebenarnya terjadi di berbagai negara, bahkan di Thailand. Meskipun mendapatkan tempat spesial--sebagai simbol nasional, hingga menjadikan negeri tersebut dijuluki Negara Gajah Putih--ternyata gajah di Thailand tetap tidak bisa lepas dari ancaman kepunahan.

Pada 2012 lalu, marak perburuan gajah di Thailand yang memunculkan kekhawatiran akan terjadinya kepunahan akibat perburuan gajah yang tak terkendali. Beritasatu.com menyebut, kala itu selain dikarenakan perburuan gading, ada tren mengkonsumsi bagian tubuh gajah demi meningkatkan kejantanan seseorang.

Berdasarkan data Departemen Taman Nasional dan Konservasi Kehidupan Liar dan Tanaman Thailand, pada 2012 populasi gajah liar di Thailand kurang dari 3 ribu individu, dan terdapat kurang lebih 4 ribu gajah yang didomestikasi, sebagian besar untuk mengangkat barang berat dan hiburan.

Di Sri Lanka, baru-baru ini perdagangan gajah liar kembali marak yang memicu pertentangan dari para konservasionis gajah di negara itu. Seperti diberitakan Associated Press (AP), sejumlah ahli konservasi di Sri Lanka mengecam sebuah putusan pengadilan yang mengizinkan pengembalian 14 gajah liar yang ditangkap secara ilegal, kepada pihak-pihak yang dituduh membelinya dari pedagang.

Ada kekhawatiran perintah pengadilan itu akan mendorong perdagangan gajah liar di Sri Lanka bangkit lagi. Para pemerhati lingkungan di negara itu kemudian menggugat putusan pengadilan itu ke pengadilan yang lebih tinggi.

Sama halnya seperti di Thailand, di Sri Lanka gajah dihormati karena merupakan bagian penting dari festival agama dan budaya selama berabad-abad. Bagi masyarakat di sana memiliki seekor gajah menjadi tanda kekayaan, kekuasaan, dan hak istimewa.

Meski penangkapan gajah liar telah dilarang selama beberapa dekade. Penangkapan bayi gajah secara ilegal terjadi setidaknya pada 2007. Namun, situasi memanas pada 2015, ketika petugas satwa liar menyita 38 bayi gajah yang diduga ditangkap di alam liar dan dijual kepada orang-orang kaya, termasuk seorang biksu Buddha dan seorang hakim.

Pesan berisi keputusan yang memilukan bagi rencana penyelamatan gajah sumatra masih tersimpan baik di genggaman. Kini dengan terbitnya SK.400, gajah sumatra menghadapi persoalan yang kian pelik, bukan dari saja dari manusia sekitar mereka, atau dari perusahaan yang mengepung kantong habitatnya, juga dari serakahnya para pemburu yang mengejar mereka, tapi juga dari keputusan kementerian yang seharusnya berkewajiban melindungi mereka. Nasib seperti gelap bagi gajah. Gelap sekali.

Tulisan ini merupakan bagian pertama dari seri liputan “Konservasi Gajah yang Kini Punah Arah”.