Menyoal Penyidikan Keuangan Perusak Sumber Daya Alam

Penulis : Refki Saputra

Analisis

Kamis, 23 September 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 15/PUU-XIX/2021 membatalkan norma Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) secara bersyarat.

Berdasarkan putusan tersebut, MK memperluas kewenangan penyidikan tindak pidana pencucian uang kepada semua Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang mana sebelumnya hanya dibatasi pada penyidik polri, kejaksaan, bea dan cukai, Badan Narkotika Nasional (BNN) dan penyidik pajak.

Putusan ini merupakan kabar baik bagi penegakan hukum sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup (SDA LH). Jamak diketahui, penegakan hukum selama ini hanya bisa dilakukan pada pelaku lapangan. Sementara pihak yang menerima keuntungan dari praktik ilegal kerap tak tersentuh hukum. Jangkauan PPNS yang hanya mengurusi tindak pidana sektoral mengakibatkan pelaku “kerah putih” bebas melenggang dan terus mengulang tindak kriminal dikemudian hari.

Mengutip Laporan Peneliaian Risiko Sektoral Tindak Pidana Pencucian Uang tahun 2017-2019 yang diterbitkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tergambar jelas besarnya potensi pencucian uang hasil kejahatan kehutanan. Tahun 2017 misalnya, terdapat sebanyak 575 kasus kejahatan kehutanan yang diproses oleh kepolisian pada tahap penyelidikan dan 75 kasus penyidikan oleh penyidik kehutanan. Namun, tidak satupun kasus pencucian uang dari kehutanan yang masuk pada tahap penuntutan di kejaksaan dan maupun di pengadilan.

Ilustrasi Suap (Photo by cottonbro from Pexels)

Ambil contoh kasus penyelundupan 199 kontainer kayu Merbau olahan ilegal asal Papua di Pelabuhan PT Terminal Teluk Lamong, Surabaya pada Januari 2019. Walaupun sejumlah direktur perusahaan sudah diadili karena melakukan pembalakan liar, namun tidak dengan hasil kejahatannya. Padahal, pada saat yang sama, aliran dana miliaran rupiah yang mencurigakan mengalir dari luar negeri ke sejumlah pihak di perusahaan (PPATK, 2020).

Harus disadari bahwa, ketika pencucian uang menjadi suatu tindak pidana, ia memberikan jalan lain untuk menuntut para penjahat, baik yang melakukan tindak pidana asal (underlying criminal acts) maupun yang membantu mereka untuk menyamarkan harta yang diperoleh dari kejahatan tersebut (Schoot, 2006).

Penerapan aspek pencucian uang dalam situasi tertentu dapat mendeteksi hubungan antara pelaku tindak pidana asal dengan hasil kejahatan yang diduga dilakukan. Hal ini dapat dilakukan karena prinsip follow the money akan menuntun penyidik menemukan dalang atau aktor intelektual dari kejahatan yang beroperasi di lapangan. Kalaupun penelusuran aliran uang tak sampai ke sana, setidaknya hasil kejahatan tidak bisa dinikmati karena sudah menjadi objek penyitaan.

Dalam konteks ini, putusan MK memberi “darah baru” bagi penyidik PPNS dalam memerangi kejahatan di sektor SDA LH melalui penyidikan keuangan (financial investigator).

Sejumlah fitur UU TPPU dapat membantu PPNS untuk mendakwa pelaku tindak pidana SDA LH dari hasil kejahatan. Diantaranya, PPNS dapat melakukan penundaan dan penghentian transaksi keuangan, pengecualian rahasia bank, pembuktian terbalik dan perampasan aset yang tidak diketahui pemiliknya.
Tidak hanya itu. Dalam sejumlah instrumen dan praktik peradilan internasional terdapat penegasan ikhwal tidak diperlukannya pembuktian tindak pidana asal untuk dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang.

Hal ini misalnya terdapat dalam Interpretatif Note dari Rekomendasi 3 Financial Action Task Force (the FATF Recommendations) yang secara regional diatur juga dalam European Directive (EU) 2018/1673 on Combating Money Laundering by Criminal Law.

Praktik peradilan di negeri Belanda sejak tahun 2004 sudah mengakui pendakwaan tunggal pelaku tindak pidana pencucian uang tanpa tindak pidana asalnya (stand-alone money laundering). Dimana, hakim cukup membuktikan bahwa harta benda tertentu tidak berasal dari sumber yang legal (Fiscal Information and Investigation Service of the Netherland, 2019). Peradilan dalam hal ini menggunakan metode pembuktian tidak langsung (indirect method of proof) berdasarkan bukti petunjuk (circumstantial evidence).

Bukti petunjuk menjadi semacam kesimpulan yang didapat hakim dari adanya transaksi-transaksi yang mencurigakan (dibuktikan oleh jaksa) ditambah dengan ketidakmampuan terduga pelaku menjelaskan asal-usulnya. Pada intinya, metode tersebut dilakukan dengan mengenyampingkan sumber hukum (bukti langsung) yang sah dan disaat yang sama didapatkan suatu keyakinan bahwa “tidak dapat ditentukan lain, bahwa objek tersebut berasal dari suatu kejahatan” (“it cannot be otherwise than that the object originates from any crime”).

Cara berfikir ini tentu tidak bisa dilepaskan dari latar sejarah aktivitas pencucian uang yang muncul karena sulitnya membuktikan kejahatan teroganisir pada masa itu. Ketiadaan petunjuk langsung yang mengarah kepada suatu kejahatan karena terputusnya jejak-hubungan antara pelaku di lapangan dengan aktor intelektual. Melalui penyidikan keuangan, seorang yang tidak tampak di lokasi kejadian perkara, dapat diendus keterlibatannya dalam kejahatan karena faktanya menikmati hasil kejahatan.

Namun perlu digaris-bawahi, sifat daripada tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, namun tidak bisa terlepas dari tindak pidana asalnya. Tindak pidana asal mutlak ada, walaupun tidak wajib dibuktikan, namun wajib diuraikan dalam dakwaan. Hal ini menjadi pembatas tentang penyidik mana yang boleh menersangkakan pelaku dengan UU TPPU. Yakni, penyidik yang memiliki bidang tugas sesuai dengan hasil kejahatan yang ditemukan.

*Penulis merupakan peneliti Yayasan Auriga Nusantara